Minggu, 16 September 2012

Mahfud MD Berorasi Di Unhas

Dalam rangkaian acara Dies Natalis ke-56 Unhas bertema: “Mewujudkan Sivitas Akademika Unhas Yang Berkarakter Manusiawi, Arif, Religius, Tangguh, Inovatif, Dan Mandiri (MARITIM) Menuju Universitas Kelas Dunia”, yang dilaksanakan Baruga A.P Pettarani, Selasa (10/09), turut hadir Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Mahfud MD. Dalam acara tersebut, Mahfud MD berkesempatan menyampaikan orasi ilmiahnya. Di hadapan para wisudawan, dan beberapa pejabat pemerintahan, di antaranya Gubernur Sulawesi Selatan, Panglima Kodam VII, serta Wakapolri Sulawesi Selatan, Mahfud menyatakan beberapa realitas dalam kehidupan bangsa Indonesia sekarang. Dalam durasi sekitar pukul 10.10-10.55 Wita, dia memaparkan pemasalahan mengenai pendidikan, politik, hukum, dan ekonomi.

Menyinggung mengenai dunia pendidikan di Indonesia, Mahfud merasa prihatin terhadap masih banyaknya lulusan perguruan tinggi yang seharusnya menjadi aset negara malah menjadi beban negara. Di antara beberapa penyebab yang ia ungkapkan adalah para mahasiswa mulai larut dalam hedonisme. Praktik jual-beli gelar dan ijazah yang masih terjadi, juga menjadi keprihatinannya. Menurutnya, hal itu tejadi karena gelar dan ijazah merupakan syarat formal bagi seseorang menduduki jabatan struktural publik. Selain itu, kultur masyarakat yang memandang status sosial seseorang berdasarkan gelar akademik juga menjadi pendorong. Kenyataan dalam dinamika kehidupan sekarang, menurutnya, meskipun seseorang mempunyai kapabilitas, tapi dia akan dikesampingkan karena tidak memenuhi syarat formal, walau gelar dan ijazah tidak menjamin kapabilitas seseorang.

Tujuan negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, mengandung makna membentuk pribadi yang memiliki kecerdasan intelektual dan budi pekerti yang baik. Perubahan kata ‘pengajaran’ menjadi ‘pendidikan’ dalam Pasal 31 UUD 1945, mengandung makna bahwa negara, dalam hal ini pemerintah, tidak hanya melakukan pengajaran yang bertujuan untuk meningkatkan kecerdasan otak, tetapi menyelenggarakan pendidikan yang berarti menciptakan bangsa yang cerdas dan memiliki budi pekerti yang mulia. Bagi Mahfud, perguruan tinggi harusnya menetak cendekiawan, bukan mencetak sarjana belaka. Dia mengartikan sarjana sebagai lulusan dalam strata tertentu yang hanya mengasah kecerdasan, rasionalitas dan logika saja. Sedangkan seorang cendekiawan menyertakannya dengan moralitas yang baik.

Mengenai politik yang seyogianya  menjujung asas demokrasi, kini mulai tergerus oleh praktik-praktik oligarkis, yaitu pengambilan keputusan berdasarkan kepentingan diantara elit-elit politik, tanpa mempedulikan aspirasi rakyat. Hal itu ditegaskan Mahfud, bahwa politik sudah lepas dari etika. Banyaknya regulasi yang diputuskan secara oligarkis, memunculkan banyak penolakan sosial (demonstrasi) dan penolakan konstutusional (judicial review) . Terbukti, sejak didirikan pada tanggal 13 Agustus 2003, MK telah membatalkan 140 gugatan judicial review.

Keadaan rakyat yang masih jauh dari kesejahteraan,  merupakan akibat dari menyelewengan konsep ekonomi kerakyatan yang diamanatkan UUD 1945. Perlahan bangsa Indonesia sisusupi paham neoliberalisme. Menurut Mahfud, realita kesenjangan sosial, sudah dapat menegaskan hal tersebut.

Mengenai permasalahan hukum yang marak diperbincangkan, Mahfud memandang itu terjadi karena adanya kesenjangan etika dengan normatif hukum. Para praktisi hukum yang kurang bermoral, menjadikan hukum bukan untuk mencari kebenaran, tetapi berusahan mencari kemenangan. Bahkan Mahfud sempat menyatakan bahwa karut-marut hukum yang terjadi sekarang tidak seharusnya hanya dipersalahkan kepada hakim dan jaksa, tetapi juga kepada para pengacara yang terkadang terkadang “membelokkan” tafsir hukum. Pengacara dengan kepentingan tertentu, sering menafsirkan hukum bukan berdasarkan keadilan dan memperdebatkan tafsir hukum secara tekstual, tanpa memandang hukum secara konprehensif.

Di akhir orasinya, Mahfud kembali menyinggung masalah pendidikan dan mengharapkan perguruan tinggi melakukan pembinaan berdasarkan amanat Pasal 31 ayat (5) UUD 1945, yang menyatakan bahwa pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia. Bagi Mahfud, IPTEKS dan agama merupakan dua hal yang penting dan tidak boleh dipisahkan dalam menyelenggarakan pendidikan, sehingga terbina penerus bangsa yang unggul. Kembali, Mahfud menyatakan bahwa sebuah perguruan tinggi harus berdasarkan beberapa nilai dalam “mencetak” sarjana, yaitu: (1). Mengintegrasikan ilmu dengan iman, (2). Mengembangkan mutu rasionalitas, tetapi tidak tunduk pada rasionalisme (paham yang menganggap kebenaran hanya yang dapat dianalisis secara empiris-ilmiah) yang bisa mengesampingkan agama, (3). Ilmu pengetahuan harus memihak pada kepentingan dan kebutuhan manusia, dan tidak boleh bebas nilai.

Sebelum mengakhiri orasinya, Mahfud menyampaikan syarat untuk majunya sebuah perguruan tinggi yaitu, (1). Memiliki norma akademik dan aturan formal pendidikan, (2). Mengembangkan tradisi akademik seperti diskusi, seminar dan karya ilmiah, dan  (3). Tersedianya sarana dan prasarana untuk penunjang kegiatan ekstrakurikuler para mahasiswa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar