Senin, 10 September 2012

Pembenahan Hukum Nasional

Bangsa yang merdeka berarti memiliki kebebasan untuk mengaktualisasikan potensinya, hidup sesuai harkat, martabat dan hak-hak asasinya manusia, serta memiliki kedaulatan atas negaranya terhadap intervensi dari negara asing. Perjuangan para pahlawan yang telah memberikan kemerdekaan, hingga akhirnya kita merasakan di zaman sekarang, seharusnya tidak hanya dijadikan sebagai “dongeng heroik” belaka, tetapi menjadi motivasi kita untuk meneruskan cita-cita mulia mereka, yaitu terciptanya negara yang merdeka seutuhnya, serta berjaya dalam segala sektor. Konsep Trisakti yang dicetuskan Presiden Soekarno, yaitu: berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan, seharusnya menjadi dasar refleksi terhadap kehidupan bernegara kita sekarang.
Harapan merealisasikan cita-cita bernegara kita sesuai amanat UUD 1945 dan para founding father negara tentunya bukan hal yang mudah. Ketidakstabilan politik yang terjadi sekarang, manjadi salah satu faktor yang memperlambat kemajuan negara, terlebih beragamnya ideologi dan kepentingan yang menjadi dasar perjuangan para politisi yang tersekte dalam partai poltik tertentu. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menegaskan: Negara Indonesia adalah negara hukum, seharusnya tertanam dalam benak para pengambil kebijakan kenegaraan, sehingga dalam setiap pengambilan kebijakan tidak sekadar mengutamakan pragmatisme dengan cara-cara politik terselubung, tetapi harus sadar akan amanah hukum dan amanah rakyat yang diembannya, yaitu melakukan secara konstitusional.
Pada zaman Orde Baru, GBHN 1973 sampai GBHN 1998 memasukkan sasaran pembangunan ke dalam empat bidang;
  1. Bidang ekonomi;
  2. Bidang agama, kepercayaan kepada tuhan yang maha esa, sosial  budaya;
  3. Politik, aparatur pemerintah, hukum dan hubungan luar negeri
  4. Pertahanan keamanan nasional
(Bernard Arief Sidharta. 2000. Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum. CV Mandar Maju: Bandung)
Dengan melihat hal tersebut, jelas bahwa pembangunan hukum nasional hanya menjadi subsistem dalam bembangunan politik, sehingga pada era itu pun sering sekali terjadi penafikan hukum yang disepakati berdasarkan legitimasi kekuasaan yang “membabi buta”. Hal itu membuktikan bahwa supremasi hukum yang kurang mantap akan membuat terwujudnya rechtsstaat sesuai amanat UUD 1945 hanya mantap pada tataran das sollen belaka, dan kenyataannya kendali negara didominasi oleh kekuasaan (machtsstaat) berdasarkan politik yang tidak terkontrol.
Kemerdekaan yang kita nikmati sekarang seharusnya tidak hanya dititipberatkan pada pesta kadaulatan politik belaka, ataupun memprioritaskan pembangunan ekonomi yang tidak punya landasan pertimbangan yang matang, tetapi mengusahakan terwujudnya hukum yang menjadi dasar dalam membangun negara, sehingga cita-cita bernegara tercapai secara tepat dan cepat. Sudah menjadi pengalaman bahwa kekuasaan yang tidak dibatasi akan mengakibatkan penyalahgunaan wewenang, dan pembangunan ekonomi yang hanya mementingkan aspek kemajuan secara empiris tanpa tatakelola yang mantap, malah menyebabkan ketidakstabilan ekonomi. Hal itu terjadi pada masa Orde Baru, dimana banyak terjadi praktek KKN, terjadi  inflasi serta utang luar negeri yang masih ditanggung sampai sekarang.
Tatanan hukum yang represif, ditandai distorsi kekuasaan terhadap hukum, terlebih ketika hukum dibentuk dan digunakan sebagai instrumen untuk pelegalan kekuasaan yang bertentangan dengan UUD 1945. Langkah yang harus ditempuh adalah melakukan pembenahan secara konstitusional, bukan melalui jalur politik yang bisa saja semakin memperparah kronisnya keadaan hukum. Hukum yang kita harapkan saat ini adalah hukum yang dijunjung tinggi, yang memberikan dasar terhadap kontrol kekuasaan dan kontrol sosial demi terwujudnya negara yang maju dan terpenuhinya hak-hak asasi  bangsa. Semangat pembangunan hukum nasional  yang otonomius telah dimulai ketika perumusan GBHN tahun 1993, yang membuat sasaran pembangunan hukum mandiri dari pembangunan politik. Hal itu merupakan titik awal penegakan hukum yang terbebas dari intervensi eksekutif dan legislatif, sehingga benar-benar tercipta hukum yang menjadi pedoman pembaharuan.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa hukum yang berlaku di Indonesia masih “digado-gado” dengan peninggalan kolonial, meskipun kemerdekaan sudah diproklamirkan 67 tahun yang lalu. Cita hukum yang seharusnya menjadi tujuan adalah menjadikan pancasila sebagai dasar, dengan UUD 1945 sebagai bingkai tatanan hukum nasional. Soyogianya sebagai merdeka, lagi negara hukum, setiap orang harus diperlakukan sama didepan hukum, dan hukum mampu menjadi penjamin tercapainya harapan kolektif bangsa Indonesia. Oleh karena itu, hukum harus tercipta dari aturan hidup para leluhur bangsa Indonesia (hukum adat) sehingga terealisasi hukum responsif, yang peka terhadap kebutuhan bangsa sesuai perkembangan zaman. Wawasan kebangsaan dan wawasan nusantara adalah pedoman pokok yang seharusnya mendasari perumusan hukum yang mengatur kehidupan berbangsa dalam segala sektor.
Dalam Aturan Peralihan UUD 1945 Pasal I dinyatakan: Segala peraturan perundang-undangan yang ada masih tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini. Dilanjutkan Pasal II yang menyatakan: Semua lembaga negara yang ada masih tetap berfungsi  sepanjang untuk melaksanakan ketentuan Undang-Undang Dasar dan belum diadakan yang baru menurut UndangUndang Dasar ini.’Meskipun ada celah untuk pengadopsian peninggalan hukum kolonial, namun hal itu merupakan antisipasi terhadap kekosongan hukum, dan dari pasal diatas, tersirat harapan pengadaan hukum yang baru menurut UUD 1945.
Dalam Buku karangan Bernard Arief Sidharta, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, hal 4-5, dituliskan beberapa faktor sehingga sehingga terwujudnya cita-cita hukum nasional tidak segera terlaksana, yaitu:
  1. Perang kemerdekaan sebagai akibat usaha Belanda untuk mengembalikan kekasaan kolonial di Indonesia;
  2. Secara etnis, bangsa Indonesia heterogen dengan berbagai adat istiadat dan sub-kulturalnya, dan tersebar pada suatu wilayah kepulauan yang sangat luas. Hal itu menyebabkan interaksi antar suku kurang intens, sehingga unifikasi hukum tidak dapat terjadi secara alamiah;
  3. Kolonial sudah cukup lama menguasai kehidupan hukum nasional yang berakibat pada rumitnya membangun pola hukum baru yang dapat diterima dengan cepat;
  4. Politik hukum kolonial yang sudah “berakar”, bahkan menyisihkan hukum adat  yang dijiwa bangsa Indonesia;
  5. Pada saat kemerdekaan diproklamasikan, jumlah sarjana hukum yang berkompeten, khususnya dalam bidang legislative drafting masih minim, yaitu kurang dari 200 orang.
Dengan mengamati keadaan diatas, membandingkan dengan keadaan yang kita jalani sekarang, tentu kita sepakat bahwa semuanya telah berbeda, terlebih besarnya interval waktu sejak kemerdekaan hingga sekarang. Dengan telaah hukum yang lebih cermat, seharusnya kita bertanya, apakah hukum yang ada sekarang memang sesuai dengan jati diri bangsa Indonesia?
Sistem hukum dinyatakan Lawrence M. Friedman tersusun atas struktur, substansi, kultur hukum. Melihat kenyataan yang ada, aparat hukum sebagai penegak hukum merupakan bangsa kita sendiri, namun institusi dan kewenangannya dibentuk berdasarkan substansi hukum peninggalan kolonial. Di lain sisi, sangat sulit terwujud ketaatan hukum, terlebih karena budaya hukum kita tidak sesuai dengan budaya hukum yang tersirat dalam substansi hukum warisan itu. Hukum seyogianya bersumber dari nilai, sikap , perasaan dan perilaku (kultur hukum) yang telah terpatri dalam jiwa, bukan sesuatu yang dipaksakan berlakunya. Kita memang telah merdeka dari kekejaman kolonialisme, tapi janganlah kita saling menjajah, apalagi mengagungkan hukum asing dan secara sadar menjajah sebangsa kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar