Kamis, 02 April 2020

Mata Kamera

Tak ada yang menduga bahwa Hendi akan sanggup menghadiri acara pernikahan Bima, teman seangkatannya di masa SMA. Teman-teman seangkatannya pun terperangah ketika ia hadir dengan penampilan yang sangat berubah. Jika semasa sekolah ia hanyalah anak polos yang pemalu, kini ia tampak menawan dan penuh percaya diri. 
 
Yang lebih mencengangkan lagi, kini, Hendi datang bersama seorang perempuan yang cantik. Seorang perempuan yang ia nikahi di umur yang terbilang masih muda. Padahal dahulu, di masa sekolah, Hendi tak pernah sekalipun menjalin hubungan yang khusus dengan seorang perempuan. Bahkan untuk sekadar bergaul denga mereka, ia tampak mati kutu.

Atas segala perubahannya, diam-diam, Hendi berhasil membuat iri teman-teman sekolahnya, terutama para lelaki yang dahulu kerap meremehkan dirinya. Sang mempelai laki-laki, Bima, mungkin adalah orang yang paling terkejut menyaksikan keadaanya. Apalagi, dahulu, ia adalah orang yang paling gemar menjaili Hendi, hingga menjulukinya “anak culun”, atau “jomlo kere”.

Sungguh, Hendi yang datang tanpa undangan khusus, benar-benar menyentak perasaan Bima. Dahulu, Hendi yang bukan siapa-siapa, tak pernah sekali pun berani berhadapan dengan Bima yang merupakan anak kepala sekolah. Hendi bahkan ciut untuk sekadar beradu tatap. Hendi menerima begitu saja setiap olok-olokan Bima, tanpa sanggup mengadu kepada siapa-siapa.

Dan puncak dari kebiadaban Bima terhadap Hendi terjadi pada satu hari selepas mata pelajaran olahraga. Tiba-tiba saja, kerumunan perempuan menjadi heboh di ruang kamar kecil. Mereka menemukan Hendi meringkuk di dalam toilet perempuan. Hendi ditemukan dengan tangan-kaki terikat, mulut tersumpal selotip, dan hanya mengenakan baju, tanpa celana.

Tak ada yang tahu siapa pelaku di balik kebejatan itu, kecuali Bima dan kawan-kawannya. Meski desas-desus berkembang dan Hendi telah memberikan keterangan kalau dalangnya adalah Bima, namun akhirnya, Bima tak mendapatkan hukuman karena dianggap tidak ada bukti, sedang kacung-kacungnya hanya diminta membuat surat pernyataan dan permintaan maaf.

Tentu saja, kenyataan itu membuat Hendi merasakan ketidakadilan. Tetapi malang, ia tak punya daya untuk melawan. Sampai akhirnya, ia mengalah dan memutuskan untuk pindah ke sekolah yang lain, meski sejak saat itu, ia mesti menanggug malu sepanjang waktu sebab foto dan berita tentang dirinya yang setengah telanjang, telah tersebar dan abadi di dunia maya. 

Peristiwa dahsyat itu akhirnya memisahkan Hendi dan Bima. Tetapi sepanjang waktu, mereka terperangkap di dalam kisah kelam yang belum disucikan dengan maaf. Namun kedatangan Hendi pada resepsi pernikahan Bima kali ini, sepertinya mengenyahkan kemustahilan itu, seolah Hendi telah berbesar hati untuk memberikan maaf tanpa perlu permintaan maaf dari Bima.

Detik demi detik bergulir.

Akhirnya, dengan tatapan yang tajam dan tenang, Hendi yang kini berada di hadapan mempelai, mengulurkan tangan ke arah Bima.

Dengan perasaan yang tiba-tiba kikuk, Bima menyambut dengan tatapan yang segan.

Hendi pun menjabat tangan Bima dengan erat. “Selamat. Semoga kau bahagia!” katanya.

Bima mengangguk pelan, kemudian segera menimpali, “Hen, maafkan aku!”

Hendi tersenyum simpul tanpa membalas dengan kata-kata.

Untuk beberapa saat, mereka hanya berpandangan dengan tangan yang masih terus berjabat, seolah-olah mereka sama-sama tersambung pada cerita masa lalu di benak mereka masing-masing.

Kedua istri mereka yang tak tahu tentang latar belakang hubungan mereka, akhirnya menjadi bingung dan penasaran, seolah-olah ada hubungan yang aneh di antara mereka.

“Kak, cepat!” kata istri Hendi, sembari memberikan isyarat kalau antrean tamu sedang memanjang.

Hendi pun menarik tangannya dari pelukan tangan Bima yang dingin, kemudian berlalu tanpa kata-kata.

Waktu demi waktu pun terus bergulir.

Akhirnya, malam tiba. Malam pertama untuk Bima dan istrinya. 

Seolah-olah ingin memastikan bahwa semuanya normal-normal saja, sang istri pun mulai mengulik, “Kak, laki-laki di pernikahan kita tadi, siapa?”

“Yang mana, sayang? Laki-laki yang datang kan banyak,” telisiknya, bingung.

“Laki-laki yang jabat tangannya lama dengan Kakak,” jelas sang istri.

Bima pun kelimpungan. Ia lalu mendengus-meremehkan untuk memberi kesan bahwa lelaki yang dimaksud bukanlah seseorang yang penting. “Oh, itu,” katanya, kemudian tertawa pendek. “Dia itu teman masa sekolahku dahulu.”

“Terus, Kakak kok minta maaf? Memangnya Kakak punya salah apa kepadanya?” tanya sang istri seketika, terkesan mendesak untuk sebuah jawaban.

Di tengah kebingungan, Bima bergumam sementara waktu, sembari berusaha meramu penjelasan yang tepat. Sampai akhirnya, ia menemukan alasan yang remeh, “Itu karena dahulu, di masa sekolah, aku pernah menabraknya tanpa sengaja. Ia jatuh, dan lututnya terluka. Namun setelah menjalani masa penyembuhan, ia lalu pindah ke sekolah yang lain, dan aku belum sempat meminta maaf secara pantas.”

Seolah kurang percaya, sang istri masih tampak cemberut.

Bima lantas mengecup pipi sang istri.

Dengan begitu saja, raut sang istri jadi berseri-seri.

“Aku mandi dulu ya, sayang,” tutur Bima.

Sang istri pun mengangguk. “Jangan lama-lama!” pintanya, dengan rupa menggemaskan.

Hendi pun mencubit pipi sang istri. “Baiklah!” katanya, kemudian berlalu.

Dengan perasaan yang perlahan-lahan tenang seiring dengan pupusnya pikiran yang tidak-tidak, sang istri pun kembali menyibak-nyibak tumpukan kado yang diberikan oleh para tamu. Dan seketika saja, matanya terpaku pada sebuah kado yang sedikit unik dan aneh. Sebuah bingkisan berbalut kertas dengan bentuk persegi empat yang pipih. Ia lantas meraih dan menyibak bingkisan itu. Sampai akhirnya, ia menemukan sebuah kaset CD dengan punggung bertuliskan: Semoga kau bahagia!

Perlahan-lahan, rasa penarasan sang istri berkecamuk. Ia pun segera menyalakan laptop dan memainkan CD itu. Hingga akhirnya, ia menyaksikan tayangan yang tidak senonoh antara suaminya dengan sejumlah wanita.

“Aku sudah siap, sayang!” tutur Bima, sekeluarnya dari kamar mandi.

Sang istri tak menggubris. Ia hanya meringkuk di depan laptop, sambil menangis-merintih.

Seketika, Bima pun tersentak menyaksikan tayangan di depan sang istri. Ia lantas bergegas menutup layar laptop.

Hanya keheningan kemudian. Dingin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar