Bangsa
yang merdeka berarti memiliki kebebasan untuk mengaktualisasikan potensinya,
hidup sesuai harkat, martabat dan hak-hak asasinya manusia, serta memiliki kedaulatan atas negaranya terhadap intervensi dari
negara asing. Perjuangan para pahlawan yang telah memberikan kemerdekaan,
hingga akhirnya kita merasakan di zaman sekarang, seharusnya tidak hanya dijadikan sebagai “dongeng heroik” belaka, tetapi menjadi motivasi kita untuk
meneruskan cita-cita mulia mereka, yaitu terciptanya negara yang merdeka
seutuhnya, serta berjaya dalam segala sektor. Konsep Trisakti yang dicetuskan Presiden
Soekarno, yaitu: berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi, dan
berkepribadian dalam kebudayaan, seharusnya menjadi dasar refleksi terhadap
kehidupan bernegara kita sekarang.
Harapan
merealisasikan cita-cita bernegara kita sesuai amanat UUD 1945 dan para founding
father negara tentunya bukan hal yang mudah. Ketidakstabilan politik yang
terjadi sekarang, manjadi salah satu faktor yang memperlambat kemajuan negara,
terlebih beragamnya ideologi dan kepentingan yang menjadi dasar perjuangan para
politisi yang tersekte dalam partai poltik tertentu. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945
menegaskan: Negara Indonesia adalah negara hukum, seharusnya tertanam dalam
benak para pengambil kebijakan kenegaraan, sehingga dalam setiap pengambilan
kebijakan tidak sekadar mengutamakan pragmatisme dengan cara-cara politik
terselubung, tetapi harus sadar akan amanah hukum dan amanah rakyat yang
diembannya, yaitu melakukan secara konstitusional.
Pada
zaman Orde Baru, GBHN 1973 sampai GBHN 1998 memasukkan sasaran pembangunan ke
dalam empat bidang;
- Bidang ekonomi;
- Bidang agama, kepercayaan kepada tuhan yang maha esa, sosial budaya;
- Politik, aparatur pemerintah, hukum dan hubungan luar negeri
- Pertahanan keamanan nasional
(Bernard
Arief Sidharta. 2000. Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum. CV Mandar Maju:
Bandung)
Dengan
melihat hal tersebut, jelas bahwa pembangunan hukum nasional hanya menjadi
subsistem dalam bembangunan politik, sehingga pada era itu pun sering sekali terjadi
penafikan hukum yang disepakati berdasarkan legitimasi kekuasaan yang “membabi
buta”. Hal itu membuktikan bahwa supremasi hukum yang kurang mantap akan
membuat terwujudnya rechtsstaat sesuai amanat UUD 1945 hanya mantap pada
tataran das sollen belaka, dan kenyataannya kendali negara didominasi
oleh kekuasaan (machtsstaat) berdasarkan politik yang tidak terkontrol.
Kemerdekaan
yang kita nikmati sekarang seharusnya tidak hanya dititipberatkan pada pesta
kadaulatan politik belaka, ataupun memprioritaskan pembangunan ekonomi yang
tidak punya landasan pertimbangan yang matang, tetapi mengusahakan terwujudnya
hukum yang menjadi dasar dalam membangun negara, sehingga cita-cita bernegara
tercapai secara tepat dan cepat. Sudah menjadi pengalaman bahwa kekuasaan yang
tidak dibatasi akan mengakibatkan penyalahgunaan wewenang, dan pembangunan
ekonomi yang hanya mementingkan aspek kemajuan secara empiris tanpa tatakelola
yang mantap, malah menyebabkan ketidakstabilan ekonomi. Hal itu terjadi pada
masa Orde Baru, dimana banyak terjadi praktek KKN, terjadi inflasi serta
utang luar negeri yang masih ditanggung sampai sekarang.
Tatanan
hukum yang represif, ditandai distorsi kekuasaan terhadap hukum, terlebih
ketika hukum dibentuk dan digunakan sebagai instrumen untuk pelegalan kekuasaan
yang bertentangan dengan UUD 1945. Langkah yang harus ditempuh adalah melakukan
pembenahan secara konstitusional, bukan melalui jalur politik yang bisa saja
semakin memperparah kronisnya keadaan hukum. Hukum yang kita harapkan saat ini
adalah hukum yang dijunjung tinggi, yang memberikan dasar terhadap kontrol
kekuasaan dan kontrol sosial demi terwujudnya negara yang maju dan terpenuhinya
hak-hak asasi bangsa. Semangat pembangunan hukum nasional yang
otonomius telah dimulai ketika perumusan GBHN tahun 1993, yang membuat sasaran
pembangunan hukum mandiri dari pembangunan politik. Hal itu merupakan titik
awal penegakan hukum yang terbebas dari intervensi eksekutif dan legislatif,
sehingga benar-benar tercipta hukum yang menjadi pedoman pembaharuan.
Sudah
menjadi rahasia umum bahwa hukum yang berlaku di Indonesia masih “digado-gado”
dengan peninggalan kolonial, meskipun kemerdekaan sudah diproklamirkan 67 tahun
yang lalu. Cita hukum yang seharusnya menjadi tujuan adalah menjadikan pancasila
sebagai dasar, dengan UUD 1945 sebagai bingkai tatanan hukum nasional.
Soyogianya sebagai merdeka, lagi negara hukum, setiap orang harus diperlakukan
sama didepan hukum, dan hukum mampu menjadi penjamin tercapainya harapan
kolektif bangsa Indonesia. Oleh karena itu, hukum harus tercipta dari aturan
hidup para leluhur bangsa Indonesia (hukum adat) sehingga terealisasi hukum
responsif, yang peka terhadap kebutuhan bangsa sesuai perkembangan zaman.
Wawasan kebangsaan dan wawasan nusantara adalah pedoman pokok yang seharusnya
mendasari perumusan hukum yang mengatur kehidupan berbangsa dalam segala
sektor.
Dalam
Aturan Peralihan UUD 1945 Pasal I dinyatakan: Segala peraturan
perundang-undangan yang ada masih tetap berlaku selama belum diadakan yang baru
menurut Undang-Undang Dasar ini. Dilanjutkan Pasal II yang menyatakan: Semua
lembaga negara yang ada masih tetap berfungsi sepanjang untuk
melaksanakan ketentuan Undang-Undang Dasar dan belum diadakan yang baru menurut
UndangUndang Dasar ini.’Meskipun ada celah untuk pengadopsian peninggalan hukum
kolonial, namun hal itu merupakan antisipasi terhadap kekosongan hukum, dan
dari pasal diatas, tersirat harapan pengadaan hukum yang baru menurut UUD 1945.
Dalam
Buku karangan Bernard Arief Sidharta, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, hal
4-5, dituliskan beberapa faktor sehingga sehingga terwujudnya cita-cita hukum
nasional tidak segera terlaksana, yaitu:
- Perang kemerdekaan sebagai akibat usaha Belanda untuk mengembalikan kekasaan kolonial di Indonesia;
- Secara etnis, bangsa Indonesia heterogen dengan berbagai adat istiadat dan sub-kulturalnya, dan tersebar pada suatu wilayah kepulauan yang sangat luas. Hal itu menyebabkan interaksi antar suku kurang intens, sehingga unifikasi hukum tidak dapat terjadi secara alamiah;
- Kolonial sudah cukup lama menguasai kehidupan hukum nasional yang berakibat pada rumitnya membangun pola hukum baru yang dapat diterima dengan cepat;
- Politik hukum kolonial yang sudah “berakar”, bahkan menyisihkan hukum adat yang dijiwa bangsa Indonesia;
- Pada saat kemerdekaan diproklamasikan, jumlah sarjana hukum yang berkompeten, khususnya dalam bidang legislative drafting masih minim, yaitu kurang dari 200 orang.
Dengan
mengamati keadaan diatas, membandingkan dengan keadaan yang kita jalani sekarang,
tentu kita sepakat bahwa semuanya telah berbeda, terlebih besarnya interval
waktu sejak kemerdekaan hingga sekarang. Dengan telaah hukum yang lebih cermat,
seharusnya kita bertanya, apakah hukum yang ada sekarang memang sesuai dengan
jati diri bangsa Indonesia?
Sistem
hukum dinyatakan Lawrence M. Friedman tersusun atas struktur, substansi, kultur
hukum. Melihat kenyataan yang ada, aparat hukum sebagai penegak hukum merupakan
bangsa kita sendiri, namun institusi dan kewenangannya dibentuk berdasarkan substansi
hukum peninggalan kolonial. Di lain sisi, sangat sulit terwujud ketaatan hukum,
terlebih karena budaya hukum kita tidak sesuai dengan budaya hukum yang
tersirat dalam substansi hukum warisan itu. Hukum seyogianya bersumber dari
nilai, sikap , perasaan dan perilaku (kultur hukum) yang telah terpatri dalam
jiwa, bukan sesuatu yang dipaksakan berlakunya. Kita memang telah merdeka dari
kekejaman kolonialisme, tapi janganlah kita saling menjajah, apalagi
mengagungkan hukum asing dan secara sadar menjajah sebangsa kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar