Entah
bagaimana bisa. Ini tak bisa dikatakan sengaja. Jika keinginan harus terkabul,
kita tak akan berjumpa. Aku sebelumnya sangat ngotot masuk di fakultas teknik. Hitung-hitung bisa tahu sedikit
tentang teknik pembangkit listrik tenaga air, agar bisa kuberdayakan air terjun
yang deras di kampungku yang gelap
gulita. Sedangkan kutahu, kau juga tak mengidamkan menjadi seorang calon “tuhan”
di dunia. Tapi ya, nyatanya, kita tetap bertemu pada disiplin ilmu yang sama,
fakultas hukum. Ini adalah takdir.
Akhirnya
harus kuabaikan kegemaranku mengutak-atik kabel radio tua seperti yang
kulakukan sewaktu sekolah. Terpaksa aku harus jadi cerewet. Kulatih mulut
semaut mungkin agar aku dianggap hebat di antara teman-temanku yang lain. Nampak
kau pun begitu. Kita sering bertemu dan berdebat ketimbang becanda. Kau suka
memancingku atas dasar penguasaan teorimu, meski sejujurnya aku sangat malas meladeni.
Aku ingin sekali-kali bercanda denganmu.
Mungkin
karena kebersamaan kita keseringan, sewaktu-waktu ketika batang hidungmu tak
kulihat, aku selalu rindu memanaskan otakmu. Menertawakan moncongmu yang tak
pernah kecapean, lalu membuatmu merasa menyesal telah memicu perdebatan
denganku. Sering terjadi, kau harus mengakui bahwa pria, sepertiku, tetap lebih
hebat dari wanita. Ya, kadang kusuka menggunakan kata “wanita”, meski sebagian
kaummu yang terlalu retoris akan tersinggung.
Topik
tentang kesetaraan gender yang paling sering kita pertempurkan. Maklumlah, itu
memang sensitif karena aku lelaki dan kau perempuan. Apalagi sebagian dari kaummu
tetap merasa tak diberikan kedudukan yang adil dalam konstruksi sosial. Kau
akan menggerutu ketika kukatakan bahwa kita punya kodrat yang berbeda, sehingga
fungsi kita pun berbeda dalam urusan remeh-temeh kehidupan. Simpelnya menurutku,
jika diandaikan sebuah rumah, maka lelaki adalah pembangun, sedangkan perempuan
di urusan penataannya. Tapi selalunya kau akan mengatakan perempuan dan lelaki
tak sepantasnya dibedakan dalam mengurusi pekerjaan rumah. Wanita juga punya
hak untuk kerja di kantor katamu. Kita akhirnya tetap berbeda.
Sampai
suatu saat aku ingin mengetesmu. Aku penasaran saja, apakah perempuan tomboi
sepertimu masih punya perasaan normal layaknya perempuan lain. Ketika kau
lengah di ruang kelas tempo hari, kuselipkan sebuah surat bualan dalam tasmu. Kupikir
kau akan menilai itu romantis. Tentu saja tak kutuliskan identitasku di situ.
Mudah saja bagiku sebab kau sering memaksa duduk di sampingku. Parahnya lagi,
kau sering memintaku menggendong tasmu kalau kau merasa keberatan dan manjamu
kambuh lagi. Bahkan bukumu dan bukumu seringkali dalam satu tas. Kau pasti tak
akan mencurigai aku sebagai penulis surat itu. Apalagi kurasa selama ini kau memandangku
sebagai sosok feminin. Sama denganku yang menganggap aspek maskulinmu lebih
dominan.
Malamnya,
lagu cadas mengalun dari handphone-ku.
Aku yakin itu pasti darimu. Sudah kusetel nada dering khusus untuk panggilan dari
wanita kelaki-lakian sepertimu, sebuah lagu tergarang yang pernah kudengar.
Seperti biasa, setelah kuangkat, kita akan lalui beberapa menit berbasa-basi
tentang ekstrakurikuler yang kita geluti bersama. Biasa juga merembet ke
persoalan gender lagi.
“Dul,
aku merasa aneh belakangan ini. Sepertinya ada yang tertarik padaku dan mencoba
mendekatiku diam-diam,” tuturmu di ujung telepon, saat telingaku mulai memanas
beradu argumen.
“Laki-laki
atau perempuan?” candaku.
“Ah,
kamu. Mudah-mudahan sih laki-laki. Masalahnya dia tak menuliskan identitasnya,”
jawabmu dengan alunan nada yang asing. Kau terdengar mulai manja-manjaan lagi.
“Aku jadi bimbang. Sudah sering pesan-pesan gombalan masuk ke handphone-ku. Kurasa surat yang kudapati
di tasku hari ini juga dari dia,” jelasmu.
“Haha.
Curhat. Sok-sok laku lagi. Memang situ oke?” sentilku.
“Aduh,
tak asyik mengobrol denganmu. Serius dong. Kalau menurutmu, aku harus bagaimana
menyikapinya?” Kau terdengar sangat mengharapkan saran dariku.
“Itu
sih terserah kamu saja. Itu bukan urusanku. Tak penting juga mengurusi hal
begituan. Fokus dulu sama kuliah. Atau jika kau ingin pencerahan, jangan tanya
aku. Aku kan laki-laki. Mana kutahu perasaan seorang perempuan bagaimana,”
jawabku.
“Kamu
masih laki-laki?” balasmu, mencoba bercanda.
“Iyalah.
Jika kau memang perempuan, hati-hati saja. Aku bisa membuatmu jatuh cinta
padaku,” balasku.
“Ah,
kau tak pantas menggombal. Sudah kalau begitu. Pulsaku menipis,” pungkasmu
Kurasa
misiku berhasil. Sudah kutebak. Ternyata semunafik apa pun kau menyembunyikan
fitrahmu, kau tetaplah perempuan yang lemah gemulai. Jika kau terus
memikirkannya, beberapa hari ke depan, aku yakin kau akan dirusuhkan perasaanmu
sendiri.
Keesokan
harinya kita bertemu lagi seperti biasa. Tapi hari itu kau tak terlihat
biasa-biasa saja. Kau nampak mencoba tampil lebih feminin dan melankolis. Tapi
masih terlihat amatiran. Kupikir aku lebih hebat berdandan daripada kau. Bedak
di wajahmu tak tersebar merata. Alismu yang tebal terlalu memuakkan akibat
tumpukan tinta. Ukiran gincung di bibirmu juga miring-miring. Aku pun jadi malu
beriringan denganmu sekarang. Apalagi jika harus menyusuri koridor kampus
berduaan. Sebenarnya salahmu saja, sebab jika diamati dalam-dalam, kau cantik
juga seandainya tahu cara menata diri dan bersikap.
“Hai
nyonya Rita. Kau nampak tua saja. Atau memang sudah tua?”
Kau
malah cuek dan melebarkan senyummu. “Dandananku bagus kan? Kau pasti suka.
Ayolah, akui saja,” jawabmu, terlihat sinting bagiku.
“Haha.
Jadi kau sudah berubah sekarang. Bagaimana dengan teori-teori emansipasi
gendermu? Ternyata hanya omong kosong. Baru digombal sedikit, kau langsung tak
berdaya. Yang perlu kau camkan, wanita itu mengandalkan perasaannya, tapi diperdaya
pula perasaannya. Sedangkan laki-laki, mengandalkan pikirannya dan sering juga berfikir
tak masuk akal. Nah, hati-hati saja. Bisa jadi ada orang yang sengaja
mempermainkan perasaanmu,” nasihatku panjang lebar, sebab kuyakini,
perubahannya pasti gara-gara surat selundupanku kemarin.
“Kau
seperti pengalaman saja. Memang kau paham persoalan seperti ini?” balasmu
seakan meremehkan, lalu menyambar kopi hitam pesananmu.
Sore
sehabis kuliah saat itu, kita habiskan waktu berjam-jam di kantin kampus dengan
omong kosong tentang perasaan. Sampai kita saling menyadarkan bahwa hampir
gelap dan kita harus pulang. Suasananya beda kala itu. Kita tak lagi
mempertentangkan lelaki dan perempuan. Jika kusimpulkan pokok bahasannya, kita
sepakat bahwa kodrat lelaki dan perempuan berbeda, sehingga memiliki fungsi
yang berbeda juga. Jadi ada ruang untuk saling melengkapi. Karena itu juga,
kita saling membutuhkan.
Hari-hari selanjutnya, kulihat kau semakin berubah. Meski kita masih pulang sesadel
di motor bututku, kau sepertinya duduk terlalu ke belakang. Kau juga tak pernah
lagi menepuk punggungku dari belakang kala di perpustakaan, hingga mengagetkanku.
Belakangan, kau sering muncul dari depanku dan membawa senyummu yang terpaksa
kuakui manis. Kau juga lebih suka memesan teh atau jus buah daripada kopi.
Hingga drastisnya, kau mengenakan rok. Tak seperti sebelumnya yang gemar
mengenakan celana pendaki gungung. Kurasa kau belajar tampil sebagai perempuan
seperti lainnya. Dan kau jadikan aku penilai bagi perubahan tampilanmu
sehari-hari.
“Halo
pak tuan, aku pasti mengganggukan?” tanyamu di ujung telepon.
Aneh,
tak pernah kau meneleponku sebelumnya selarut ini. Sudah hampir jam satu malam.
Itu membuatku penasaran. Utung saja, aku masih terjaga menonton film horor
favoritku. “Tidak nyonya besar. Ada apa menelepon terlalu cepat begini? Besok
saja kalau tidak terlalu penting,” jawabku sembari pura-pura menguap.
“Maaf
deh. Tapi menurutmu penting tidak kalau akhirnya aku tahu siapa penggemar
rahasiaku belakangan ini, yang memasukkan surat di tasku tempo hari dan sering
mengirimkan pesan tanpa nama?”
Jawabmu
membuatku tersentak. Aku sangat cemas jika kau tahu akulah yang menulis surat itu.
Sangat memalukan pastinya. Yang lebih kutakutkan jika kita tak bisa berperilaku
seperti biasa saat bertemu. “Oh cuma itu. Tidak penting. Tapi siapa kalau boleh
tahu?” jawabku dengan nada yang santai.
“Haha,
katanya tak penting. Tapi lebih dari lima detik kau terdiam untuk membalas
pertanyaanku,” jawabmu sambil tertawa.
Sikapmu
membuatku menyesal atas keisenganku menulis surat itu. Kurasa kiamat semakin
dekat saja. “Sudahlah. Siapa?” tanyaku balik dengan nada agak menekan.
“Okelah
kalau kau memaksa. Dia namanya Rian. Satu tahun lebih senior daripada kita.
Teman sekalas kita di mata kuliah Hukum dan HAM. Tapi dia jarang masuk kuliah. Kabarnya
dia punya kesibukan di luar. Kau pasti tak mengenalnya. Dia cerdas dan tampan
loh. Kau tak iri kan? ” balasmu.
Ah,
syukurlah kau tak tahu akulah si penulis surat itu. “Haha, amit-amit. Siapa
Rian itu? Iri pada lelaki yang memperebutkan wanita semacam dirimu? Tidak
salah?” balasku dengan maksud mengolok-olokmu.
Telepon
kita akhirnya putus. Mungkin karena kau tak mengantisipasi dan pulsamu habis
secara tak terduga.
Hari
selanjutnya kujalani dengan berkutat mengamati tentang keanehan pada dirimu.
Kau sepertinya semakin menjauh dariku. Kuduga kau semakin dekat dengan Rian
sampai lupa dengan kebiasaan kita menghabiskan waktu hingga senja di pelataran
kantin. Akhirnya, semakin kumerindukanmu seiring jarangnya kumenatap wajahmu.
Dalam seminggu, kita palingan nongkrong
bersama sebanyak dua kali. Tapi sebulan belakangan, kau semakin sulit saja
kujumpai. Kukira, kau tak lama lagi akan menikah dengan si Rian. Terus terang
aku rindu. Aku takut jika rinduku semakin memuncak, sebab itu tak ada bedanya
dengan cinta.
“Hai
Abdul. Apa kabarmu?” pesan singkatmu masuk di handphone-ku.
Aneh,
kau biasanya meneleponku. Sepertinya kau juga
segan berbicara langsung denganku setelah sekian lama tak bertatap muka. Aku
merasa sangat bahagia hari itu. Seperti merasakan dahaga di gurun pasir, lalu
hujan deras turun. Memang seakan tak masuk akal, tapi itu nyata. “Aku baik-baik
saja. Kau bagaimana? Aku belakangan tak melihatmu lagi. Aku rindu padamu,”
jujurku.
“Hmm,
aku juga merindukanmu. Aku hanya keseringan berdiam di rumah belakangan ini. Cuma
ingin membuat si misterius itu rindu dan mencari-cariku kalau memang ia serius.
Seperti yang pernah kau katakan, rindu adalah cinta. Tapi ternyata harapanku
meleset. Eh, jika kau tahu, belakangan aku tak pernah benar-benar bertemu
dengan Rian. Aku cuma mengarang tentang sosok itu,” jawabmu.
Aku
jadi tak paham padamu sekarang. “Maksudmu?” tanyaku penasaran.
“Kadang
kuperhatikan tulisanmu sama dengan tulisan di surat itu. Tapi kurasa kau tak
punya bakat menyusun kata sebaik itu. Benar kan?” tanyamu.
“Kita
seperti tak saling mengenal saja. Jika kau yakin itu aku, maka itu adalah aku.
Sejujurnya aku cuma takut pada Rian. Kau tak keberatankan kalau aku rindu
padamu?” balasku mencoba lebih polos lagi.
Kunanti
jawabmu sepanjang waktu, tapi kau tak membalas. Akhirnya, kuharap dalam diam-diam,
kita menyimpan hasrat yang sama dan saling merindukan. Seperti takdir atas kebersamaan
dan jarak antara kita, maka kuharap takdir pula yang mengulang kebersamaan itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar