Tujuh
tahun yang lalu, Hilman meninggalkan tanah kelahirannya. Ia menjual tanah
peninggalan orang tuanya kepada orang lain, kemudian beranjak ke pulau seberang
untuk memulai kehidupan yang baru. Ia menjual tanah itu beserta rumah dan warung
kopi sederhana yang telah lama menjadi sumber penghidupan keluarganya, demi menjamin
bekal kehidupannya di ibu kota.
Diam-diam,
Hilman sebenarnya telah melanggar pesan ibunya sebelum meninggal. Sang Ibu
berpesan agar ia mempertahankan rumah dan mengembangkan usaha warung kopi milik
mereka. Apalagi, bangunan tersebut merupakan peninggalan sedari kakeknya. Namun
tidak saja mengabaikan bangunan itu, Hilman malah menjualnya beserta tanah.
Pola
pikir Hilman memang berbeda. Ia merasa pendidikan lebih penting kerimbang harta
warisan. Ia merasa kalau harta benda apa pun, termasuk warung kopi itu, tak akan
berkembang kalau ia tak memiliki pengetahuan yang baik. Karena itulah, sesuai
rencana, ia bertekad menamatkan kuliah di universitas terbaik di ibu kota demi
menjamin kesuksesannya di masa depan.
Namun
setelah bertahun-tahun di ibu kota, Hilman harus menerima kenyataan bahwa
rencana tak selamanya berjalan mulus. Pada awal-awal, ia memang berhasil masuk dan
tamat sebagai mahasiswa jurusan bisnis di salah satu universitas terbaik di
negeri ini, namun pada akhirnya, ia tak mendapatkan pekerjaan sesuai dengan apa
yang ia damba-dambakan.
Akhirnya,
tinggallah Hilman sebagai sarjana pengangguran di ibu kota. Sekian kali ia
mengajukan lamaran, sekian kali pula ia tertolak, bahkan ketika ia pasrah untuk
menurunkan tingkat cita-cita kerjanya dari level manajerial ke level
operasional. Sampai akhirnya, ia menyerah untuk bertarung, lantas pulang untuk
mencari pekerjaan di kota asalnya.
Setelah
sampai di kota kelahirannya, ia pun menyewa sebuah kamar indekos dari hasil
kerja serabutnya di ibu kota. Bagaimana pun, ia merasa malu kalau harus
menggantungkan hidup pada sanak keluarganya. Selain karena ia telah gagal
mendapatkan pekerjaan setelah sarjana, juga karena ia telah lancang menjual tanah
peninggalan orang tuanya.
Sehari
setelahnya, rasa penasaran atas perubahan wajah kota pun memaksa ia untuk
segera bertualang. Ia ingin menyaksikan keadaan-keadaan yang telah berubah,
termasuk tentang sepetak tanah kelahirannya dahulu. Bagaimana pun, meski ia was-was
untuk menyaksikan kenyataan, ia tetap tidak sabar untuk mengetahui apa yang
terjadi di atas sepetak tanah itu.
Dengan
rasa penasaran yang menggebu, akhirnya, sampailah ia di depan tanah kelahirannya.
Seperti yang ia duga, tak lagi warung kopi sederhana dengan teras terbuka di
sekelilingnya. Namun di luar dugaannya, ia pun tercengang melihat sebuah bangunan
gemerlap berlantai dua dengan tulisan Kafe
21 yang dirangkai oleh lampu-lampu di puncaknya.
Perlahan-lahan,
perasaannya pun terenyuh membayangkan bangunan sederhana yang ia tinggalkan dahulu,
kini telah berubah menjadi bangunan mewah yang menakjubkan. Ia pun menyesalkan
dirinya yang telah mengabaikan warisan itu demi mengejar cita-cita yang tak
kunjung tercapai, hingga orang lain berhasil mengembangkannya dengan luar biasa.
Di
tengah kemelut perasaannya yang mendalam, ia lantas memasuki ruang kafe. Ia
sedikit sungkan di tengah bayang-bayang ruang Warkop 21 miliknya yang kini berubah
total setelah beralih nama menjadi Kafe 21. Ia lalu melihat-lihat ke segenap
ruang, hingga perasaanya tersentuh mengenang kesibukan keluarga kecilnya ketika
mereka melayani beberapa pelanggan di masa lalu.
Sesaat
kemudian, seorang pelayan datang dan menyodorkan daftar menu kepadanya. Ia
lantas memesan kopi susu yang kemudian tersaji dengan segera. Ia lalu menyesap
minuman itu, sembari merenungi keputusan hidupnya yang ternyata salah sejauh
ini. Ia menyadari telah salah mengorbankan warisan orang tuannya untuk
keinginan-keinginan yang belum pasti terwujud.
Setelah
hampir satu jam menyendiri di tengah orang-orang yang asyik bercakap-cakap, ia
pun memutuskan untuk menyudahi sesapan penyesalannya kali ini. Ia lantas beranjak
ke depan kasir untuk membayar tagihan yang menurutnya terhitung mahal untuk
sekadar kopi susu dengan rasa yang tidak lebih baik dibanding seduhannya di
masa silam.
“Hilman?”
terka sang kasir.
Hilman
pun memandang wajah sang kasir dan lekas menebak, “Misran?”
Mereka
lantas berbalas anggukan dan melepas tawa secara bersamaan.
“Apa
kabar?” tanya Misran, salah seorang teman dekatnya di masa SMA itu.
Hilman
tersenyum pendek. “Baik-baik saja,” jawabnya, tanpa bertanya balik.
“Kau
pasti sudah menjadi orang sukses, ya?” tanya Misran lagi. “Kau kerja apa
sekarang?”
Hilman
menggeleng dengan perasaan tawar. “Aku belum kerja apa-apa,” ungkapnya, polos,
sebagaimana kejujuran seseorang kepada teman baiknya. ”Persaingan kerja di Ibu
Kota sangat keras.”
Misran
tersenyum dengan rupa bersahabat, seolah-olah berupaya memperbaiki suasana
setelah ia merasa telah salah bertanya. “Mungkin belum rezekimu saja. Lagi
pula, pekerjaan kan tak hanya ada di ibu kota.”
Hilman
pun menganguk-angguk sambil tersenyum.
Misran
lantas berurusan dengan uang untuk pengembalian kelebihan pembayaran sahabatnya
itu.
Mata
Hilman kembali melayang, hingga akhirnya terpaku pada sebuah kertas pengumuman
lowongan kerja yang tertempel di dinding. “Kafe ini butuh barista?” tanyanya kemudian.
Misran
mengangguk. “Kalau kau mau, kau bisa mengajukan diri. Hitung-hitung sebagai
pekerjaan sementara sebelum kau mendapatkan pekerjaan yang lebih baik,”
tawarnya, dengan senyuman yang menggoda. “Biar aku yang meyakinkan si bos. Aku yakin, atas kisahmu dengan kafe ini
di masa lalu, kau pasti diterima.”
Hilman
terdiam dan tampak menimbang-nimbang. ”Biar aku pikirkan dulu,” katanya.
Misran
pun tertawa pendek. “Datanglah besok.”
Hilman
mengangguk.
Seseorang
menyusul untuk membayar tagihan.
Hilman
pun pamit dan pergi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar