Lima hari sudah lewat dari waktu jatuh tempo. Ani terus menunggu kedatangan Maskur. Ia yakin kalau tetangganya itu mengingat bahwa ia telah meminjam uangnya sebesar Rp500 ribu. Ia tahu betul kalau orang yang berpiutang tidak akan pernah bisa melupakan uang yang diutangkannya.
Benar
saja. Menjelang sore, saat suaminya kembali ke kebun untuk memeriksa pagar
tanaman, Maskur pun bertandang ke rumahnya. Lelaki itu datang dengan raut datar.
Ia tampak memendam kekesalan karena Ani tidak sadar diri untuk mendatanginya
dan mengembalikan utangnya.
Setelah duduk di ruang tamu dan melakoni basa-basi yang singkat, Maskur lantas menuturkan maksudnya, "Sebenarnya, aku ke sini untuk menagih utang Ibu dua bulan yang lalu. Aku membutuhkannya untuk mengongkosi keperluanku."
Ani
pun mengembuskan napasnya keras-keras. Ia lalu menyinggung perkara yang sedari
dahulu tidak pernah sanggup ia utarakan kepada Maskur, "Kukira, sudah
seharusnya utangku itu dianggap impas, Pak," tuturnya, begitu saja,
seolah-olah Maskur akan memahami alasannya.
"Maksud Ibu?" sidik Maskur, heran.
Dengan
setengah tega, Ani pun menerangkan, "Istri Bapak punya utang sebanyak Rp500
ribu kepadaku. Karena nilainya sama, ya, kita anggap impas saja.”
"Apa benar begitu?" sergah Maskur.
Ani
mengangguk tegas. "Benar, Pak. Apa ia tak pernah cerita soal itu kepada
Bapak?" tanyanya, pura-pura tidak tahu perihal permintaan istri Maskur
saat memohon utang kepadanya agar ia tak melibatkan Maskur dalam soal tersebut.
"Tidak pernah," jawab Maskur.
Ani
hanya mendengkus.
Akhirnya, sejenak berselang, dengan raut kecewa, Maskur pamit dan pulang ke rumahnya yang berada tepat di samping kiri rumah Ani.
Sesaat
kemudian, Tono, suami Ani, datang dari kebun. Tono pun menyidik, "Ada apa
Maskur bertamu?"
"Dia hendak menagih utangku kepadanya sebanyak Rp500 ribu, Pak. Tetapi aku tidak mau membayarnya dan memintanya untuk mengimpaskan saja utangku itu, sebab Marni punya utang yang sejumlah itu kepadaku," ungkap Ani, apa adanya, untuk yang pertama kalinya.
Tono
hanya mengangguk-angguk, lalu melangkah ke ruang dapur membawa kayu bakar pikulannya,
seolah-olah perkara yang baru diketahuinya itu bukanlah sebuah masalah yang
patut ia kulik.
Marni, istri Maskur, memang telah meminjam uang Ani sebanyak Rp500 ribu. Pertama-tama, tujuh bulan yang lalu, Marni meminjam sebesar Rp250 ribu. Lalu, dua bulan setelahnya, saat pengutangan tersebut jatuh tempo dan mestinya dikembalikan, Marni malah kembali datang untuk meminjam uangnya sebesar Rp250 ribu.
Pada
setiap peminjaman itu, Marni berdalih kalau ia membutuhkan uang untuk mengongkosi
keperluan sekolah putranya yang duduk di kelas 3 SD, juga membeli susu untuk
putri batitanya. Ia beralasan kalau suaminya yang bekerja sebagai sopir mobil penumpang
antarkabupaten milik orang lain, hanya memiliki uang yang cukup untuk kebutuhan
pokok mereka sekeluarga.
Karena merasa kasihan, Ani pun bersedia meminjamkan uang kepada Marni. Ia berprasangka baik saja kalau Marni memang membutuhkannya untuk kepentingan-kepentingan tersebut. Sebagai tetangga terdekat, ia merasa berkewajiban untuk membantu. Ia yakin saja kalau Marni akan mengembalikannya pada waktu yang telah mereka perjanjikan.
Sampai
akhirnya, tiga bulan yang lalu, pada hari jatuh tempo, Marni kembali bertandang
ke rumahnya. Tetapi itu bukan juga untuk mengembalikan semua utangnya,
melainkan meminta perpanjangan waktu pengembalian. Marni mengaku belum
mendapatkan uang yang cukup dari suaminya untuk melunasi utangnya. Maka, rela
tidak rela, Ani harus bersabar.
Tetapi dua minggu setelahnya, saat jatuh tempo waktu perpanjangan, Marni ternyata tak datang ke rumah Ani untuk membayar utangnya. Karena itu, Ani berinisiatif balik bertandang dan melakukan penagihan. Namun lagi-lagi, Marni mengaku belum punya uang. Ia lalu kambali menagih seminggu setelahnya, dan Marni masih mengaku belum punya uang.
Lima
hari selanjutnya, dua bulan yang lalu, Ani pun jadi kalut karena ia butuh uang untuk
membayar iuran arisan dan ongkos pembuatan baju persatuan ibu-ibu pengajian,
tetapi ia sadar kalau ia tak akan mendapatkan piutangnya dari Marni. Kerena
itu, dengan terpaksa, ia mencoba meminta perongkosan khusus kepada Tono,
suaminya.
"Aku perlu uang untuk membayar arisan dan biaya pembuatan seragam pengajian, Pak," tutur Ani, dengan raut memelas.
"Ibu
butuh berapa?" tanya Tono.
"Rp.500 ribu, Pak."
"Ah,
simpananku tak sebanyak itu, Bu. Paling, adanya cuma Rp150 ribu," tanggap
Tono, dengan raut menyesal, sebab ia senantiasa menyimpan uang di rumahnya yang
jauh lebih banyak dari itu untuk berjaga-jaga kalau ada keperluan yang mesti dibayar.
“Kalau bisa ditunda, ya, nantilah, hari pasar, aku tarik uang di bank.”
Ani pun pasrah saja dengan menerima uang yang tak mencukupi keperluannya yang sudah mendesak itu.
Akhirnya,
demi menyelamatkan harga dirinya di mata ibu-ibu yang lain, Ani bertekad keras untuk
melunasi tanggungannya hari itu juga. Bagaimanapun, hari itu merupakan tenggat
waktu kedua yang telah ditetapkan untuknya setelah ia tak kunjung membayarnya.
Karena itu, ia akan merasa sangat malu kalau ia kembali menangguhkan
kewajibannya.
Untuk itu, Ani menempuh cara satu-satunya. Saat Marni sedang di kampung orang tuanya, Ani pun menandangi Maskur yang sedang mengaso sebelum kembali mencari rezeki di jalan. Dengan sikap memelas, Ani lalu menyampaikan maksudnya meminjam uang sebanyak Rp500 ribu, dengan alasan untuk keperluan anaknya di pesantren. Merasa iba, Maskur pun bersedia.
Demikianlah
alur ceritanya, sampai kemudian Maskur datang ke rumah Ani untuk menagih utang,
dan Ani menjadikan utangnya sebagai pengimpasan atas utang Marni kepadanya.
Detik demi detik bergulir. Akhirnya, saat ini, menjelang malam, saat sedang memasak, Ani mendengar keributan dari sisi samping rumahnya. Ia mendengar suara hardikan Maskur dan suara tangisan Marni. Ia lantas menguping baik-baik, hingga ia mengetahui kalau perkara itu terjadi karena soal utang Marni kepadanya.
Tak
lama kemudian, Tono datang dan turut menyimak. "Apa yang terjadi,
Bu?" tanyanya, dengan nada rendah.
"Kedengarannya, Maskur marah kepada Marni karena Marni telah meminjam uang padaku tanpa sepengetahuannya," tutur Ani, setengah berbisik.
Tono
pun mendengkus prihatin. "Kasihan Marni. Ia jarang mendapatkan uang
belanja dari Maskur yang lebih memprioritaskan pendapatannya untuk selingkuhannya
di kota, tetapi ia malah kena marah kalau ia terpaksa meminjam uang ke
mana-mana untuk keperluannya dan anak-anaknya."
Seketika pula, Ani terkejut heran atas pengetahuan barunya itu, "Apa benar begitu? Bapak tahu dari mana?"
Tono
mengangguk. "Aku dengar dari obrolan dengan bapak-bapak yang lain. Apalagi,
kan, sudah menjadi rahasia umum kalau Tono suka main perempuan di tengah
pekerjaannya.”
"Maksudku, kenapa Bapak bisa tahu kalau Tono jarang memberikan uang kepada Marni, sampai Marni harus meminjam uang ke mana-mana?" sidik Ani, tampak merasa aneh.
Tak
pelak, Tono jadi kelabakan. "Aku hanya menebak-nebak. Kalau Maskur punya perempuan
yang lain, mana bisa ia memberikan nafkah yang memadai untuk Marni. Karena itu,
kupikir, Marni hanya bisa memenuhi kebutuhannya dengan berutang," kilahnya,
sembari menyembunyikan rahasianya kalau Marni pun telah tiga kali meminjam uang
kepadanya dengan total Rp900 ribu. Sejumlah piutang yang barangkali hanya akan
ia ikhlaskan sebagai pinjaman mati. Sejumlah piutang yang sebelumnya membuat ia
tidak mampu memberikan uang kepada sang istri untuk membayar iuran arisan dan
ongkos pembuatan seragam pengajian.
Ani pun mengangguk-angguk mendengar jawaban sang suami, seperti percaya begitu saja. Ia kemudian mengungkapkan rasa kasihannya kepada Marni atas apa yang sedang terjadi, "Ah, seandainya aku tahu akan begini jadinya, aku mungkin akan mengikhlaskan saja uang yang kupinjamkan kepada Marni."
Tono
pun tersenyum pendek. Diam-diam, ia merasa senang mendapatkan persetujuan secara
tersirat dari istrinya untuk makin merelakan uang pengutangannya kepada Marni.
"Ya. Karena Maskur tak benar-benar menafkahinya, kita memang patut untuk membantunya."
Ani mengangguk-angguk setuju.