Sino
mengarungi jalan setiap hari. Sebagai pengemudi ojek online, kehidupannya telah menggantung di jalanan. Ia tak peduli
siang dan malam, juga terik dan hujan. Ia betah mengitari lintasan kota, di
sepanjang tempat kisahnya berceceran di masa silam. Ia telah mencintai jalanan,
sebagaimana ia mencintai masa lalunya sendiri.
Sampai
kini, Sino menganggap bertualang dengan sepeda motor tuanya adalah nostalgia
yang amat menyenangkan. Ia senang mengingat-ingat kembali kebersamaannya dengan
sang kekasih di masa lalu, ketika mereka menjejaki sisi kota dengan penuh kegembiraan.
Ia senang merasa-rasai lagi wangi parfumnya, tepakan tangannya, atau nada suaranya
kala mereka sesadel.
Betapa
dalam cinta Sino kepada sang kekasih. Perasaannya tetap tidak berubah, meski kekasihnya
itu menghilang setamat kuliah, tanpa memberikan kabar apa pun kepadanya. Tujuan
hatinya masih tetap sama, meski sang kekasih telah pergi, entah ke mana.
Harapannya masih tetap terjaga, meski kenyataan tinggal menyisakan harapan. Ia benar-benar
menggila untuk tetap mencintai.
Sudah
tiga tahun mereka berjarak. Bukan berarti telah berpisah, bukan berarti juga
akan bersama. Keadaan menggantung itulah yang membuat Sino terjerat di
masa-masa kebersamaan mereka. Ia masih berharap kisah cintanya itu akan
berlanjut, atau sekalian ia tak bertemu lagi dengan sang kekasih jika
kebersamaan itu memang mustahil.
Seperti
sebelumnya, malam ini, Sino pun tetap siaga untuk melakoni pekerjaannya.
Bersiap sedia untuk mengantarkan orang atau barang. Kembali melakukan
pengulangan yang semakin menjeratnya pada lintasan kenangan. Bagaimana pun,
hanya itu yang bisa ia lakukan untuk bertahan hidup setelah gelar sarjananya
tak juga membuahkan pekerjaan yang ia harapkan.
Dan
tiba-tiba, di tengah penantiannya di tepi jalan, sebuah pesan masuk melalui
ponselnya. Sebuah permintaan untuk mengantarkan sekotak bingkisan dari sebuah
toko kue ke sebuah alamat di kompleks perumahan mewah. Maka tanpa pikir
panjang, ia langsung saja mengarungi kemacetan jalan untuk menunaikan tugasnya.
Sesampainya
di toko kue yang dimaksud, ia lantas masuk dan memberikan keterangan sesuai
informasi yang dikirimkan sang pemesan. Sesaat kemudian, ia menerima sebuah
bingkisan yang telah terkemas rapi. Maka tanpa berlama-lama, ia segera keluar
dan mendapati hujan turun sangat deras. Ia pun lekas mengenakan jas hujan dan
mulai melaju, demi profesionalisme kerja.
Perlahan-lahan,
di tengah deru hujan, ia kembali teringat dengan satu peristiwa di masa silam.
Kala itu, ia mengantarkan sang kekasih untuk pulang ke rumahnya selepas
berjalan-jalan. Namun tiba-tiba, hujan deras turun. Tapi entah mengapa, mereka
berdua sama-sama tak peduli dan memilih untuk menerobos keadaan, seperti dua
orang anak kecil yang rindu bermain hujan.
Sampai
akhirnya, di ujung satu kenangan itu pula, sesampainya di rumah sang kekasih,
ia pun mendapat hujanan kata-kata yang tidak mengenakkan dari ayah sang
kekasih:
“Kau
mau anak saya sakit?” bentak ayah sang kekasih setelah melihat anaknya basah
kuyup. “Kenapa tidak singgah berteduh kalau hujan? Kenapa tidak pakai jas
hujan?”
Sino
hanya menunduk. “Maaf, Om,” jawabnya, tanpa kehendak menyanggah dan mencari
alasan pemaaf.
“Tidak
ada maaf-maaf! Tindakanmu sudah keterlaluan!” balas ayah sang kekasih.
“Lain kali, kau tak usah mengantar
anakku ke mana pun juga! Aku atau sopirku bisa mengantar dan menjemputnya
dengan mobil ke mana-mana. Itu lebih baik dan aman!”
“Baik,
Om,” balas Sino, kagok . “Maafkan, aku, Om.”
Ayah
sang kekasih hanya mendengus kesal, kemudian berpaling dan menuntun anaknya
untuk masuk ke dalam rumah.
Sang
kekasih yang hanya bisa mematung menyaksikan hardikan itu, akhirnya melangkah
pergi, tanpa kuasa untuk berbagi kata-kata dengannya.
Di
tengah langit yang masih hujan waktu itu, Sino akhirnya pulang dengan perasaan
terluka.
Tiba-tiba,
saat ini, air mata Sino pun terjatuh, seperti di waktu itu.
Di
tengah kenangan yang sendu, ia pun semakin mendekat ke alamat yang ia tuju.
Seketika, ia tersadar untuk segera keluar dari renungannya. Ia lalu menenangkan
perasaanya, sembari menghapus bulir air mata yang tergelincir di pipinya. Bagaimana
pun, ia tidak ingin sampai di hadapan seorang konsumen dengan wajah yang kuyu.
Berselang
sesaat, sampai juga ia di depan rumah sang pemilik alamat. Lekas kemudian, ia
memencet bel dan menunggu penghuni rumah untuk membuka pagar dan menerima
bingkisan.
Tanpa
menunggu lama, di balik terali pagar dan lindungan dua mobil yang terparkir di
halaman, seorang perempuan akhirnya keluar dari dalam rumah, disusul seorang
anak kecil yang kemudian berhenti di lantai teras. Perlahan-lahan, di antara
bulir-bulir hujan dan keremangan cahaya, perempuan itu pun melangkah mendekat
ke arahnya, di bawah teduhan payung.
Sampai
akhirnya, perempuan itu tiba di depan pagar dan lekas membuka kuncian.
Sino
sontak memerhatikan wajah sang perempuan. Begitupun sebaliknya dengan sang
perempuan.
Mereka
akhirnya saling menebak:
“Mira?”
“Sino?”
Untuk
beberapa saat, mereka pun saling memandang tanpa berkata-kata, seolah-olah
saling berbagi rasa atas kenangan di balik mata mereka masing-masing.
“Ada
bingkisan untukmu,” tutur Sino kemudian.
Mira
tampak heran. “Untuk aku?”
“Iya,
untuk kamu!”
Mira
pun menyambut sodoran Sino. “Terima kasih,” katanya, sambil tersenyum.
Sino
mengangguk pelan dan menghela-hembuskan napas yang panjang. Ia lantas melayangkan
senyuman simpul yang singkat, kemudian berbalik badan dan lekas beranjak pergi.
Mira
hanya membisu melihat Sino, mantan kekasihnya itu, pergi menjauh darinya.
Dan
lagi, Sino kembali mengarungi jalan yang basah di bawah hujan yang deras. Ia
pun kembali menyambung tangisnya yang sempat terhenti atas luka yang kini lebih
perih lagi
Mira
lantas masuk ke dalam rumah dengan rasa penasaran yang menggebu. Tanpa berlama-lama,
ia lalu membuka bingkisan yang ternyata berisi kue cokelat. Sampai akhirnya, ia
memandang krim yang merangkai tulisan di atas permukaan kue itu:
SELAMAT ULANG TAHUN, SAYANG
dari aku, suamimu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar