Kamis, 02 April 2020

Sepanjang Jalan

Sino mengarungi jalan setiap hari. Sebagai pengemudi ojek online, kehidupannya telah menggantung di jalanan. Ia tak peduli siang dan malam, juga terik dan hujan. Ia betah mengitari lintasan kota, di sepanjang tempat kisahnya berceceran di masa silam. Ia telah mencintai jalanan, sebagaimana ia mencintai masa lalunya sendiri.
 
Sampai kini, Sino menganggap bertualang dengan sepeda motor tuanya adalah nostalgia yang amat menyenangkan. Ia senang mengingat-ingat kembali kebersamaannya dengan sang kekasih di masa lalu, ketika mereka menjejaki sisi kota dengan penuh kegembiraan. Ia senang merasa-rasai lagi wangi parfumnya, tepakan tangannya, atau nada suaranya kala mereka sesadel.

Betapa dalam cinta Sino kepada sang kekasih. Perasaannya tetap tidak berubah, meski kekasihnya itu menghilang setamat kuliah, tanpa memberikan kabar apa pun kepadanya. Tujuan hatinya masih tetap sama, meski sang kekasih telah pergi, entah ke mana. Harapannya masih tetap terjaga, meski kenyataan tinggal menyisakan harapan. Ia benar-benar menggila untuk tetap mencintai.

Sudah tiga tahun mereka berjarak. Bukan berarti telah berpisah, bukan berarti juga akan bersama. Keadaan menggantung itulah yang membuat Sino terjerat di masa-masa kebersamaan mereka. Ia masih berharap kisah cintanya itu akan berlanjut, atau sekalian ia tak bertemu lagi dengan sang kekasih jika kebersamaan itu memang mustahil.

Seperti sebelumnya, malam ini, Sino pun tetap siaga untuk melakoni pekerjaannya. Bersiap sedia untuk mengantarkan orang atau barang. Kembali melakukan pengulangan yang semakin menjeratnya pada lintasan kenangan. Bagaimana pun, hanya itu yang bisa ia lakukan untuk bertahan hidup setelah gelar sarjananya tak juga membuahkan pekerjaan yang ia harapkan.

Dan tiba-tiba, di tengah penantiannya di tepi jalan, sebuah pesan masuk melalui ponselnya. Sebuah permintaan untuk mengantarkan sekotak bingkisan dari sebuah toko kue ke sebuah alamat di kompleks perumahan mewah. Maka tanpa pikir panjang, ia langsung saja mengarungi kemacetan jalan untuk menunaikan tugasnya.

Sesampainya di toko kue yang dimaksud, ia lantas masuk dan memberikan keterangan sesuai informasi yang dikirimkan sang pemesan. Sesaat kemudian, ia menerima sebuah bingkisan yang telah terkemas rapi. Maka tanpa berlama-lama, ia segera keluar dan mendapati hujan turun sangat deras. Ia pun lekas mengenakan jas hujan dan mulai melaju, demi profesionalisme kerja.

Perlahan-lahan, di tengah deru hujan, ia kembali teringat dengan satu peristiwa di masa silam. Kala itu, ia mengantarkan sang kekasih untuk pulang ke rumahnya selepas berjalan-jalan. Namun tiba-tiba, hujan deras turun. Tapi entah mengapa, mereka berdua sama-sama tak peduli dan memilih untuk menerobos keadaan, seperti dua orang anak kecil yang rindu bermain hujan.

Sampai akhirnya, di ujung satu kenangan itu pula, sesampainya di rumah sang kekasih, ia pun mendapat hujanan kata-kata yang tidak mengenakkan dari ayah sang kekasih:

“Kau mau anak saya sakit?” bentak ayah sang kekasih setelah melihat anaknya basah kuyup. “Kenapa tidak singgah berteduh kalau hujan? Kenapa tidak pakai jas hujan?”

Sino hanya menunduk. “Maaf, Om,” jawabnya, tanpa kehendak menyanggah dan mencari alasan pemaaf. 

“Tidak ada maaf-maaf! Tindakanmu sudah keterlaluan!” balas ayah sang kekasih. “Lain  kali, kau tak usah mengantar anakku ke mana pun juga! Aku atau sopirku bisa mengantar dan menjemputnya dengan mobil ke mana-mana. Itu lebih baik dan aman!”

“Baik, Om,” balas Sino, kagok . “Maafkan, aku, Om.”

Ayah sang kekasih hanya mendengus kesal, kemudian berpaling dan menuntun anaknya untuk masuk ke dalam rumah.  

Sang kekasih yang hanya bisa mematung menyaksikan hardikan itu, akhirnya melangkah pergi, tanpa kuasa untuk berbagi kata-kata dengannya.

Di tengah langit yang masih hujan waktu itu, Sino akhirnya pulang dengan perasaan terluka.

Tiba-tiba, saat ini, air mata Sino pun terjatuh, seperti di waktu itu.

Di tengah kenangan yang sendu, ia pun semakin mendekat ke alamat yang ia tuju. Seketika, ia tersadar untuk segera keluar dari renungannya. Ia lalu menenangkan perasaanya, sembari menghapus bulir air mata yang tergelincir di pipinya. Bagaimana pun, ia tidak ingin sampai di hadapan seorang konsumen dengan wajah yang kuyu.

Berselang sesaat, sampai juga ia di depan rumah sang pemilik alamat. Lekas kemudian, ia memencet bel dan menunggu penghuni rumah untuk membuka pagar dan menerima bingkisan.

Tanpa menunggu lama, di balik terali pagar dan lindungan dua mobil yang terparkir di halaman, seorang perempuan akhirnya keluar dari dalam rumah, disusul seorang anak kecil yang kemudian berhenti di lantai teras. Perlahan-lahan, di antara bulir-bulir hujan dan keremangan cahaya, perempuan itu pun melangkah mendekat ke arahnya, di bawah teduhan payung. 

Sampai akhirnya, perempuan itu tiba di depan pagar dan lekas membuka kuncian.

Sino sontak memerhatikan wajah sang perempuan. Begitupun sebaliknya dengan sang perempuan. 

Mereka akhirnya saling menebak:

“Mira?” 

“Sino?”

Untuk beberapa saat, mereka pun saling memandang tanpa berkata-kata, seolah-olah saling berbagi rasa atas kenangan di balik mata mereka masing-masing.

“Ada bingkisan untukmu,” tutur Sino kemudian.

Mira tampak heran. “Untuk aku?”

“Iya, untuk kamu!”

Mira pun menyambut sodoran Sino. “Terima kasih,” katanya, sambil tersenyum.

Sino mengangguk pelan dan menghela-hembuskan napas yang panjang. Ia lantas melayangkan senyuman simpul yang singkat, kemudian berbalik badan dan lekas beranjak pergi.

Mira hanya membisu melihat Sino, mantan kekasihnya itu, pergi menjauh darinya.

Dan lagi, Sino kembali mengarungi jalan yang basah di bawah hujan yang deras. Ia pun kembali menyambung tangisnya yang sempat terhenti atas luka yang kini lebih perih lagi

Mira lantas masuk ke dalam rumah dengan rasa penasaran yang menggebu. Tanpa berlama-lama, ia lalu membuka bingkisan yang ternyata berisi kue cokelat. Sampai akhirnya, ia memandang krim yang merangkai tulisan di atas permukaan kue itu:


SELAMAT ULANG TAHUN, SAYANG
dari aku, suamimu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar