Kamis, 02 April 2020

Jurang Kematian

Hari sudah petang ketika ia kembali menghirup udara bebas. Kakinya mengayun pelan, menapaki  sisi dunia yang sekian lama ia rindukan. Tatapannya melayang ke segala arah, memandangi hamparan alam yang telah mengalami banyak perubahan. Dan seketika, ia terkesima atas keadaan yang ia saksikan, seperti seorang anak kecil yang terdampar ke dunia yang baru.
 
Hampir dua puluh tahun ia mendekam di balik jeruji. Ia telah bersabar menjalani masa hukuman penjara yang maksimal atas kejahatan yang ia lakukan. Setidaknya, ia masih beruntung tidak dijatuhi hukuman mati di tengah kepasrahannya di masa persidangan. Dan, kini, ia pun merasa bersyukur masih berkesempatan mengikis dosa-dosanya di masa lalu. 

Selama menjalani proses hukum, ia memang tak pernah menyangkal segala kebenaran yang dituduhkan kepadanya. Ia mengakui begitu saja segenap kejahatan berlapis yang telah ia lakukan tanpa hasrat untuk melakukan upaya hukum. Ia mengakui telah membunuh seorang perempuan, setelah memperkosanya, setelah mengkonsumsi obat-obat terlarang terlebih dahulu. 

Namun bebas dari penjara bukanlah kebebasan yang sebenar-benarnya. Sebagai seorang mantan penjahat, jiwanya masih terpenjara. Meski negara telah memberinya hukuman yang dianggap setimpal, ia tetap merasa berdosa terhadap orang-orang yang sakit hati atas perbuatannya, juga terhadap sanak keluarganya yang mesti menanggung aib sepanjang waktu.

Akhirnya, ia harus menerima bahwa ia terbebas dengan rasa terbuang. Ia harus hidup dengan orang-orang yang membencinya karena perasaan dendam atau malu. Hingga ia mesti merasakannya saat ini juga, ketika ia keluar dari penjara dengan perasaan was-was akan bertemu para pendendam, tidak ada pula sambutan bahagia dari siapa-siapa, termasuk dari istri dan anaknya.

Dengan perasaan terasing, ia pun menguatkan hati untuk menemui keluarga kecilnya. Ia hendak mencurahkan rindu dan memohon maaf kembali atas dirinya yang telah menghancurkan nama baik keluarga. Bahkan setelah itu, dengan sekuat hati pula, ia berencana untuk menemui keluarga korban demi meluruhkan segenap penyesalan dan memohon pengampunan.

Seiring waktu, di tengah pikirannya yang melayang ke mana-mana, setelah melintasi jalan lorong lembaga pemasyarakatan, ia pun mendapati sebuah taksi terdiam di tepi jalan.

“Taksi, Pak?” tanyanya.

Sang sopir taksi mengangguk.

Ia kemudian masuk ke dalam mobil.

Lekas, mobil pun bergerak maju.

“Ke belakang Pasar Lama, ya, Pak,” terangnya kemudian, sebelum sang sopir bertanya.

Sang sopir mengangguk lagi.

Detik demi detik kemudian, taksi terus saja melaju di dalam keheningan. Ia dan sang sopir seperti sama-sama tak pandai mencari bahan pembicaraan. Tapi ia merasa, lebih baik begitu. Kisah hidupnya sebagai mantan narapidana kejahatan berat jelas bukan cerita yang baik untuk dibagikan, apalagi untuk sekadar menjadi bahan basa-basi dengan seseorang yang baru ia kenal.

Roda-roda terus saja berputar seiring berputarnya waktu. Taksi pun memasuki ruang-ruang yang rupanya tak lagi tampak seperti gambaran di dalam kepalanya. Dengan susah payah, ia berusaha menemukan sisa-sisa kepingan masa lalunya. Dan kadang-kadang, ia pun bisa menandai satu-dua bangunan yang masih bertahan dengan bentuk yang sama.

Seolah hendak menghidupkan suasana, sang sopir lantas menyalakan pemutar musik.

Akhirnya, mengalunlah sebuah lagu yang membuat ia terkenang pada masa lalu. “Lagunya bagus, Pak,” tanggapnya.

Sang sopir mendengus-tersenyum, dengan pandangan terpaku ke arah depan.

Seiring waktu, lagu demi lagu pun berganti. Sudah untuk lagu yang keempat saat ini. Dan dengan sangat kebetulan, keempat lagu itu merupakan lagu favoritnya. “Sepertinya, kita punya selera musik yang sama, Pak,” katanya, kemudian menoleh pada sang sopir yang tetap fokus mengemudi. “Lagu ini adalah lagu kesukaanku bersama seorang temanku karib dahulu. Kami sering mendengarkan dan menyanyikannya bersama-sama.”

Sang sopir tertawa pendek, tanpa berkata-kata.   
             
Diam-diam, ia pun merasa kikuk atas sikap sang sopir yang dingin. Tetapi sebagai mantan penjahat yang sekian lama bertempur dengan rahasia di dalam dirinya sendiri, ia mengerti kalau semua orang punya watak sendiri-sendiri, dan ia menerka kalau barangkali sang sopir memang bukan orang yang gemar bercakap-cakap.

Namun beberapa saat kemudian, setelah ia merasa kalau waktu perjalanan lebih lama dari yang ia perkirakan, ia pun terpaksa bertanya, “Apa Pasar Lama masih jauh, Pak? Aku kira tak sejauh ini,” tuturnya, lantas menoleh pada sang sopir.

Anehnya, sang sopir tak juga bersuara. Ia hanya memandang ke arah depan dengan raut yang datar. Sampai akhirnya, bulir-bulir air mata tergelincir ke pipinya.

Sontak saja, ia merasa ada yang ganjil pada sikap sang sopir. Tanpa hasrat mengulik, ia lantas mengalihkan pandangan ke sisi yang lain. Dan secara sepintas, matanya melihat sebuah foto yang mengggantung di gagang spion tengah. Dengan rasa penasaran, ia kembali memerhatikan foto yang mengayun-ayun itu. Hingga akhirnya, ia terkejut menyaksikan seberkas wajah perempuan di sana.

Seketika, ia kembali menoleh pada sang sopir. Ia lantas berusaha membaca wajah di balik topi, kacamata lensa, dan rambut-rambut yang tumbuh lebat itu. Hingga perlahan-lahan, deberan jantungnya semakin mengencang seiring dengan hasil pengamatannya. Sampai akhirnya, ia sadar bahwa orang yang kini berada di sampingnya adalah orang yang sangat patut untuk membencinya.

“Maafkan aku,” katanya kemudian, dengan suara yang lirih.

Lagi-lagi, sang sopir tak bersuara. Rona wajahnya tampak muram.
 
“Maafkan aku!” katanya lagi. “Maafkan aku!”

Tanpa respons apa-apa, sang sopir lalu membelokan mobil ke sisi kiri dan mulai melintasi jalanan berkerikil yang diselubungi rerumputan.

Ia terus saja mengulang permintaan maafnya.

Sang sopir bergeming saja.

Beberapa saat kemudian, roda-roda akhirnya berhenti di tengah pepohonan rindang yang sepi, tepat menghadap ke jurang yang terjal.

Seketika, ia terperangah. Sekian tahun telah berlalu, tapi ia masih mengingat kalau di jurang itulah, jasad korban kebejatannya berakhir tragis.

Mobil lantas meraung-raung.

“Aku mohon, maafkan aku!” pintanya lagi.

Namun di tengah maaf yang tak juga bersambut, mobil pun meluncur ke bawah jurang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar