Kamis, 02 April 2020

Kafe 21

Tujuh tahun yang lalu, Hilman meninggalkan tanah kelahirannya. Ia menjual tanah peninggalan orang tuanya kepada orang lain, kemudian beranjak ke pulau seberang untuk memulai kehidupan yang baru. Ia menjual tanah itu beserta rumah dan warung kopi sederhana yang telah lama menjadi sumber penghidupan keluarganya, demi menjamin bekal kehidupannya di ibu kota.
 
Diam-diam, Hilman sebenarnya telah melanggar pesan ibunya sebelum meninggal. Sang Ibu berpesan agar ia mempertahankan rumah dan mengembangkan usaha warung kopi milik mereka. Apalagi, bangunan tersebut merupakan peninggalan sedari kakeknya. Namun tidak saja mengabaikan bangunan itu, Hilman malah menjualnya beserta tanah. 

Pola pikir Hilman memang berbeda. Ia merasa pendidikan lebih penting kerimbang harta warisan. Ia merasa kalau harta benda apa pun, termasuk warung kopi itu, tak akan berkembang kalau ia tak memiliki pengetahuan yang baik. Karena itulah, sesuai rencana, ia bertekad menamatkan kuliah di universitas terbaik di ibu kota demi menjamin kesuksesannya di masa depan. 

Namun setelah bertahun-tahun di ibu kota, Hilman harus menerima kenyataan bahwa rencana tak selamanya berjalan mulus. Pada awal-awal, ia memang berhasil masuk dan tamat sebagai mahasiswa jurusan bisnis di salah satu universitas terbaik di negeri ini, namun pada akhirnya, ia tak mendapatkan pekerjaan sesuai dengan apa yang ia damba-dambakan. 

Akhirnya, tinggallah Hilman sebagai sarjana pengangguran di ibu kota. Sekian kali ia mengajukan lamaran, sekian kali pula ia tertolak, bahkan ketika ia pasrah untuk menurunkan tingkat cita-cita kerjanya dari level manajerial ke level operasional. Sampai akhirnya, ia menyerah untuk bertarung, lantas pulang untuk mencari pekerjaan di kota asalnya.

Setelah sampai di kota kelahirannya, ia pun menyewa sebuah kamar indekos dari hasil kerja serabutnya di ibu kota. Bagaimana pun, ia merasa malu kalau harus menggantungkan hidup pada sanak keluarganya. Selain karena ia telah gagal mendapatkan pekerjaan setelah sarjana, juga karena ia telah lancang menjual tanah peninggalan orang tuanya.

Sehari setelahnya, rasa penasaran atas perubahan wajah kota pun memaksa ia untuk segera bertualang. Ia ingin menyaksikan keadaan-keadaan yang telah berubah, termasuk tentang sepetak tanah kelahirannya dahulu. Bagaimana pun, meski ia was-was untuk menyaksikan kenyataan, ia tetap tidak sabar untuk mengetahui apa yang terjadi di atas sepetak tanah itu.

Dengan rasa penasaran yang menggebu, akhirnya, sampailah ia di depan tanah kelahirannya. Seperti yang ia duga, tak lagi warung kopi sederhana dengan teras terbuka di sekelilingnya. Namun di luar dugaannya, ia pun tercengang melihat sebuah bangunan gemerlap berlantai dua dengan tulisan Kafe 21 yang dirangkai oleh lampu-lampu di puncaknya.

Perlahan-lahan, perasaannya pun terenyuh membayangkan bangunan sederhana yang ia tinggalkan dahulu, kini telah berubah menjadi bangunan mewah yang menakjubkan. Ia pun menyesalkan dirinya yang telah mengabaikan warisan itu demi mengejar cita-cita yang tak kunjung tercapai, hingga orang lain berhasil mengembangkannya dengan luar biasa.

Di tengah kemelut perasaannya yang mendalam, ia lantas memasuki ruang kafe. Ia sedikit sungkan di tengah bayang-bayang ruang Warkop 21 miliknya yang kini berubah total setelah beralih nama menjadi Kafe 21. Ia lalu melihat-lihat ke segenap ruang, hingga perasaanya tersentuh mengenang kesibukan keluarga kecilnya ketika mereka melayani beberapa pelanggan di masa lalu.

Sesaat kemudian, seorang pelayan datang dan menyodorkan daftar menu kepadanya. Ia lantas memesan kopi susu yang kemudian tersaji dengan segera. Ia lalu menyesap minuman itu, sembari merenungi keputusan hidupnya yang ternyata salah sejauh ini. Ia menyadari telah salah mengorbankan warisan orang tuannya untuk keinginan-keinginan yang belum pasti terwujud. 

Setelah hampir satu jam menyendiri di tengah orang-orang yang asyik bercakap-cakap, ia pun memutuskan untuk menyudahi sesapan penyesalannya kali ini. Ia lantas beranjak ke depan kasir untuk membayar tagihan yang menurutnya terhitung mahal untuk sekadar kopi susu dengan rasa yang tidak lebih baik dibanding seduhannya di masa silam.

“Hilman?” terka sang kasir.

Hilman pun memandang wajah sang kasir dan lekas menebak, “Misran?”

Mereka lantas berbalas anggukan dan melepas tawa secara bersamaan.

“Apa kabar?” tanya Misran, salah seorang teman dekatnya di masa SMA itu.

Hilman tersenyum pendek. “Baik-baik saja,” jawabnya, tanpa bertanya balik. 

“Kau pasti sudah menjadi orang sukses, ya?” tanya Misran lagi. “Kau kerja apa sekarang?”

Hilman menggeleng dengan perasaan tawar. “Aku belum kerja apa-apa,” ungkapnya, polos, sebagaimana kejujuran seseorang kepada teman baiknya. ”Persaingan kerja di Ibu Kota sangat keras.” 

Misran tersenyum dengan rupa bersahabat, seolah-olah berupaya memperbaiki suasana setelah ia merasa telah salah bertanya. “Mungkin belum rezekimu saja. Lagi pula, pekerjaan kan tak hanya ada di ibu kota.”

Hilman pun menganguk-angguk sambil tersenyum.

Misran lantas berurusan dengan uang untuk pengembalian kelebihan pembayaran sahabatnya itu.

Mata Hilman kembali melayang, hingga akhirnya terpaku pada sebuah kertas pengumuman lowongan kerja yang tertempel di dinding. “Kafe ini butuh barista?” tanyanya kemudian.

Misran mengangguk. “Kalau kau mau, kau bisa mengajukan diri. Hitung-hitung sebagai pekerjaan sementara sebelum kau mendapatkan pekerjaan yang lebih baik,” tawarnya, dengan senyuman yang menggoda. “Biar aku yang meyakinkan si bos. Aku yakin, atas kisahmu dengan kafe ini di masa lalu, kau pasti diterima.”

Hilman terdiam dan tampak menimbang-nimbang. ”Biar aku pikirkan dulu,” katanya.

Misran pun tertawa pendek. “Datanglah besok.”

Hilman mengangguk.

Seseorang menyusul untuk membayar tagihan.

Hilman pun pamit dan pergi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar