Minggu, 16 September 2012

Menyelisik Permasalahan Etnis Rohingnya

LP2KI (Lembaga Penulisan dan Penalaran Karya ILmiah)  sebagai salah satu UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa ) di FH-UH (Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin), menunjukkan peran aktifnya dalam mengembangkan suasana keilmuan dengan mengadakan diskusi yang terbuka untuk umum. Acara tersebut dilaksanakan pada hari Selasa  (12/09), dimulai pukul 10.30 WITA, dan berakhir sekitar pukul 12.50 WITA.  Permasalahan yang dihadapi oleh etnis Rohingnya di Myanmar  tahun ini manjadi pokok pembahasan, yang terelaborasi dari  tema  ”Peran Indonesia Pada Penyelesaian Konflik Rohingnya”. Diskusi  tersebut dihadiri kurang lebih empat puluh  orang, yang berasal dari perwakilan UKM lingkup FH-UH.
Hadir sebagai pembicara dalam acara tersebut, Komaruddin S.H, DFM,  alumni FH-UH, yang memaparkan sejarah singkat mengenai keberadan etnis Rohingnya di Myanmar, serta keadaan yang mereka alami. Berdasarkan pemeparannya, Etnis Rohingnya merupakan pengungsi dari Arab yang memasuki Nagara Myanmar secara illegal, sehingga ia pun tidak diakui sebagai warga Nagara. Akibat ketidakpastian memperoleh status kewarganagaraan di nagara rezim junta militer tersebut, yang berimlikasi pada tidak dipenuhinya hak-hak asasi  mereka oleh nagara, banyak di antara etnis Rohingnya  yang akhirnya berusaha keluar dari negara Myanmar. Pada bulan Januari dan Februari 2009, mereka keluar menuju negara yang bisa memberikan kehidupan yang layak, misalnya Australia. Namun dalam perjalanan, banyak di antara mereka terdampar di beberapa negara tetangga Myanmar, seperti Pakistan, Thailand,  bahkan di Indonesia, khususnya di Aceh.  Namun di beberapa negara, misalnya di Thailand dengan pemerintahan junta militernya, ternyata tidak “ramah” terhadap mereka, bahkan kapal yang mereka tumpangi ditembaki oleh militer saat memasuki perairan Thailand.
Melihat kejadian itu, sebenarnya Thailand dapat dinyatakan melanggar  prinsip  non-revolvement, yang juga menjadi kebiasaan dan sumber hukum internasional. Makna prinsip ini sendiri di antaranya:
1.    Setiap nagara dilarang mengusir pengungsi yang masuk di wilayahnya;
2.  Setiap negara tidak boleh mengembalikan pengungsi ke negara asalnya dengan paksa.
Di sela-sela perkuliahan, dengan mata kuliah Hukum Internasional, pada hari Jumat (14/09), salah satu dosen FH-UH menyatakan bahwa tidak ada imlikasi hukum internasional terhadap sikap Thailand tersebut, karena Thailand belum meratifikasi Konvensi 51 tentang pengungsi. Tindakan terhadap pelanggaran HAM internasional seharusnya dapat diganjar berdasarkan Statuta Roma, namun tentu saja, seperti lazimnya kesepakatan internasional, aturan hanya mengikat bagi nagara yang telah meratifikasi aturan internasional tersebut. Indonesia sampai sekarang  pun belum merativikasi konvensi 51  dan Statuta Roma  sehingga tidak ada kewajiban bagi nagara Indonesia untuk memperlakukan para pengungsi sesuai amanat konvensi tersebut. Meskipun demikian, Indonesia sebagai nagara yang menghormati hak-hak asasi manusia, sebagaimana yang tertuang dalam UUD 1945, tetap mengambil sikap yang bijak kepada para pengungsi, bahkan itu menjadi sebuah kebiasaan.
Pada April 2009, diselenggarakan KTT ASEAN yang turut dibahas mengenai pengungsi Rohingnya. Untuk menindaklanjuti hal tersebut, pada Mei 2010, diadakan pertemuan di Bali yang melahikan kesepakatan Bali Process. Isi dari kesepakatan tersebut adalah:
1.   Myanmar tidak mengkui etnis Rohingnya (sebagai warganagara);
2.   Indonesia bersedia menampung para pengungsi Rohingnya untuk sementara (negara transit);
3.  Australia bersedia menerima para pengungsi Rohingnya, asalkan dokumen dan persyaratan imigrasi terpenuhi;
4.   Pengungsi yang diterima Australia, hanya yang mendapat status pengungsi dari UNHCR.
Dalam sesi tanya-jawab, Salah seorang peserta mempertanyakan, keadaan statelesss person (orang tanpa kewarganagaraan) etnis Rohingnya, yang jika menelisik sejarah, mereka telah ada di Myanmar sebelum nagara tersebut merdeka. Menjawab pertanyaan tersebut, pembicara kedua, seorang mahasiswi FH-UH angkatan 2009, Iona Hiroshi Yuki Rombot menyatakan bahwa itu bukanlah ukuran, dan bisa dianalogikan ketika dahulu, status kewarganagaraan etnis Tionghoa tidak diakui di Indonesia, meskipun akhirnya diakui. Salah satu peserta lainnya mempertanyakan mengenai ketidaktegasan para negara lain untuk menuntut pelanggaran HAM yang jelas dilakukan oleh pemerintah junta militer Myanmar ke pengadilan HAM Internasional (ICC). Menanggapi pertanyaan tersebut, pemeteri menyatakan bahwa hal itu harus memenuhi beberapa kriteria, di antaranya didukung oleh beberapa negara, memenuhi persyaratan dan melalui mekanisme sebagaimana termaktub dalam Statuta Roma, melalui persetujuan PBB, dan adanya subjek (orang) yang dianggap bertanggungjawahb terhadap pelanggaran HAM tersebut.
Sebagai salah satu pendiri ASEAN yang bertujuan untuk memajukan nagara dan bangsa-bangsa di kawasan Asia Tenggara, Indonesia sudah seharusnya memanfaatkan kedudukannya untuk menjadi mediator dalam mengupayakan rekonsiliasi antara etnis Rohingnya dengan pemerintah Myanmar, bukan sekadar menampung ataupun mencari negara yang bersedia menerima mereka. Selain itu, politik bebas aktif yang telah ditanamkan oleh founding father, dapat menjadi acuan dalam hal menyikapi peristiwa-peristiwa kemanusiaan internasional, sehingga amanat UUD 1945 “….ikut melaksanakan ketertiban dunia yang bersasarkan kemerdekaan dan perdamaian abadi....”,  tidak sekadar dituliskan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar