Mataku
tertuju pada layar televisi. Menyaksikan kerumunan orang yang hendak mengamati seseorang.
Tampak, mereka bergumul di ruang sidang. Di sisi belakang, ada yang hadir untuk mendukung, ada
juga untuk melaknat. Sisanya adalah para wartawan yang dicap independen. Sedang
di posisi depan, ada yang duduk sebagai pembela, ada pula sebagai penuntut. Di
tengah-tengah, duduk seorang hakim dengan sikap tenang, yang terus saja bertanya
pada si terdakwa di pusat lingkaran manusia.
Hingga,
kejanggalan pun tampak terjadi di ruang sidang. Si terduga koruptor yang jadi pusat
perhatian, hanya tunduk, tak berdaya. Diam saja, dan hanya mendengung untuk
setiap pertanyaan. Merespons dengan gelengan dan anggukan kepala saja, ia tak
mampu. Seakan-akan hakim dan orang yang hadir di ruangan, juga penonton
televisi, adalah semut-semut yang tak harus diacuhkan. Padahal, banyak yang
menanti kata-kata dari mulutnya. Banyak yang penasaran, apakah ia masih punya
alibi untuk lepas dari jeratan hukum, atau tidak.
“Apakah
nama anda Setia Negara?” tanya hakim dengan tegas.
Lagi-lagi,
ia masih dengan sikap yang sama. Hanya mematung, seperti anak ayam kedinginan.
Hakim
tampak bingung. Pemeriksaan tim dokter telah memastikan bahwa si terdakwa sehat
untuk menjalani sidang, tapi responsnya sungguh mengecewakan.
Seorang
teman di sampingku, Jido, menggerutu. “Dasar penjahat bejat, pencuri uang
rakyat! Sudah nyaris ketahuan, masih saja berkelit!”
Aku
tak menggubris kekesalan Jido yang sarat dengan emosi. Aku punya dugaan yang
serupa dengannya, tapi aku tak ingin berlebihan. Kuanggap saja tanyangan itu
serupa sinetron, yang tak asyik tanpa adegan dramatis. Kuyakini saja dengan
sabar, bahwa semua akan sampai pada sesi ending,
seperti seharusnya. Kupikir, sungguh merugi jika emosi dihabiskan untuk
menanggapi seseorang yang tenang-tenang saja menyikapi permasalahnnya. Sungguh
merugi jika bermasalah atas orang yang bermasalah.
“Aduh!
Dia kira kita ini bodoh? Masa namanya saja dia lupa? Kurasa, ke depan, ia punya
rencana untuk pura-pura amnesia, agar bisa lepas dari jeratan hukum. Aduh…, dasar
penjahat!” kesal Jido lagi.
Untuk
luapan emosi itu, aku masih tak berhasrat menanggapi. Kurasa, Setia belum tentu
pura-pura sakit, termasuk saat ia tak mengakui namanya sendiri. Kuduga kuat, ia
punya nama lain, semacam nama panggilan yang tak semua orang tahu. Kemungkinan
besar, ia menancapkan nama itu di benaknya saat hakim melontarkan tanya. Dan
salahnya, hakim tak memperjelas, apakah nama yang ia pertanyakan adalah nama
panggilan, atau nama resmi sesuai data kependudukan.
Dugaanku
bukan tanpa alasan. Semua tahu, Setia bukan orang ternama sejak lahir. Dia
dalah orang kampung yang harus berjuang membesarkan namanya sendiri. Dan
kutaksir, saat ia masih balita, ia punya nama yang tak sekeren sekarang. Sebuah
nama kampung, yang terdengar kampungan. Mungkin Lakita, Mujino, Muidan, atau
apalah. Namun, atas harapan besar orang tuanya, ia pun berganti nama menjadi
Setia Negara saat mulai masuk sekolah, agar kelak, ia menjadi seorang pengabdi
yang setia untuk negaranya.
Sebagaimana
kesepahaman semua orang, nama adalah doa dan tanggung jawab yang harus dijaga.
Harapan dan cita-cita pendahulu, tersirat di dalamnya. Maka wajar jika setiap
orang berusaha menjaga namanya baik-baik. Menjaga agar namanya tak dilekatkan
pada citra yang buruk. Dan itu pula yang dilakukan Setia Negara. Ia berusaha
melindungi nama administratifnya yang popular dari predikat koruptor, sampai
harus berkelit dengan menggunakan nama lainnnya untuk sementara waktu.
“Seumur-umur,
aku baru melihat ada orang yang benar-benar tak tahu malu! Si Satia bejat! Kapan
bangsa kita maju kalau orang-orang semacam dia masih hidup dan berkembang biak
di negara ini?” serapah Jido, seperti mengutuk.
Dan
akhirnya, aku tergelitik juga menanggapinya. Berhasrat menyampaikan nasihat,
agar ia berhenti menggerutu dan menonton dengan sabar. “Kamu tenang saja. Apa
yang dia lalukan, sudah sewajarnya. Sudah menjadi naluri setiap orang untuk
melakukan apa pun agar dipandang baik.”
Dia
langsung menyanggah, “Tapi kasus ini beda! Orang kalau sudah diduga, ya,
biasanya mengaku saja. Tapi ini, sudah terpojok, malah berkelit dengan taktik
murahan. Dasar!”
Aku
menepuk-nepuk pundaknya. “Orang ternama, semacam wakil rakyat, jelas punya
pertaruhan besar atas nama baiknya, kawan. Apalagi disorot kamera begitu
banyak. Siapa yang rela, dengan cuma-cuma, mengaku sebagai seorang pencuri uang
rakyat? Siapa yang tega nama baiknya sekeluarga, tercoreng begitu saja?”
terangku, berharap emosinya segera mereda. “Belum lagi namanya baik, Setia
Negara, sedangkan ia diwakwa melakukan korupsi, sebuah tindakan yang jelas
menghianati negara.”
Jido
menyengir. “Ah, jelas orang ini tak punya nama baik lagi! Dia sudah hancur,
beserta nama buruknya! Setia Negara tak punya harga lagi!”
“Kurasa
tidak begitu, kawan,” sanggahku seketika. “Ini hanya persoalan nama. Yang perlu
ia lakukan hanyalah meminta perubahan nama secara formil, sehingga ia punya
landasan untuk menyangkal diri sebagai Setia Negara. Mungkin bisa jadi Maling,
Dusta, Munafik, atau Korup. Jika begitu, tak perlu ia membela nama baiknya sebagai
Setia Negara.
Jido
mengangguk-ngangguk, kemudian tertawa terbahak-bahak.
Akhirnya,
di layar televisi, tampak, sidang pun usai. Setia Negara meninggalkan ruang tanpa
komentar apa-apa. Masih dengan ekspresi yang tak ada gairah.
“Amir,
sekarang jam berapa,” tanya Jido padaku.
Aku
menilik jam tangan. “Jam 1 lewat 2 menit.”
Raut
wajahnya tampak gusar. “Aduh! Semalam, kita kan sudah sepakat dengan
teman-teman untuk mengadakan rapat persiapan tepat jam 1, sebelum kita turun aksi
sore nanti. Ayo berangkat sekarang! Sebagai kordinator aksi, kau harusnya hadir
tepat waktu!”
Aku
menanggapi sekenanya. Kurasa, ia bersikap emosional lagi, dan tak baik dibalas
dengan sikap emosional pula. “Nanti saja. Santailah. Tunggu beberapa saat
lagi.”
Ia
berdecak-decak. Seperti melihat seorang anak kecil yang telah menumpahkan segelas
kopi. “Kau baiknya segera ke pengadilan, kawan. Mohonkanlah pergantian nama
untuk dirimu sendiri. Mungkin jadi Makmum atau Kacung!” katanya.
Untuk
kali ini, lawakannya tak terdengar lucu. Sedikit menyinggung.
“Untung
namaku Jidodi. Nama yang tak jelas. Artinya saja tak ada,” pungkasnya, kemudian
mendengus, lalu tertawa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar