Dalam
rangkaian acara Dies Natalis ke-56 Unhas bertema: “Mewujudkan Sivitas Akademika
Unhas Yang Berkarakter Manusiawi, Arif, Religius, Tangguh, Inovatif, Dan
Mandiri (MARITIM) Menuju Universitas Kelas Dunia”, yang dilaksanakan Baruga A.P
Pettarani, Selasa (10/09), turut hadir Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Mahfud MD.
Dalam acara tersebut, Mahfud MD berkesempatan menyampaikan orasi ilmiahnya. Di
hadapan para wisudawan, dan beberapa pejabat pemerintahan, di antaranya
Gubernur Sulawesi Selatan, Panglima Kodam VII, serta Wakapolri Sulawesi
Selatan, Mahfud menyatakan beberapa realitas dalam kehidupan bangsa Indonesia
sekarang. Dalam durasi sekitar pukul 10.10-10.55 Wita, dia memaparkan
pemasalahan mengenai pendidikan, politik, hukum, dan ekonomi.
Menyinggung
mengenai dunia pendidikan di Indonesia, Mahfud merasa prihatin terhadap masih
banyaknya lulusan perguruan tinggi yang seharusnya menjadi aset negara malah
menjadi beban negara. Di antara beberapa penyebab yang ia ungkapkan adalah para
mahasiswa mulai larut dalam hedonisme. Praktik jual-beli gelar dan ijazah yang
masih terjadi, juga menjadi keprihatinannya. Menurutnya, hal itu tejadi karena
gelar dan ijazah merupakan syarat formal bagi seseorang menduduki jabatan struktural publik. Selain itu, kultur masyarakat yang memandang status sosial seseorang
berdasarkan gelar akademik juga menjadi pendorong. Kenyataan dalam dinamika kehidupan
sekarang, menurutnya, meskipun seseorang mempunyai kapabilitas, tapi dia akan
dikesampingkan karena tidak memenuhi syarat formal, walau gelar dan ijazah
tidak menjamin kapabilitas seseorang.
Tujuan
negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, mengandung makna membentuk pribadi
yang memiliki kecerdasan intelektual dan budi pekerti yang baik. Perubahan kata
‘pengajaran’ menjadi ‘pendidikan’ dalam Pasal 31 UUD 1945, mengandung makna
bahwa negara, dalam hal ini pemerintah, tidak hanya melakukan pengajaran yang
bertujuan untuk meningkatkan kecerdasan otak, tetapi menyelenggarakan
pendidikan yang berarti menciptakan bangsa yang cerdas dan memiliki budi
pekerti yang mulia. Bagi Mahfud, perguruan tinggi harusnya menetak cendekiawan,
bukan mencetak sarjana belaka. Dia mengartikan sarjana sebagai lulusan
dalam strata tertentu yang hanya mengasah kecerdasan, rasionalitas dan logika
saja. Sedangkan seorang cendekiawan menyertakannya dengan moralitas yang
baik.
Mengenai
politik yang seyogianya menjujung asas demokrasi, kini mulai tergerus
oleh praktik-praktik oligarkis, yaitu pengambilan keputusan berdasarkan
kepentingan diantara elit-elit politik, tanpa mempedulikan aspirasi rakyat. Hal
itu ditegaskan Mahfud, bahwa politik sudah lepas dari etika. Banyaknya regulasi
yang diputuskan secara oligarkis, memunculkan banyak penolakan sosial (demonstrasi) dan penolakan konstutusional (judicial review)
. Terbukti, sejak didirikan pada tanggal 13 Agustus 2003, MK telah
membatalkan 140 gugatan judicial review.
Keadaan
rakyat yang masih jauh dari kesejahteraan, merupakan akibat dari
menyelewengan konsep ekonomi kerakyatan yang diamanatkan UUD 1945. Perlahan
bangsa Indonesia sisusupi paham neoliberalisme. Menurut Mahfud, realita
kesenjangan sosial, sudah dapat menegaskan hal tersebut.
Mengenai
permasalahan hukum yang marak diperbincangkan, Mahfud memandang itu terjadi
karena adanya kesenjangan etika dengan normatif hukum. Para praktisi hukum yang
kurang bermoral, menjadikan hukum bukan untuk mencari kebenaran, tetapi
berusahan mencari kemenangan. Bahkan Mahfud sempat menyatakan bahwa karut-marut
hukum yang terjadi sekarang tidak seharusnya hanya dipersalahkan kepada hakim
dan jaksa, tetapi juga kepada para pengacara yang terkadang terkadang
“membelokkan” tafsir hukum. Pengacara dengan kepentingan tertentu, sering
menafsirkan hukum bukan berdasarkan keadilan dan memperdebatkan tafsir hukum
secara tekstual, tanpa memandang hukum secara konprehensif.
Di
akhir orasinya, Mahfud kembali menyinggung masalah pendidikan dan mengharapkan
perguruan tinggi melakukan pembinaan berdasarkan amanat Pasal 31 ayat (5) UUD
1945, yang menyatakan bahwa pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi
dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan
peradaban serta kesejahteraan umat manusia. Bagi Mahfud, IPTEKS dan agama
merupakan dua hal yang penting dan tidak boleh dipisahkan dalam
menyelenggarakan pendidikan, sehingga terbina penerus bangsa yang unggul. Kembali,
Mahfud menyatakan bahwa sebuah perguruan tinggi harus berdasarkan beberapa
nilai dalam “mencetak” sarjana, yaitu: (1). Mengintegrasikan ilmu dengan iman,
(2). Mengembangkan mutu rasionalitas, tetapi tidak tunduk pada rasionalisme
(paham yang menganggap kebenaran hanya yang dapat dianalisis secara
empiris-ilmiah) yang bisa mengesampingkan agama, (3). Ilmu pengetahuan harus
memihak pada kepentingan dan kebutuhan manusia, dan tidak boleh bebas nilai.
Sebelum
mengakhiri orasinya, Mahfud menyampaikan syarat untuk majunya sebuah perguruan
tinggi yaitu, (1). Memiliki norma akademik dan aturan formal pendidikan, (2).
Mengembangkan tradisi akademik seperti diskusi, seminar dan karya ilmiah, dan
(3). Tersedianya sarana dan prasarana untuk penunjang kegiatan
ekstrakurikuler para mahasiswa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar