Tak ada yang menduga bahwa Hendi akan sanggup menghadiri acara pernikahan Bima, teman
seangkatannya di masa SMA. Teman-teman seangkatannya pun terperangah ketika ia
hadir dengan penampilan yang sangat berubah. Jika semasa sekolah ia hanyalah
anak polos yang pemalu, kini ia tampak menawan dan penuh percaya diri.
Yang
lebih mencengangkan lagi, kini, Hendi datang bersama seorang perempuan yang cantik.
Seorang perempuan yang ia nikahi di umur yang terbilang masih muda. Padahal
dahulu, di masa sekolah, Hendi tak pernah sekalipun menjalin hubungan yang
khusus dengan seorang perempuan. Bahkan untuk sekadar bergaul denga mereka, ia
tampak mati kutu.
Atas
segala perubahannya, diam-diam, Hendi berhasil membuat iri teman-teman sekolahnya,
terutama para lelaki yang dahulu kerap meremehkan dirinya. Sang mempelai
laki-laki, Bima, mungkin adalah orang yang paling terkejut menyaksikan
keadaanya. Apalagi, dahulu, ia adalah orang yang paling gemar menjaili Hendi,
hingga menjulukinya “anak culun”, atau “jomlo kere”.
Sungguh,
Hendi yang datang tanpa undangan khusus, benar-benar menyentak perasaan Bima. Dahulu,
Hendi yang bukan siapa-siapa, tak pernah sekali pun berani berhadapan dengan
Bima yang merupakan anak kepala sekolah. Hendi bahkan ciut untuk sekadar beradu
tatap. Hendi menerima begitu saja setiap olok-olokan Bima, tanpa sanggup
mengadu kepada siapa-siapa.
Dan
puncak dari kebiadaban Bima terhadap Hendi terjadi pada satu hari selepas mata
pelajaran olahraga. Tiba-tiba saja, kerumunan perempuan menjadi heboh di ruang
kamar kecil. Mereka menemukan Hendi meringkuk di dalam toilet perempuan. Hendi ditemukan
dengan tangan-kaki terikat, mulut tersumpal selotip, dan hanya mengenakan baju,
tanpa celana.
Tak
ada yang tahu siapa pelaku di balik kebejatan itu, kecuali Bima dan kawan-kawannya.
Meski desas-desus berkembang dan Hendi telah memberikan keterangan kalau
dalangnya adalah Bima, namun akhirnya, Bima tak mendapatkan hukuman karena
dianggap tidak ada bukti, sedang kacung-kacungnya hanya diminta membuat surat
pernyataan dan permintaan maaf.
Tentu
saja, kenyataan itu membuat Hendi merasakan ketidakadilan. Tetapi malang, ia
tak punya daya untuk melawan. Sampai akhirnya, ia mengalah dan memutuskan untuk
pindah ke sekolah yang lain, meski sejak saat itu, ia mesti menanggug malu sepanjang
waktu sebab foto dan berita tentang dirinya yang setengah telanjang, telah tersebar
dan abadi di dunia maya.
Peristiwa
dahsyat itu akhirnya memisahkan Hendi dan Bima. Tetapi sepanjang waktu, mereka
terperangkap di dalam kisah kelam yang belum disucikan dengan maaf. Namun
kedatangan Hendi pada resepsi pernikahan Bima kali ini, sepertinya mengenyahkan
kemustahilan itu, seolah Hendi telah berbesar hati untuk memberikan maaf tanpa
perlu permintaan maaf dari Bima.
Detik
demi detik bergulir.
Akhirnya,
dengan tatapan yang tajam dan tenang, Hendi yang kini berada di hadapan
mempelai, mengulurkan tangan ke arah Bima.
Dengan
perasaan yang tiba-tiba kikuk, Bima menyambut dengan tatapan yang segan.
Hendi
pun menjabat tangan Bima dengan erat. “Selamat. Semoga kau bahagia!” katanya.
Bima
mengangguk pelan, kemudian segera menimpali, “Hen, maafkan aku!”
Hendi
tersenyum simpul tanpa membalas dengan kata-kata.
Untuk
beberapa saat, mereka hanya berpandangan dengan tangan yang masih terus
berjabat, seolah-olah mereka sama-sama tersambung pada cerita masa lalu di
benak mereka masing-masing.
Kedua
istri mereka yang tak tahu tentang latar belakang hubungan mereka, akhirnya
menjadi bingung dan penasaran, seolah-olah ada hubungan yang aneh di antara
mereka.
“Kak,
cepat!” kata istri Hendi, sembari memberikan isyarat kalau antrean tamu sedang
memanjang.
Hendi
pun menarik tangannya dari pelukan tangan Bima yang dingin, kemudian berlalu
tanpa kata-kata.
Waktu
demi waktu pun terus bergulir.
Akhirnya,
malam tiba. Malam pertama untuk Bima dan istrinya.
Seolah-olah
ingin memastikan bahwa semuanya normal-normal saja, sang istri pun mulai
mengulik, “Kak, laki-laki di pernikahan kita tadi, siapa?”
“Yang
mana, sayang? Laki-laki yang datang kan banyak,” telisiknya, bingung.
“Laki-laki
yang jabat tangannya lama dengan Kakak,” jelas sang istri.
Bima
pun kelimpungan. Ia lalu mendengus-meremehkan untuk memberi kesan bahwa lelaki
yang dimaksud bukanlah seseorang yang penting. “Oh, itu,” katanya, kemudian
tertawa pendek. “Dia itu teman masa sekolahku dahulu.”
“Terus,
Kakak kok minta maaf? Memangnya Kakak punya salah apa kepadanya?” tanya sang
istri seketika, terkesan mendesak untuk sebuah jawaban.
Di
tengah kebingungan, Bima bergumam sementara waktu, sembari berusaha meramu
penjelasan yang tepat. Sampai akhirnya, ia menemukan alasan yang remeh, “Itu
karena dahulu, di masa sekolah, aku pernah menabraknya tanpa sengaja. Ia jatuh,
dan lututnya terluka. Namun setelah menjalani masa penyembuhan, ia lalu pindah
ke sekolah yang lain, dan aku belum sempat meminta maaf secara pantas.”
Seolah
kurang percaya, sang istri masih tampak cemberut.
Bima
lantas mengecup pipi sang istri.
Dengan
begitu saja, raut sang istri jadi berseri-seri.
“Aku
mandi dulu ya, sayang,” tutur Bima.
Sang
istri pun mengangguk. “Jangan lama-lama!” pintanya, dengan rupa menggemaskan.
Hendi
pun mencubit pipi sang istri. “Baiklah!” katanya, kemudian berlalu.
Dengan
perasaan yang perlahan-lahan tenang seiring dengan pupusnya pikiran yang tidak-tidak,
sang istri pun kembali menyibak-nyibak tumpukan kado yang diberikan oleh para
tamu. Dan seketika saja, matanya terpaku pada sebuah kado yang sedikit unik dan
aneh. Sebuah bingkisan berbalut kertas dengan bentuk persegi empat yang pipih.
Ia lantas meraih dan menyibak bingkisan itu. Sampai akhirnya, ia menemukan
sebuah kaset CD dengan punggung bertuliskan: Semoga kau bahagia!
Perlahan-lahan,
rasa penarasan sang istri berkecamuk. Ia pun segera menyalakan laptop dan memainkan
CD itu. Hingga akhirnya, ia menyaksikan tayangan yang tidak senonoh antara
suaminya dengan sejumlah wanita.
“Aku
sudah siap, sayang!” tutur Bima, sekeluarnya dari kamar mandi.
Sang
istri tak menggubris. Ia hanya meringkuk di depan laptop, sambil
menangis-merintih.
Seketika,
Bima pun tersentak menyaksikan tayangan di depan sang istri. Ia lantas bergegas
menutup layar laptop.
Hanya
keheningan kemudian. Dingin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar