Kisah
kita berawal dari mata. Pada satu hari, kita berbapasan dan nyaris bertabrakan
di satu sudut kampus. Seketika, pandanganku jatuh pada matamu yang tepat
membalas. Kita beradu pandang mungkin sedetik, lalu sama-sama berpaling ke arah
yang lain. Tapi momentum itu sudah cukup menjadi alasan bagiku menjatuhkan hati
padamu.
Peraduan mata kita memang sudah takdir. Aku tak sekali pun merencanakan untuk melewati satu sisi dinding tepat di saat kau melewati sisi yang lain, sampai kita bertemu tepat di garis pemisah. Kukira, semesta memang telah mengukur dan mengaturnya secara presisi sehingga aku tak punya jalan lain untuk menghindar, sebagaimana juga dirimu, hingga kita pun saling mencuri pandang.
Terus terang, aku bukanlah orang yang percaya pada sihir pandangan pertama. Aku menyangkal jika orang rela menjatuhkan perasaannya cuma karena saling memandang dalam waktu yang singkat. Buktinya, tak terhitung berapa kali sudah aku bertatapan dengan orang-orang yang baru, dan aku merasa biasa saja. Namun terhadap dirimu, pandanganku berubah. Aku merasa kau telah merengkuh segenap perasaanku hanya dengan binar matamu sedetik saja. Aku merasa telah jatuh hati, seketika itu juga.
Ada rahasia besar yang membuatku terpaku pada matamu waktu itu. Ada harapan-harapan indah tentang kebersamaan di masa depan yang kubaca di balik dua bola matamu yang jernih, yang dinaungi alis tebal yang alami. Ada tanya-tanya yang memancar pada bukaan mataku yang lebar dengan bulu mata lentik yang menghiasinya. Dan seiring waktu, aku semakin penasaran atas rahasia-rahasia itu, hingga aku terus mengungkap jawab di balik tanya. Seolah-olah matamu adalah jendela surga yang menampakkan keindahan yang tak berkesudahan.
Namun tetap saja aku masih harus mencari. Aku masih terus menggugat perkiraanku sendiri tentang perasaanmu. Setiap kali keakuanku melambung bahwa kau pun jatuh hati padaku, akal sehat seketika menuntunku pada tindakan yang penuh kewawasan. Aku jelas tak ingin memastikan segala kemungkinan tentang kita sebelum ada jalinan yang logis antara tatapanmu saat itu dengan sikapmu setelahnya, tentang adakah juga kau berharap kita saling mengindrai lagi, sesering mungkin.
Sampai kini, aku masih terus mencari jalan terbaik untuk menyatakan perasaanku, walau harus menempuh jalan berkabut sebab kita bukanlah dua insan yang beredar di medan yang sama. Kita berbeda jurusan, kita berbeda organisasi, kita berbeda teman pergaulan. Dan kenyataan itu membuatku kesulitan mencari tanda-tanda darimu, kecuali pada momen kebetulan yang kembali mempertemukan kita di ruang-ruang yang tak terduga, meski kita tak lagi saling memandang sehangat sebelumnya.
Akhirnya, aku memutuskan untuk menempuh cara yang sangat halus untuk berbagi tanda padamu. Aku menjadikan seorang teman dekatmu yang tergabung dalam sebuah organisasi denganku, Bulan, sebagai mata-matamu tentang diriku. Aku senantiasa menampilkan diriku sebaik mungkin di depannya, sambil berharap ia akan menjadi pencerita untukmu tentang diriku. Aku menampilkan diriku sebagai lelaki yang menawan dengan sesering mungkin melantunkan lagu-lagu atau membacakan puisi-puisi di pagelaran seni, sambil meyakini bahwa kau akan mendengar cerita-cerita luar biasa tentangku darinya.
Seiring waktu, trik yang kulakukan sepertinya berdampak. Kau pun keluar dari sarangmu. Beberapa kali sudah aku melihatmu berjalan bersamanya sambil menoleh ke arahku, seolah kau menyatakan padanya bahwa akulah lelaki yang telah membuatmu jatuh hati sejak pandangan pertama. Beberapa kali juga kalian tampak membaca sebuah koran kampus yang memuat gubahan puisiku, atau menyaksikan penampilanku di panggung musik, seolah kau menunjukkan padanya bahwa akulah lelaki yang telah membuat anganmu melayang jauh sampai ke nirwana.
Lambat laun, aku pun meyakini saja bahwa pendekatanku yang senyap benar-benar berhasil. Aku menduga bahwa pada rentang waktu ketidakhadiranmu di dalam ruang hidupku, kau terus menagih cerita tentang diriku darinya. Lalu, ia pun bercerita, hingga kau menyaksikan diriku walau kita berada di ruang yang berbeda. Ia akan bercerita padamu tentang aku yang tampak semakin rupawan dan romantis. Dan atas benih cinta yang kau tanam sejak pandangan pertama kita, kau pun akan mendengar cerita darinya dengan perasaan yang berbunga-bunga, sampai kau tak sanggup lagi memendam perasaanmu.
Hingga akhirnya, tibalah aku pada waktu yang kukira akan mengungkap semua rahasia di balik matamu. Kau datang menghampiriku dengan tatapan yang malu-malu, seolah tatapan pertama kita sudah cukup sebagai klimaks, sedang tatapan setelahnya cuma kelanjutan-kelanjutan yang sekadar untuk menjaganya tetap berbinar. Kau datang menemuiku dengan penuh keseganan, seolah-olah kau menahan limpahan perasaan yang belum sanggup kau luruhkan di hadapanku.
“Ada surat untukmu. Ambillah!” katamu seketika, sambil menyodorkan seamplop surat.
Aku menyambutnya dengan jantung yang berdegup kencang, seakan-akan aku akan sampai pada akhir cerita yang selama ini begitu kunantikan.
Kau melayangkan senyuman manis yang singkat, kemudian berbalik badan dan berlalu di balik sore yang cerah.
Tiba-tiba, aku tersadar untuk menyapa, “Mata…,” seruku. “Matahari!”
Kau tak sekali pun menoleh. Kau terus melangkah menuju sisi ruang yang lain, sampai lenyap dari pandangan mataku.
Di tengah perasaan yang berkecamuk, kusibaklah surat yang kau berikan:
Aku tak sabar berkata “Iya!”, tapi kau tak lekas
bertanya.
Jadi izinkanlah aku menyatakannya lebih dahulu: Aku
mencintaimu.
Dariku, Bulan.
Seketika, aku sadar telah salah menafsirkan pandangan pertama kita.
Perlahan-lahan, aku ingin hari siang selamanya dan malam tak datang lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar