LP2KI
(Lembaga Penulisan dan Penalaran Karya ILmiah) sebagai salah satu UKM
(Unit Kegiatan Mahasiswa ) di FH-UH (Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin),
menunjukkan peran aktifnya dalam mengembangkan suasana keilmuan dengan
mengadakan diskusi yang terbuka untuk umum. Acara tersebut dilaksanakan pada
hari Selasa (12/09), dimulai pukul 10.30 WITA, dan berakhir sekitar pukul
12.50 WITA. Permasalahan yang dihadapi oleh etnis Rohingnya di
Myanmar tahun ini manjadi pokok pembahasan, yang terelaborasi dari
tema ”Peran Indonesia Pada Penyelesaian Konflik Rohingnya”.
Diskusi tersebut dihadiri kurang lebih empat puluh orang, yang
berasal dari perwakilan UKM lingkup FH-UH.
Hadir
sebagai pembicara dalam acara tersebut, Komaruddin S.H, DFM, alumni
FH-UH, yang memaparkan sejarah singkat mengenai keberadan etnis Rohingnya di
Myanmar, serta keadaan yang mereka alami. Berdasarkan pemeparannya, Etnis
Rohingnya merupakan pengungsi dari Arab yang memasuki Nagara Myanmar secara
illegal, sehingga ia pun tidak diakui sebagai warga Nagara. Akibat
ketidakpastian memperoleh status kewarganagaraan di nagara rezim junta militer
tersebut, yang berimlikasi pada tidak dipenuhinya hak-hak asasi mereka
oleh nagara, banyak di antara etnis Rohingnya yang akhirnya berusaha
keluar dari negara Myanmar. Pada bulan Januari dan Februari 2009, mereka keluar
menuju negara yang bisa memberikan kehidupan yang layak, misalnya Australia.
Namun dalam perjalanan, banyak di antara mereka terdampar di beberapa negara
tetangga Myanmar, seperti Pakistan, Thailand, bahkan di Indonesia, khususnya di Aceh. Namun di beberapa negara, misalnya di Thailand dengan pemerintahan junta militernya, ternyata
tidak “ramah” terhadap mereka, bahkan kapal yang mereka tumpangi ditembaki oleh
militer saat memasuki perairan Thailand.
Melihat
kejadian itu, sebenarnya Thailand dapat dinyatakan melanggar
prinsip non-revolvement, yang juga menjadi kebiasaan dan sumber hukum
internasional. Makna prinsip ini sendiri di antaranya:
1. Setiap nagara dilarang mengusir
pengungsi yang masuk di wilayahnya;
2. Setiap negara tidak boleh
mengembalikan pengungsi ke negara asalnya dengan paksa.
Di
sela-sela perkuliahan, dengan mata kuliah Hukum Internasional, pada hari Jumat
(14/09), salah satu dosen FH-UH menyatakan bahwa tidak ada imlikasi hukum
internasional terhadap sikap Thailand tersebut, karena Thailand belum
meratifikasi Konvensi 51 tentang pengungsi. Tindakan terhadap pelanggaran
HAM internasional seharusnya dapat diganjar berdasarkan Statuta Roma, namun
tentu saja, seperti lazimnya kesepakatan internasional, aturan hanya mengikat
bagi nagara yang telah meratifikasi aturan internasional tersebut. Indonesia sampai sekarang pun belum merativikasi konvensi 51
dan Statuta Roma sehingga tidak ada kewajiban bagi nagara Indonesia untuk
memperlakukan para pengungsi sesuai amanat konvensi tersebut. Meskipun
demikian, Indonesia sebagai nagara yang menghormati hak-hak asasi manusia, sebagaimana yang
tertuang dalam UUD 1945, tetap mengambil sikap yang bijak kepada para
pengungsi, bahkan itu menjadi sebuah kebiasaan.
Pada
April 2009, diselenggarakan KTT ASEAN yang turut dibahas mengenai pengungsi
Rohingnya. Untuk menindaklanjuti hal tersebut, pada Mei 2010, diadakan
pertemuan di Bali yang melahikan kesepakatan Bali Process. Isi dari
kesepakatan tersebut adalah:
1. Myanmar tidak mengkui etnis
Rohingnya (sebagai warganagara);
2. Indonesia bersedia menampung para
pengungsi Rohingnya untuk sementara (negara transit);
3. Australia bersedia menerima para
pengungsi Rohingnya, asalkan dokumen dan persyaratan imigrasi terpenuhi;
4. Pengungsi
yang diterima Australia, hanya yang mendapat status pengungsi dari UNHCR.
Dalam
sesi tanya-jawab, Salah seorang peserta mempertanyakan, keadaan statelesss
person (orang tanpa kewarganagaraan) etnis Rohingnya, yang jika menelisik
sejarah, mereka telah ada di Myanmar sebelum nagara tersebut merdeka. Menjawab
pertanyaan tersebut, pembicara kedua, seorang mahasiswi FH-UH angkatan 2009,
Iona Hiroshi Yuki Rombot menyatakan bahwa itu bukanlah ukuran, dan bisa
dianalogikan ketika dahulu, status kewarganagaraan etnis Tionghoa tidak diakui
di Indonesia, meskipun akhirnya diakui. Salah satu peserta lainnya
mempertanyakan mengenai ketidaktegasan para negara lain untuk menuntut
pelanggaran HAM yang jelas dilakukan oleh pemerintah junta militer Myanmar ke
pengadilan HAM Internasional (ICC). Menanggapi pertanyaan tersebut, pemeteri
menyatakan bahwa hal itu harus memenuhi beberapa kriteria, di antaranya didukung
oleh beberapa negara, memenuhi persyaratan dan melalui mekanisme sebagaimana
termaktub dalam Statuta Roma, melalui persetujuan PBB, dan adanya subjek
(orang) yang dianggap bertanggungjawahb terhadap pelanggaran HAM tersebut.
Sebagai
salah satu pendiri ASEAN yang bertujuan untuk memajukan nagara dan bangsa-bangsa
di kawasan Asia Tenggara, Indonesia sudah seharusnya memanfaatkan kedudukannya untuk
menjadi mediator dalam mengupayakan rekonsiliasi antara etnis Rohingnya dengan pemerintah Myanmar, bukan
sekadar menampung ataupun mencari negara yang bersedia menerima mereka. Selain
itu, politik bebas aktif yang telah ditanamkan oleh founding father,
dapat menjadi acuan dalam hal menyikapi peristiwa-peristiwa kemanusiaan
internasional, sehingga amanat UUD 1945 “….ikut melaksanakan ketertiban dunia
yang bersasarkan kemerdekaan dan perdamaian abadi....”, tidak sekadar dituliskan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar