Selasa, 08 Mei 2018

Legitimasi Hasil Pemilihan Rakyat

Pada tanggal 27 Juni 2018, pesta demokrasi akan diselenggarakan di beberapa daerah. Terhitung sebanyak 171 daerah akan mengadakan pemilihan kepala daerah (pilkada) secara serentak. Jumlah tersebut terdiri dari 17 provinsi, 115 kabupaten, dan 39 kota. Di sisi lain, pemilihan umum (pemilu) secara serentak, akan diadakan pada 17 April 2019.
 
Pemilu dan pilkada (pemilihan) sebagai wujud kedaulatan rakyat, pada dasarnya adalah gerbang untuk memilih pemimpin yang sesuai dengan kehendak rakyat. Prosesi tersebut diharapkan bisa menghasilkan pemimpin yang mampu menjalankan kepemimpinan secara efektif, yaitu satu kepemimpinan yang disokong oleh daulat rakyat sebagai dasar legitimasi menurut sistem demokrasi. 

Legitimasi bagi sebuah kepemimpinan, tentu sangat berpengaruh terhadap jalannya pemerintahan. Lagitimasi menjadi landasan bagi pemimpin dalam memerintah. Pun, legitimasi menjadi pegangan bagi yang dipimpin untuk merasa wajar dan seharusnya patuh pada pemimpin. Pada titik inilah, penting untuk mengkaji daya legitimasi kepemimpinan hasil pemilihan.

Dasar Legitimasi

Bicara soal legitimasi pemerintahan, tentu tak dapat dilepaskan dari sistem kedaulatan dalam suatu negara. Dengan kata lain, pada siapa kekuasaan tertinggi dalam suatu negara diletakkan. Dan menurut teori ketatanegaraan, terdapat beragam sistem kedaulatan yang mungkin dianut sebuah negara. Entah kedaulatan Tuhan, kedaulatan hukum, ataukah kedaulatan rakyat.

Dalam perwujudan kepemimpinan selanjutnya, pemangku kedaulatanlah yang kemudian memberikan dasar legitimasi pada sebuah pemerintahan. Agar bisa dianggap sah, setiap pemerintahan dalam suatu negara, harus mendapatkan mandat dari pemangku kedaulatan. Mandat itulah yang kemudian menjadi dasar bagi sebuah pemerintahan untuk diakui dan dihormati oleh masyarakat.

Pada konteks negara Indonesia, telah digariskan secara jelas dalam Pasal 1 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 bahwa, “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Ini berarti bahwa pemerintahan yang sah dalam negara indonesia, harus mendapatkan amanah dari rakyat sebagai pemegang kedaulatan, menurut ketentuan hukum.

Atas dasar kedaulatan rakyat itulah, prosesi pemilihan hadir sebagai sarana bagi penyampaian kedaulatan rakyat dalam memilih pemimpin. Pada tataran teknis, prinsip suara terbanyaklah yang kemudian diakui sebagai mekanisme pemilihan, sebagaimana tercantum dalam UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, juga dalam Perpu No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, yang telah disahkan sebagai undang-undang melalui UU No. 1 Tahun 2015, dan terakhir diubah melalui UU No. 10 Tahun 2016. Ini berarti bahwa individu warga negara punya hak yang sama dalam memilih, berdasarkan prinsip one man one vote.

Akhirnya, keterpilihan pemimpin pemerintahan dalam melalui pemilihan, khususnya di dalam konteks negara, disandarkan pada jumlah perolehan suara yang merupakan akumulasi dari  suara orang per orang. Calon pemimpin yang berhasil memperoleh suara dominan di antara calon yang lain, serta berhasil memenuhi ambang batas yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan, kemudian ditetapkan sebagai pemimpin terpilih.

Penentuan pemimpin berdasarkan prinsip suara terbanyak, akhirnya menjadi dasar legitimasi kepemimpinan sebuah pemerintahan. Seberapa banyak jumlah pemilih untuk seorang pemimpin yang terpilih, begitu pula kadar legitimasi bagi kepemimpinannya. Karena itu, semakin sedikit pemilih untuk seorang pemimpin terpilih, atau sedikitnya pemilih dalam prosesi pemilihan secara umum, juga akan melemahkan legitimasi seorang pemimpin.

Ancaman Legitimasi

Kadar legitimasi kepemimpinan hasil pemilihan berbasis suara orang per orang, tak pelak, sangat ditentukan oleh jumlah partisipasi masyarakat pemilih. Kadar legitimasi tersebut berbanding lurus dengan seberapa banyak pemilih dari jumlah keseluruhan pemilih yang menyalurkan suarannya. Karena itu, sikap abai masyarakat atas pemilihan, tentu menjadi satu ancaman bagi ketahanan sebuah pemerintahan, khususnya menyangkut kadar legitimasi pemerintahan.

Ancaman paling nyata bagi kadar legitimasi pemerintah hasil pemilihan adalah kehadiran golongan putih (golput) yang kukuh untuk tidak menyalurkan suaranya, entah karena pilihan politik, atau sikap masa bodoh. Walau secara teori, memilih untuk tidak memilih dalam sistem demokrasi, juga dibenarkan, tapi dari aspek legitimasi pemerintah, kaum golput tentu memberikan dampak yang negatif.

Berdasarkan data yang dilansir KPU yang dilansir beberapa media, jumlah kaum golput dari total pemilih, masih terhitung sangat besar, yaitu sekitar 25 persen. Pada pemilu legislatif 2014, partisipasi pemilih sebesar  75,11 persen, sedangkan pada tahun 2009 sebesar 70,99 persen. Pada pemilu presiden tahun 2014, pastisipasi pemilih sebesar 69,58 persen, sedangkan tahun 2009 sebesar 71,17 persen. Di sisi lain, menurut keterangan KPU, seperti dilansir di laman republika.co.id, rata-rata partisipasi pemilih di pilkada serentak tahun 2015 berada pada kisaran 65-70 persen, sedangkan pada tahun 2017 berada di kisaran 70-75 persen.

Pengaruh negatif kaum golput bagi legitimasi pemerintahan tidak lepas dari roh pemilihan sebagai momentum pengikatan kontrak politik antara rakyat sebagai pemegang kedulatan dengan pemerintah sebagai pemangku mandat kedaulatan. Penyaluran suara akan mengikat rakyat sebagai pemilih untuk merasa punya kepentingan atas jalannya pemerintahan. Sebaliknya, tak memilih, berarti mengabaikan hak untuk proaktif dalam pemerintahan, entah sebagai pendukung pemerintah atau opisisi.

Di samping kaum golput, pemimpin yang lahir dengan melawan kotak kosong, khususnya dalam pilkada, juga diperhadapkan pada legitimasi yang lemah. Hal itu terjadi karena prosesi pemilihan tanpa alternatif pilihan, potensial melahirkan kaum golput yang merasa tidak punya kepentingan sebab tidak punya calon pilihan. Kaum golput pada kondisi semacam ini, memilih untuk tidak memilih sang calon tunggul, meski tidak juga memilih kotak kosong.  

Pada sisi lain, meski bisa diandaikan bahwa pemilih yang tak punya calon pilihan akan tetap menyalurkan hak pilih, paling tidak untuk mendelegitimasi calon tunggal dengan memilih kotak kosong, hasilnya malah potensial melahirkan kepemimpinan tanpa legitimasi, yaitu ketika kotak kosonglah yang menang. Imbasnya, pemerintah daerah sementara yang diturunkan oleh pemerintah pusat, akhirnya memerintah tanpa memiliki basis legitimasi sama sekali.

Bagaimana kalau si calon tunggal akhirnya menang, bukankah itu berarti legitimasinya semakin kuat karena ia tak punya pembanding saat pemilihan? Dugaan itu, bisa jadi benar. Tapi sebaliknya, suara masyarakat yang terakumulasi secara dominan untuk memilih calon tunggal hanya untuk menghasilkan pemimpin sendiri dan menghindari pemimpin utusan pemerintah pusat, jelas hanya akan menghasilkan legitimasi yang semu.

Mengokohkan Legitisimasi

Akhirnya, tak ada cara terbaik untuk menjaga legitimasi pemerintah selain mengupayakan kontes pemilihan yang partisipatif. Masyarakat diharapkan punya kesadaran akan pentingnya berpartisipasi dalam pemilihan sebagai momentum untuk mengikatkan harapan atas pembangunan di pundak pemerintah. Di sisi lain, penyelenggara pemilihan harus berupaya mengadakan proses pemilihan yang akomodatif bagi penyaluran hak suara para pemilih. 

Pada soal kesadaran masyarakat, sosialisasi pemilihan dan pendidikan politik secara menyeluruh kepada para calon pemilih, penting untuk digalakkan, terutama kepada pemilih pemula. Masyarakat harus diberikan pemahaman tentang korelasi penyaluran suara kedaulatan mereka dengan legitimasi, efektivitas, dan kualitas pemerintahan. Paling tidak, masyarakat bisa menyadari akan baiknya menyampaikan hak secara aktif dalam perkara politik ketimbang pasif dan masa bodoh. 

Selanjutnya, penyelengaran pemilihan, dalam hal ini KPU, juga harus memusatkan perhatian pada persoalan daftar pemilih. Penyelenggara pemilihan harus aktif mengupayakan pendataan calon pemilih secara menyeluruh dan memberikan identitas tertentu sebagai pemilih. Meski begitu, jikalau persoalan administratif dan pendataan tak berjalan baik, maka penyelengara pemilihan harus akomodatif untuk menjembatani penyaluran suara warga negara dengan berbekal KTP (Kartu Tanda Penduduk).

Pada sisi lain, partisipasi pemilih dan legitimasi pemimpin dari hasil pemilihan, juga sangat tergantung pada niat baik dan kecerdasan politik para kontestan pemilihan. Yang diharapkan, para kontestan mempraktikkan kontes politik yang baik. Para kontestan harus menawarkan gagasan yang realistis dan menarik, sehingga para pemilih tergerak untuk memilih secara rasional, yang juga akan memberi pengaruh positif pada kadar legitimasi pemerintahannya sendiri. Para kontestan harus menghindari praktik politik uang untuk membeli suara, sebab praktik semacam itu hanya akan menghasilkan partisipasi dan legtimasi pemerintahan yang semu.

Tak kalah penting dari semua itu adalah penguatan legitimasi pemerintahan pascakontes pemilihan. Pemimpin yang lahir dari pemilihan, harus berupaya merangkul semua individu masyarakat, sekalipun yang tidak memandatkan kedaulatannya pada proses pemilihan, ataukah yang memberikan suaranya pada calon yang lain. Tindakan bijak demikian akan memberikan pengertian kepada masyarakat bahwa pemilihan hanyalah proses untuk memperoleh pemimpin bersama, bukan momentum untuk memecah-belah persatuan dan bersikap pasif terhadap jalannya pemerintahan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar