Hari
sudah petang ketika ia kembali menghirup udara bebas. Kakinya mengayun pelan, menapaki sisi dunia yang sekian lama ia rindukan. Tatapannya
melayang ke segala arah, memandangi hamparan alam yang telah mengalami banyak
perubahan. Dan seketika, ia terkesima atas keadaan yang ia saksikan, seperti
seorang anak kecil yang terdampar ke dunia yang baru.
Hampir
dua puluh tahun ia mendekam di balik jeruji. Ia telah bersabar menjalani masa hukuman
penjara yang maksimal atas kejahatan yang ia lakukan. Setidaknya, ia masih
beruntung tidak dijatuhi hukuman mati di tengah kepasrahannya di masa
persidangan. Dan, kini, ia pun merasa bersyukur masih berkesempatan mengikis
dosa-dosanya di masa lalu.
Selama
menjalani proses hukum, ia memang tak pernah menyangkal segala kebenaran yang
dituduhkan kepadanya. Ia mengakui begitu saja segenap kejahatan berlapis yang
telah ia lakukan tanpa hasrat untuk melakukan upaya hukum. Ia mengakui telah
membunuh seorang perempuan, setelah memperkosanya, setelah mengkonsumsi
obat-obat terlarang terlebih dahulu.
Namun
bebas dari penjara bukanlah kebebasan yang sebenar-benarnya. Sebagai seorang mantan
penjahat, jiwanya masih terpenjara. Meski negara telah memberinya hukuman yang
dianggap setimpal, ia tetap merasa berdosa terhadap orang-orang yang sakit hati
atas perbuatannya, juga terhadap sanak keluarganya yang mesti menanggung aib
sepanjang waktu.
Akhirnya,
ia harus menerima bahwa ia terbebas dengan rasa terbuang. Ia harus hidup dengan
orang-orang yang membencinya karena perasaan dendam atau malu. Hingga ia mesti
merasakannya saat ini juga, ketika ia keluar dari penjara dengan perasaan was-was
akan bertemu para pendendam, tidak ada pula sambutan bahagia dari siapa-siapa,
termasuk dari istri dan anaknya.
Dengan
perasaan terasing, ia pun menguatkan hati untuk menemui keluarga kecilnya. Ia
hendak mencurahkan rindu dan memohon maaf kembali atas dirinya yang telah
menghancurkan nama baik keluarga. Bahkan setelah itu, dengan sekuat hati pula,
ia berencana untuk menemui keluarga korban demi meluruhkan segenap penyesalan
dan memohon pengampunan.
Seiring
waktu, di tengah pikirannya yang melayang ke mana-mana, setelah melintasi jalan
lorong lembaga pemasyarakatan, ia pun mendapati sebuah taksi terdiam di tepi
jalan.
“Taksi,
Pak?” tanyanya.
Sang sopir taksi mengangguk.
Ia kemudian masuk ke dalam mobil.
Ia kemudian masuk ke dalam mobil.
Lekas,
mobil pun bergerak maju.
“Ke
belakang Pasar Lama, ya, Pak,” terangnya kemudian, sebelum sang sopir bertanya.
Sang
sopir mengangguk lagi.
Detik
demi detik kemudian, taksi terus saja melaju di dalam keheningan. Ia dan sang
sopir seperti sama-sama tak pandai mencari bahan pembicaraan. Tapi ia merasa,
lebih baik begitu. Kisah hidupnya sebagai mantan narapidana kejahatan berat
jelas bukan cerita yang baik untuk dibagikan, apalagi untuk sekadar menjadi
bahan basa-basi dengan seseorang yang baru ia kenal.
Roda-roda
terus saja berputar seiring berputarnya waktu. Taksi pun memasuki ruang-ruang
yang rupanya tak lagi tampak seperti gambaran di dalam kepalanya. Dengan susah
payah, ia berusaha menemukan sisa-sisa kepingan masa lalunya. Dan
kadang-kadang, ia pun bisa menandai satu-dua bangunan yang masih bertahan
dengan bentuk yang sama.
Seolah
hendak menghidupkan suasana, sang sopir lantas menyalakan pemutar musik.
Akhirnya,
mengalunlah sebuah lagu yang membuat ia terkenang pada masa lalu. “Lagunya
bagus, Pak,” tanggapnya.
Sang
sopir mendengus-tersenyum, dengan pandangan terpaku ke arah depan.
Seiring
waktu, lagu demi lagu pun berganti. Sudah untuk lagu yang keempat saat ini. Dan
dengan sangat kebetulan, keempat lagu itu merupakan lagu favoritnya.
“Sepertinya, kita punya selera musik yang sama, Pak,” katanya, kemudian menoleh
pada sang sopir yang tetap fokus mengemudi. “Lagu ini adalah lagu kesukaanku bersama
seorang temanku karib dahulu. Kami sering mendengarkan dan menyanyikannya
bersama-sama.”
Sang
sopir tertawa pendek, tanpa berkata-kata.
Diam-diam,
ia pun merasa kikuk atas sikap sang sopir yang dingin. Tetapi sebagai mantan
penjahat yang sekian lama bertempur dengan rahasia di dalam dirinya sendiri, ia
mengerti kalau semua orang punya watak sendiri-sendiri, dan ia menerka kalau
barangkali sang sopir memang bukan orang yang gemar bercakap-cakap.
Namun
beberapa saat kemudian, setelah ia merasa kalau waktu perjalanan lebih lama dari
yang ia perkirakan, ia pun terpaksa bertanya, “Apa Pasar Lama masih jauh, Pak?
Aku kira tak sejauh ini,” tuturnya, lantas menoleh pada sang sopir.
Anehnya,
sang sopir tak juga bersuara. Ia hanya memandang ke arah depan dengan raut yang
datar. Sampai akhirnya, bulir-bulir air mata tergelincir ke pipinya.
Sontak
saja, ia merasa ada yang ganjil pada sikap sang sopir. Tanpa hasrat mengulik,
ia lantas mengalihkan pandangan ke sisi yang lain. Dan secara sepintas, matanya
melihat sebuah foto yang mengggantung di gagang spion tengah. Dengan rasa
penasaran, ia kembali memerhatikan foto yang mengayun-ayun itu. Hingga akhirnya,
ia terkejut menyaksikan seberkas wajah perempuan di sana.
Seketika,
ia kembali menoleh pada sang sopir. Ia lantas berusaha membaca wajah di balik
topi, kacamata lensa, dan rambut-rambut yang tumbuh lebat itu. Hingga perlahan-lahan,
deberan jantungnya semakin mengencang seiring dengan hasil pengamatannya.
Sampai akhirnya, ia sadar bahwa orang yang kini berada di sampingnya adalah
orang yang sangat patut untuk membencinya.
“Maafkan
aku,” katanya kemudian, dengan suara yang lirih.
Lagi-lagi,
sang sopir tak bersuara. Rona wajahnya tampak muram.
“Maafkan
aku!” katanya lagi. “Maafkan aku!”
Tanpa
respons apa-apa, sang sopir lalu membelokan mobil ke sisi kiri dan mulai melintasi
jalanan berkerikil yang diselubungi rerumputan.
Ia
terus saja mengulang permintaan maafnya.
Sang
sopir bergeming saja.
Beberapa
saat kemudian, roda-roda akhirnya berhenti di tengah pepohonan rindang yang
sepi, tepat menghadap ke jurang yang terjal.
Seketika,
ia terperangah. Sekian tahun telah berlalu, tapi ia masih mengingat kalau di
jurang itulah, jasad korban kebejatannya berakhir tragis.
Mobil
lantas meraung-raung.
“Aku
mohon, maafkan aku!” pintanya lagi.
Namun
di tengah maaf yang tak juga bersambut, mobil pun meluncur ke bawah jurang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar