Selasa, 26 Februari 2019

Menunggu Maut

Aku ingin mati saja. Sudah tak ada lagi harapan untuk hidupku. Segala macam penyakit telah bersatu padu melumpuhkan ragaku. Sebuah komplikasi yang melibatkan masalah jantung, paru-paru, dan beberapa organ lain yang tak bisa kujelaskan sebagaimana dokter menjelaskannya. Satu keadaan yang membuatku hanya bisa berbaring di tempat tidur sambil menunggu maut menjemput, entah kapan. 

Nahasnya, menanti kematian atas hidup yang penuh derita, kurasa menjadi penungguan yang paling membosankan. Sesekali, aku ingin napasku berhenti saja di satu detik ke depan, tapi aku malah lekas berdoa semoga umurku dipanjangkan. Sesekali juga pikiranku berkesimpulan bahwa kematian adalah cara terbaik untuk mengakhiri penderitaan, tapi nuraniku tetap saja tak kuasa membenarkan.

Kadang pula kukhayalkan, mungkin akan lebih baik jika setiap orang diciptakan dengan kesanggupan untuk menentukan jalan kematiannya sendiri. Bahwasanya setiap orang sanggup mengakhiri hidupnya pada waktu dan dengan cara yang mereka sukai. Dan gelimangan keringat, darah, dan air mata yang tak berkesudahan, harusnya menjadi alasan yang cukup untuk mengakhiri hidup. Tapi jelas, itu hanya khayalanku belaka, sebab nuraniku tetap saja tak mengalah.

Di tengah jalan buram menuju kematian, seringkali, muncullah protes di dalam hatiku. Protes kenapa aku tak ditakdirkan meninggal secara tiba-tiba di saat keadaanku baik-baik saja, sehingga aku tak harus menunggu kematian dalam ketidakberdayaan begitu lama. Protes kenapa kematian cuma nyaris bagiku dan tak pernah benar-benar terjadi. Pernah peluru nyasar mengenai tepi daun telingaku, atau mobil menyambar tas selempangku, tapi itu tak berarti apa-apa.

Atas diriku yang tak lagi berdaya, aku pun merasa semakin terbebani sebab aku telah membuat orang lain turut terbebani. Beberapa orang datang membesukku di tengah kesibukan mereka atas nama persahabatan atau kekeluargaan, dan itu membuatku tak enak hati. Beberapa lainnya malah menyisihkan waktunya untuk merawatku dalam waktu tertentu, dan itu membuatku merasa bersalah dan berutang budi.

Ludin, anak ketiga dari lima orang anakku, adalah salah satu dari sekian banyak orang yang kurasa begitu tulus memerhatikan keadaanku. Bahkan untuk saat ini, aku sanggup mendaulatnya sebagai orang yang paling perhatian terhadapku. Tiga bulan sudah ia merawatku di rumah setelah pihak rumah sakit menyerah untuk mencari jalan kesembuhan bagiku. Demi fokus mengurusku, ia bahkan menyatakan telah melepaskan pekerjaannya di kota terlebih dahulu.

Di tengah ketergantungan antara hidup dan mati, aku sungguh bersyukur memiliki Ludin. Paling tidak, kehadirannya membuatku tidak terlalu kesepian dan merasa sedikit tenang menunggu kematian. Pun, kehadirannya yang penuh perhatian akan membuat orang lain tak perlu turut kerepotan mengurus diriku, sehingga aku tak perlu merepotkan banyak orang.

“Terima kasih, Nak,” kataku, untuk ke sekian kalinya. “Aku sungguh merasa terbantu atas kehadiranmu di sini.”

Ia melayangkan senyuman seperti biasa. “Sudah kubilang, Ibu tak perlu berterimah kasih. Apa yang kulakukan memang sudah tanggung jawabku sebagai anak!”

Aku tetap menyimpan rasa bersalah padanya, “Tapi karena akulah, kau harus mengabaikan kepentingan dirimu sendiri, Nak,” kataku, lalu menggenggam tangan kanannya. “Aku ini, mungkin hidup tak lama lagi. Aku tak perlu mencari apa-apa lagi untuk masa depan yang panjang. Sedangkan kau masih sangat muda, Nak. Kau seharusnya fokus pada karirmu. Fokus mencari tabungan untuk masa depanmu nanti.” Aku lalu melepaskan air mata yang sedari tadi tertahan. “Maafkan aku, Nak!”

“Sudah, Bu. Jangan merasa segan begitu. Aku benar-benar tak mengapa atas itu semua,” katanya, sambil mengusap-usap punggung tanganku. “Aku berharap dengan apa yang kulakukan ini, Ibu sudi memaafkan segenap kesalahanku di waktu-waktu yang lalu.”

Seketika, aku pun teringat pada masa lalunya yang penuh dengan hura-hura. Sebelum dua tahun yang lalu, sebelum ia mengaku mendapatkan pekerjaan di kota, ia adalah seorang lelaki dewasa yang hanya memperturut nafsu kemudaannya. Ia gemar mabuk-mabukan, berkelahi, dan mencuri apa saja. Hingga akhirnya, kematian ayahnya, suamiku, berpengaruh juga untuk membuatnya berbenah diri.

“Setiap anak memang pernah melakukan kesalahan pada Ibunya, Nak. Tapi bagi seorang Ibu, tak ada balasan yang setimpal bagi kesalahan seorang anak selain maaf,” kataku, sambil menatap bola matanya yang memandangiku lekat-lekat. “Aku telah memaafkan semua kesalahanmu, Nak.”

Dia mengangguk. Tersenyum lagi.

Hening beberapa saat.

Aku kemudian melepas batuk beberapa kali, hingga bercak darah kembali tampak di lembaran tisu. Tiba-tiba, aku merasa sudah sangat dekat pada kematian. Dan sebelum segalanya terlambat, aku pun menuturkan apa yang beberapa hari belakangan telah kupertimbangkan dengan sangat matang.
“Ada sehamparan tanah atas nama Ibu di desa, Nak. Tanah itu dalah warisanku dari kakekmu dahulu,” kataku, lalu kembali melepas batuk darah. “Aku memutuskan untuk mewasiatkan itu sebagai milikmu, Nak.”

Ia tampak tercengang.

Aku pun menguatkan diri untuk melanjutkan penuturan wasiat di tengah keadaanku yang terasa semakin memburuk “Juga rumah ini, telah kuwasiatkan pula untuk menjadi milikmu,” tuturku, sambil mengesampingkan isu-isu miring dari beberapa orang tentang dirinya di kota.

Ia berusaha menyanggah, “Tapi, Bu, adilkah itu untuk saudara-saudaraku yang lain.”

“Ya, itu adil, Nak. Keadilan tidak berarti sama rata,” jawabku. “Terlebih lagi, kau adalah anak Ibu yang tidak lebih baik dalam soal ekonomi dibanding saudaramu yang lain. Apalagi, kau telah kehilangan pekerjaanmu demi mengurusku baik-baik. Malah, akan sangat tidak adil jika kau tidak menerimanya.” 

Ia berusaha menyanggah, “Tapi, Bu…”

“Kau tak boleh menolak, Nak. Kau memang berhak menerimanya,” kataku lagi, kemudian menyerahkan surat wasiat, juga surat-surat kepemilikan tanah dan bangunan. “Aku yakin, saudara-saudaramu akan setuju.”

Ia pun menyambut berkas sodoranku dengan raut wajah yang masih saja menyiratkan rasa keberatan. “Terima kasih, Bu,” pungkasnya.

Aku mengangguk sambil tersenyum.

Hari demi hari berganti. Keadaanku pun semakin memburuk, dan aku merasa telah berada di tubir kematian.

Namun, terjadilah apa yang tak pernah kutaksir sebelumnya. Seminggu setelah aku menyampaikan wasiat, Ludin malah menghilang entah ke mana, dan tak lagi mengunjungiku sekali pun, hingga bulan berganti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar