Minggu, 16 September 2012

Pers Sebagai Lentera Permasalahan Hukum Menuju Perjuangan Mahasiswa Yang Konstitusional

“Negara Indonesia adalah Negara hukum”, ditegasan dalam UUD 1945 Pasal 1 ayat (2). Berdasarkan ayat tersebut, Indonesia menganut sistem pembatasan kekuasaan secara konstitusional, sehingga kekuasaan sah haruslah memiliki landasan yuridis. Fungsi negara untuk melindungi segenap bangsa membutuhkan  instrument hukum yang jelas, agar rakyat terhindar dari penindasan penyalahgunaan kekuasaan negara. Kebutuhan warga negara akan perlindungan haknya tidak  mungkin terwujud pada tata kehidupan yang anomi, sehingga dibutuhkan penegasan norma untuk mewujudkan ketertiban hidup. Norma agama, kesusilaan maupun kesopanan sangat sulit dikukuhkan di negara ini,sebab rakyat memiliki latar belakang budaya yang berbeda-beda. Sadar akan konsep NKRI yang menjunjung tingggi semboyan Bhinneka Tinggal Ika, dibutuhkan keterlibatan negara dengan sifat (memaksa,monopoli dan mencakup semua) yang melekat padanya,untuk mewujudkan norma yang berlaku bagi seluruh warga negara, yaitu norma hukum.

Sistem pemerintahan yang otoriter akan memberikan batasan terhadap kebebasan berekpresi dan rakyat akan diperalat negara oleh alat-alat kekuasaanya. Kebebasan untuk memenuhi hak dan kewajiban harusnya tercipta di dalam kehidupan bernegara yang demokratis, di mana negara hadir sebagai alat penjamin. Supremsi hukum untuk  perlindungan hak asasi manusia (HAM), akan membuat seluruh warga negara bebas berperan aktif dalam pembangunan negara. Di negara hukum, bukanlah negara yang punya kekuasaan, tetapi negara hanya sebagai alat warga negara untuk mewujudkan keadilan HAM mereka, yang kewenangannya pun diberikan oleh hukum. Hal itu juga ditegaskan dalam dalam  UUD 1945 bahwa rakyatlah yang berdaulat berdasarkan hukum. Oleh karena itu, negara tidak punya wewenang untuk mengekang kebebasan warganya,selama sejalan dengan aturan hukum. ”Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat” (UUD 1945 Pasal 28E ayat (3) )

Kemajuan sebuah negara membutuhkan instrumen hukum yang baik dan benar-benar diaplikasikan oleh warganya, bukan  hukum yang tidur. Perkembangan hukum terus-menerus sesuai kebutuhan perkembangan zaman, sehingga dibutuhkan rumusan hukum yang tetap sesuai dengan nilai budaya bangsa, agar rakyat mampu menjiwai dan pengalikasikanya dengan  tulus. Demi terciptanya keadaan tersebut, dibutuhkan adanya sarana komunikasi hukum yang menyebarkan pengetahuan hukum, hingga bermunculan kritik dan saran untuk perumusan hukum yang lebih ideal. Peran inilah yang diemban pers mahasiswa (persma), yaitu sebagai pelopor dan kritikus wacana  hukum secara akademis.

Kehadiran persma harus menjadi lentera permasalahan hukum di negeri ini, bukan sekadar menyampaikan “pelecehan” hukum dan akibatnya, tetapi menelisik akar permasalahan, mengapa pelanggaran hukum dapat terjadi dan apa langkah preventifnya? Berada di lingkungan akademis, dengan pemikir yang bertebaran, harusnya dimanfaatkan untuk mendiskusikan kemudian memberitakan setiap fenomena hukum dengan pendekatan intelektual. Demonstrasi anarkis yang mengedepankan emosi dan berujung pada konflik horizontal, dapat diminimalisir jika optimalisasi peran persma dengan menyediakan ruang aspirasi yang seimbang antara pihak yang bersilang pendapat dalam dimensi vertikal. Ketika penguasa negara acuh tak acuh terhadap permasalahan rakyat, rakyat seharusnya tidak mengutamakan perlawanan fisik  melawan kekuatan senjata negara, tetapi melumpuhkan wewenang yang diberikan hukum kepadanya melalui analisis  hukum, sebab negara kita adalah negara hukum.

Pada awalnya, Indische Vereeniging sebagai cikal-bakal pers yang dibentuk tahun 1908 oleh pelajar indonesia di Belanda, bertujuan  menciptakan kesadaran dan semangat perjuangan bangsa untuk melepaskan diri dari belenggu kolonialis. Pasca kemerdekaan, persma berfungsi sebagai agen perubahan dan kontrol sosial dalam memperbaiki tatanan kehidupan bernegara. Sebagai agen perubahan,persma diharapkan mampu memberitakan persoalan  faktual dan aktual  dalam kehidupan berbangsa, sehingga masyarakat berpikir dan merespons untuk menuju perubahan yang lebih baik. Jadi dalam hal ini, persma menjadi “penggali” informasi permasalahan hukum yang terkadang tertutupi atau kurang dilirik, namun sangat berpengaruh secara luas. Sebagai agen kontrol sosial, persma berusaha mengawal jalannya pemerintahan, kemudian mempertanyakan dan menginformasikan apabila ada kebijakan yang tidak sesuai dengan aturan atau kehendak rakyat, sehingga pihak yang berwenang beserta masyarakat tersadar untuk ikut serta dalam mengawal kebijakan pada jalur yang benar.

Terpadunya kekuatan pers dan  mahasiswa dalam persma memberikan jaminan bahwa persma tidak hanya menitipberatkan aspek kuantitas penyampaian informasi, tetapi menyediakan pengetahuan yang betul-betul mendalam terhadap permasalahan kehidupan bernegara. Mahasiswa yang dipandang sebagai gelar tertinggi pencari ilmu, tidak seharusnya menumpuk ilmunya untuk kepentingan pribadi semata, dan melupakan tanggung jawab pengabdiannya kepada masyarakat, melainkan mengaplikasikan itu dalam kehidupan bermasyarakat. Pers sebagai wadah berpendapat tanpa diskriminasi dalam melakukan pressure kebijakan pemerintah, harusnya dimanfaatkan oleh mahasiswa untuk menyampaikan ide-ide cemerlangnya, sehingga yang diserap oleh masyarakat bukan hanya kesemrawutan hukum semata, tetapi disertai solusi perbaikan.

Pasal 3 ayat (1) UU No. 40 tahun 1999  tentang Pers menyatakan fungi pers ialah sebagai media informasi, pendidikan, hiburan dan kontrol sosial. Hal itu menegaskan pentingnya pers sebagai samudera wawasan dan hiburan yang bermanfaat bagi masyarakat, serta pengendali terhadap kebijakan pemerintah. Oleh karena itu, tidak berlebihan jika lembaga pers sering disebut sebagai pilar keempat demokrasi (the fourth estate), sebab pers memiliki kewenangan untuk mengoreksi jalannya pemerintahan negara oleh tiga pilar demokrasi yang lain (legislative, eksekutif, dan yudikatif). Tanpa pers, dapat dibayangkan kemungkinan terjadinya pengabaian terhadap asas-asas demokrasi.

Dalam mencapai tujuan persma sebagai agen perubahan dan kontrol sosial, harus tercipta kondisi persma yang independen. Kekhawatiran akan aib, membuat individu dan kelompok menganggap pers sebagai musuh yang perlu untuk dijinakkan, sehingga kezalimannya pun tertutupi dengan narasi pers yang “menjilat”. Semakin gencar pengaruh untuk menghancurkan ideologi persma, harusnya dianggap sebagai bukti bahwa pers masih ditakuti, bukannya rela menjadi budak para penguasa dan pengusaha. Pers yang bertugas bekerja untuk kepentingan masyarakat banyak akan kokoh dengan topangan rakyat yang merasa pemberitaan persma merupakan hal yang baik untuk perkembangan bangsa. Ideologi kerakyatan yang mengilhami tindakan persma, harusnya memberikan semangat untuk terus mengkritisi kebijakan birokrat yang menindas rakyat atas nama hukum, sebab hukum diciptakan untuk rakyat. Permasalahan klasik persma adalah keterbatasan dana untuk melakukan aktivitasnya, hingga mengharuskannya terikat dengan sumber-sumber pendanaan yang memberikan implikasi psikologis bahwa persma harus “berterima kasih”. Selain itu, keberadaan persma sebagai unit kegiatan maasiswa yang dibawahi oleh lembaga perguruan tinggi, membuatnya penuh dengan kontrol yang  menumpulkan kekritisan informasinya.

Dalam kehidupan akademis kritikan dan saran dinggap sebagai anugerah. Sebab itu, harus tercipta independensi persma demi transparansi untuk perubahan menuju kehidupan bernegara yang konstutusional. Perguruan tinggi sebagai replika kehidupan berbangsa yang menjunjung kebebasan perpendapat, haruslah membuat persma bebas menyebarkan informasi, sehingga mahasiswa yang intelektual tidak sekadar merumuskan konsep, tetapi menyarankan konsep tatanan negara hukum yang ideal melalui persma, atau setidaknya saran perbaikan untuk institusi pendidikan itu sendiri. Oleh karena itu, perlu dirumuskan kebijakan untuk membuat persma independen. Jalannya bisa dengan memutuskan ikatan pendanaan dengan institusi yang termasuk ruang ligkup pemberitaannya  dan mencari sumber pendanaan yang tidak berpengaruh terhadap pemberitaan, menciptakan persma yang terlepas dari kontrol institusi pendidikan melalui kesepakatan dengan birokrat untuk independensi persma, ataupun menguatkan lembaga persma lingkup nasional untuk mendiri dalam segala aspek. Albert Camus, novelis terkenal dari Perancis pernah mengatakan bahwa pers bebas dapat baik dan dapat buruk, namun tanpa pers bebas, yang ada hanya celaka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar