Manusia dalam
menjalani kehidupan, cenderung menjadikan dirinya sebagai dasar menentukan
sikapnya. Sikap yang mendatangkan keuntungan dan bermanfaat bagi dirinya akan
dipilih. Memang, tidak ada permasalahan sikap utilitaris itu, selama masih
mempertimbangkan dampak terhadap orang lain, terutama untuk meminimalisir
kerugian bagi orang lain. Tapi nyatanya, kehidupan hanyalah pertentangan,
berujung pada kalah atau menang.
Konsep ini juga
dianut kaum komunis dengan paham dialektika kehidupan, yang menganggap hidup
selamanya dalam sebuah pertentangan-pertentangan. Sebuah tesa akan berbenturan
dengan antitesa, sehingga lahirlah sintesa. Singkatnya, konflik antara dua
kepentingan selalu berujung pada tatanan baru. Tapi tatanan itu masih membagi
kelompok pemenang di satu pihak, dan kelompok kalah di pihak lain. Kedua pihak
itu pada keadaan tertentu akan berkonflik lagi.
Dialektika
kehidupan meniscayakan perubahan nasib seseorang secara terus-menerus. Disadari
atau tidak, situasi itu mewarnai kehidupan manusia. Tidak hanya dalam aspek
material semata, tetapi juga mencakup aspek metafisik. Keniscayaan itu akan
menempatkan seseorang dalam salah satu di antara dua tempat; antara kalah dan
menang, senang dan sedih, cinta dan benci, kaya dan miskin, dan seterusnya.
Atas dasar
kepentingan pribadi, setiap orang akan berusaha memenangkan sebuah kompetisi,
kalau tidak, ia akan merelakan kepentingannya dikesampingkan. Contohnya: dalam
persaingan kerja. Karena lapangan kerja terbatas, sedangkan pencari kerja
melebihi kuota, maka akan ada pemenang dan pecundang. Proses kompetisi itu akan
bergulir kembali ketika telah ada pekerja yang pensiun dan meninggal, sehingga
butuh angkatan kerja baru. Akhirnya, tercipta lagi pemenang dan pecundang.
Apakah keadaan
tersebut bisa dihindari? Sebelum menjawab, kita perlu mengetahui bahwa esensi
hidup adalah pergerakan. Tidak ada bantahan bahwa perbedaan makhluk hidup
dengan benda mati salah satunya terletak pada pergerakan dari satu posisi ke
posisi lain. Benda mati tak punya kehendak untuk menentukan kemana ia harus
bergerak. Sebaliknya, manusia dengan indra dan akalnya dapat menentukan sikap
apa yang baik dan harus diambil. Kenapa manusia harus bergerak? Jawabannya,
karena manusia punya potensi dan dorongan untuk harus bergerak. Selain itu,
manusia memiliki kebutuhan matafisik dan material yang menuntutnya selalu
bergerak.
Alur ringkas
tentang bagaimana kehidupan manusia yaitu dimulai dari keadaan hidup,
pergerakan, pertentangan, hingga tercipta sebuah perubahan. Keadaan baru dari
perubahan itu akan terus dihiasi lagi dengan pergerakan, hingga tercipta lagi
keadaan baru. Begitulah hidup. Jadi, menerima atau tidak, sebagai makhluk
hidup, kita berada dalam pergerakan tak henti.
Memilih sikap
untuk keluar dari alur pergerakan sebagai manusia hanya berujung pada keburukan
dan kerugian besar. Sikap menghindari masalah misalnya, biasanya diwujudkan
dengan berdiam diri dan tidak menghiraukan perubahan. Tapi akhirnya, kesadaran
memaksa batin kita untuk kembali dalam pergerakan. Namun ketika tersadar,
perubahan ternyata tak bisa lagi diimbangi, sedangkan kita tak bisa kembali
pada saat kita mulai berdiam. Ujung-ujungnya, penyesalan akan menggerogoti jiwa
yang tak mau menerima keadaan buruk, terlebih jika tak ada pergerakan
menghadapinya. Tapi sebaliknya, nuansa kehidupan seutuhnya akan menghiasi batin
yang selalu menerima dan menjalani kenyataan hidup, meskipun itu buruk.
Argumentasi di atas menimbulkan paradigma bahwa kita hidup
dalam “hutan rimba”. Butuh kekuatan dan keganasan untuk menjadi pemenang. Tapi,
anggapan tersebut hanya menyinggapi pola pikir empiris, karena menganggap hidup
sebatas dialektika material. Namun jika menggunakan analisis metafisik untuk
menemukan makna semua keadaan-menembus batas pengindraan-akan ditemukan arti
kehidupan sejati.
Sikap bijak
terhadap baik-buruknya keadaan yang dialami akan menghindarkan dari kehampaan
nilai. Kepekaan memaknai setiap nasib tidak akan membuat batin terperangkap
dalam ketidakpastian hidup, melainkan konsisten dalam satu tujuan mulia,
menemukan makna hidup sesungguhnya. Jiwa sebagai poros pemaknaan hidup harus
selalu dibina agar selalu sadar akan arti kehidupan, sekeras apa pun perubahan
fisik/material coba melencengkannya. Kesadaran itu mencakup kesadaran akan
ketidakabadian aspek material, kesadaran bahwa jiwalah penentu timbulnya
perasaan bahagia, hingga keinsafan bahwa segalanya akan kembali pada Sang Maha
Kuasa. Kemampuan jiwa menaklukkan tipuan fisik kelak membentuk seseorang
menjadi pribadi yang bijaksana.
Jika dirangkum,
maka kemampuan memaknai perubahan nasib secara bijak akan membawa dampak:
1. Timbulnya kesadaran bahwa tidak ada sesuatu yang abadi,
sehingga tak ada alasan mencintai aspek duniawi secara berlebihan;
2. Kebahagiaan hidup tidak digantungkan pada kepemilikan
aspek material, hingga merasa syukur dengan apa yang dimiliki, dan akhirnya
bahagia;
3. Berusaha
memaksimalkan lahirnya kebaikan dari bagaimana pun dan seberapa pun materi
yang dimiliki;
4. Kesabaran
akan timbul karena keyakinan bahwa keadaan silih berganti, antara kekurang dan
kecukupan, kesakitan dan kesehatan, kesempitan dan kelapangan, dll;
5. Memiliki sikap optimis karena sadar bahwa hidup adalah
pergerakan menuju perubahan, kadang menang, kadang kalah;
6. Cerdas
dalam menelaah fenomena material kehidupan dengan selalu mencari makna
tersirat, sehingga mendatangkan kebahagiaan yang tak goyah pada perubahan
keadaan;
7. Merasa
ikhlas terhadap hasil ikhtiar, karena tidak menjadikan tujuan akhir sebagai
satu-satunya cita, tetapi menghargai proses sebagai pelajaran bermakna.
Melugaskan pentingnya makna hidup, sebuah saduran cerita dalam buku Haidar
Bagir berjudul Islam, Risalah Cinta dan Kebahagiaan dapat menjadi
bahan refleksi:
Suatu ketika, seorang raja pergi berburu dengan pembantunya. Tidak
disangka, kaki sang raja tersandung batu dan membuatnya terjatuh. Kejadian itu
membuat sebuah jarinya patah. Langsung saja pengawal menolongnya dan memberi
nasihat kepada sang raja.
“Sabar Raja. Yakinlah, ada makna di balik kejadian yang menimpa anda,”
nasihat sang pembantu.
Bukannya menenangkan batinnya, sang raja egois malah memarahi pembantunya
itu. “Beraninya kau berkata begitu kepada aku yang kesakitan”. Bahkan saking
kesalnya, ia memenjarakan si pembantu.
Suatu ketika sang raja pergi berburu sendiri, tanpa pembantu. Sialnya, di
tengah hutan belantara, suku primitif penghuni hutan menangkapnya untuk
dijadikan persembahan kepada dewa mereka. Beruntung saja, tujuan suku primitif
kandas setelah mengetahui bahwa sang raja cacat karena jarinya patah. Menurut
keyakinan mereka, persembahan kepada dewa tidak boleh orang cacat.
Setelah peristiwa itu, sang raja sangat bersyukur atas jarinya yang
patah, hingga menyesali tindakannya kepada sang pembantu. Langsung saja ia
pergi menemui sang pembantu untuk minta maaf, lalu melepaskannya.
“Maafkan aku, karena tidak mendengarkan nasihatmu dulu. Kalau bukan jari
patahku, aku pasti sudah mati dijadikan persembahan oleh suku primitif. Jika
kau ahli makna, apa makna dari tindakanku memenjarakanmu?” tanya raja.
Sambil tersenyum ia membalas. “Terima kasih raja. Jika saja aku tidak
dipenjara dan ikut berburumu, mungkin akulah yang dijadikan persembahan,”
balasnya.
“Tak ada kuasa memilih untuk menang atau kalah, lalu kenapa mengutuk
nasib? Pahami saja kalau semua memberi arti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar