Perenungan mendalam kerap mandek dalam menemukan sebab kesemrawutan di
negara Ini. Persoalan muncul bertubi-tubi dan menyentuh seluruh aspek
kehidupan, baik sosial, politik, budaya, maupun ekonomi. Persoalan kenakalan
remaja misalnya, kita dapat menyatakan penyebabnya adalah kemiskinan, atau
keterbatasan ruang ekspresi ranah sosial, ataukah pengaruh budaya yang tak
mungkin dibendung. Ketidakpastian di atas malah diperparah karena setiap orang
mencari penyebab permasalahan menggunakan pandangan radikal dan parsial,
berdasarkan pemikiran dan disiplin ilmunya. Akibatnya, faktor permasalahan
teratasi di satu sisi saja, tanpa upaya melakukan pembenahan secara
komprehensif melalui pendekatan sosial, ekomomi, budaya, dan politik.
Memang tidak ada jaminan bahwa upaya mengatasi setiap faktor permasalahan
kehidupan secara bersama dan menyeluruh akan berbuah keberhasilan. Upaya
tersebut merupakan faktor ekternal, tentu saja tidak bisa dipastikan bahwa
pembenahan permasalahan kemasyarakatan akan menghapuskan faktor kecenderungan
destruktif pada internal individu. Intinya, hasil segala upaya yang dilakukan
sangat tergantung pada individu. Oleh karena itu, uraian selanjutnya akan
mengulas setiap masalah kehidupan bangsa dari aspek individual.
Liberalisasi dalam berbagai sektor kehidupan dewasa ini menjadi titik
sentral perubahan. Sikap individualis akhirnya mengakar pada diri setiap orang,
melupakan tanggung jawab sosial, hingga berujung pada tindakan anarkis. Esensi
liberal menetapkan tiap orang bebas berfikir, menyatakan pendapat, dan
bertindak sesuai dengan nilai yang dianutnya. Indonesia sebagai negara hukum
yang demokratis juga mengadopsi esensi kebebasan individu, hingga dijamin dalam
konstitusi sebagai hak asasi manusia. Meskipun ada pembatasan melalui hukum
positif, namun sikap liberal-individualis yang melanggar aturan cenderung
dominan, ketimbang mematuhi hukum yang dianggap mengekang kebebasan.
Memang sangat rumit memetakan setiap faktor permasalahan bangsa. Disadari
atau tidak, sistem tatanan kehidupan bangsa ini telah diatur sedemikian rupa
dengan format yang dianggap ideal. Dalam melakukan pengendalian kebebasan
individu misalnya, telah dibatasi oleh hukum atas pertimbangan keadilan untuk
kebebasan orang lain, berdasarkan keamanan, ketertiban, kesehatan, moral, dan
agama. Pertanyaannya kemudian, mengapa tatanan kehidupan bangsa masih amburadul
padahal aturan hukum telah ada?
Dalam menjawab pertanyaan di atas, fokus pembahasan kita selanjutnya adalah
bagaimana hubungan individu sebagai pelaku hukum dangan tegaknya hukum? Sebagai
pengantar menemukan jawabannya, kita harus mengkaji apakah sistem hukum sudah
bekerja dengan baik. Di antara unsur sistem hukum (substansi, struktur, dan
budaya hukum), struktur hukum berupa penegak hukum adalah unsur yang
harus dibenahi. Alasannya, Substansi hukum berupa aturan telah ada, sedangkan
budaya hukum hanyalah akibat dari efektifitas penegakan hukum
Tulisan ini mencoba mencari sosok penegak kebenaran dan keadilan melalui
potensi dan keluhuran budinya sendiri, tanpa pengaruh eksternal terhadap
kepribadiannya. Untuk sementara, kita harus dalam kerangka pikir bahwa baik
tidaknya perilaku seseorang tergantung dari dirinya sendiri.
Kita seringkali menyatakan bahwa kepribadian seseorang berdasarkan kumpulan
nilai yang dianutnya dari interaksi sosial. Jika seseorang bergaul dengan orang
jahat, maka ia cenderung berperilaku jahat. Begitupun sebaliknya. Pernyataan
tersebut sangat menafikkan potensi hati nurani pada setiap orang. Tanpa melalui
kajian teori, secara kodrati nilai-nilai kebenaran telah diilhamkan tuhan
kepada setiap orang. Kesimpulan tersebut tergambar dari sebuah pernyataan,
“setiap pencuri pasti mengetahui bahwa mencuri tidak dibenarkan.” Adapun
kelanjutannya, apakah ia akan melakukan pencurian atau tidak, tergantung dari
kemauannya, meskipun ia mengetahui itu dosa.
Jika memahami pengantar di atas, kita akan menyepakati bahwa setiap orang
punya potensi pertahanan diri perihal pengaruh nilai keburukan dari luar
dirinya. Demikian juga, setiap orang bebas menentukan sikap atas permasalahan
yang dihadapi, dan segala konsekwensi dari sikap yang diambil telah disadari
sebelumnya.
Keniscayaan bahwa manusia merupakan makhluk individu sekaligus makhluk
sosial harus diterima. Namun dari keduanya, manusia sebagai makhluk individulah
sebagai hakikatnya, bahwa tanpa individu tidak mungkin ada masyarakat.
Analoginya, tidak mungkin 2 dia jika bukan 1+1. Keterpengaruhan individu
terhadap masyarakat ataupun sebaliknya tak mungkin terelakkan, terutama
terhadap munculnya permasalahan kehidupan masyarakat. Meskipun demikian, wujud
dari tatanan masyarakat tidak lain dari interaksi antarindividu, baik dalam
tataran pemikiran, nilai, maupun perilaku. Singkatnya, individu secara bebas
dan merdeka menjadi penentu tatanan kehidupan masyarakat.
Sedikit pengantar di atas dapat menjadi dasar untuk merumuskan kesimpulan
hubungan pelaku hukum dan tegaknya hukum. Bahwasanya, hukum tidak mungkin tegak
tanpa ditegakkannya nilai kebaikan oleh setiap individu. Sikap permisif
dengan menyatakan perilaku mayoritas telah melenceng, sehingga sebagai individu
kita harus turut, merupakan paradigma yang harus diubah. Kita juga harus
menghapus anggapan bahwa sebagai individu dengan strata sosial dan ekonomi
rendah, menegakkan kebaikan tidak akan berefek secara masif, apalagi skala
nasional. Bayangkanlah jika setiap orang telah melakukan kebaikan, masih adakah
masyarakat dan bangsa yang amburadul itu?
“Kita mengakui bahwa kita individu yang bebas dan merdeka. Jadi, tanya dan
salahkan setiap diri anda sendiri jika ‘budaya’ masyarakat amoral. Kita harus
menegakkan kebajikan demi masyarakat yang madani.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar