Selasa, 26 Februari 2019

Uang Pengganti

Seminggu berlalu sejak Rungka mulai bekerja dengan sangat giat. Setiap kali sepulang sekolah, ia gesit mengganti pakaian dan mengisi perut, kemudian bergegas menuju sepetak kebun peninggalan kedua orang tuanya. Sesampai di tanah penghidupannya itu, ia lekas memanjati pohon langsat setinggi hampir sepuluh meter tanpa rasa takut, kemudian memetik buah-buah yang masak. Hasil petikannya kemudian diturunkan, lalu dijual ke pengumpul buah dengan harga yang terbilang murah.

Rungka tak sendirian. Ia memiliki seorang kakak bernama Rion yang sedari dulu mendidiknya agar giat bekerja di kebun. Pasalnya, setelah kedua orang tua mereka meninggal dalam sebuah kecelakaan sepeda motor, Rion pun menjadi kepala sekaligus ibu rumah tangga. Rion serupa orang tuan pengganti bagi Rungka. Karena itu, Rungka tak pernah memprotes ketika kakaknya yang bertubuh gempal hanya menunggu buah langsang di bawah pohon, sedang ia harus menantang bahaya. Bagi Rungka, membuat sang kakak senang adalah sebuah kebanggaan.

Tapi semangat kerja Rungka yang menderu belakangan ini, tidaklah karena ketulusannya sendiri. Diam-diam, ia memendam keinginan untuk membeli sebuah sepatu baru. Sebuah tipe sepatu yang akan ia beli bukan untuk yang pertama kalinya, tetapi hanya untuk mengganti sepatu barunya yang telah hilang seminggu yang lalu. Sepatu yang baru ia kenakan selama dua minggu itu hilang ketika ia sedang menyusuri sungai untuk menjaring ikan sepulang sekolah, hingga ia mendapati sepatunya yang ditaruh di tepi sungai, raib entah ke mana.

Sebagai seorang adik yang diperlakukan layaknya anak, Rungka jelas tak mau membuat Rion marah karena mengetahui kabar buruk tentang hilangnya sepatu itu. Sebab bagi Rungka, sepatu barunya yang hilang adalah hasil pemberian dari sang kakak yang selama ini kuasa mengatur soal keuangan mereka berdua. Sedang kehilangan sepatu itu berarti kehilangan uang Rp. 80.000 yang harus mereka kais bersama-sama dengan berpeluh-peluh di sumber penghasilan yang tak menentu.

Setelah tujuh hari berlalu, sebenarnya hasil kerja Rungka sudah sangat cukup untuk membeli sepatu pengganti. Setiap hari, ia bisa menurunkan dua keranjang kecil buah langsang seharga Rp. 40.000. Itu berarti ia hanya butuh dua hari saja untuk memperoleh uang pengganti-pembeli sepatu baru. Namun perhitungannya tak sesederhana itu. Untuk sehari panen, Rungka hanya diberi uang jajan sebanyak Rp. 10.000, meski ia melakoni pekerjaan yang utama. Hasil lebihnya yang banyak, menjadi urusan sang kakak yang memang bertindak sebagai pengatur keuangan.

Selaku bendahara, tentu saja Rion senang melihat semangat kerja Rungka. Ia tak perlu lagi meninggikan nada suaranya agar Rungka beranjak ke kebun. Bahkan pernah dalam sehari, Rungka berangkat ke kebun seorang diri. Keadaan itu sungguh berbeda dibanding seminggu yang lalu. Saat itu, Rion harus bertindak tegas agar sang adik mau berangkat ke kebun ketika malas melandanya akibat godaan segala macam permainan. Hingga akhirnya, Rungka ogah-ogahan bekerja di kebun setelah permintaannya atas mobil dengan tombol kendali tak dipenuhi sang kakak. 

“Uang tabungan dari hasil kerjamu sepertinya sudah banyak. Apa kau hendak membeli mobi-mobil ber-remote seperti teman-temanmu yang lain?” tanya Rion, saat ia dan sang adik sedang duduk mengaso di bawah pohon langsat.

Rungka tersenyum kecut. “Aku sih mau, Kak. Tapi kupikir, akan lebih baik jika aku menggunakan uang penghasilanku untuk hal-hal yang lebih berguna,” katanya, lalu menyeka keringat di dahinya dengan punggung tangan. “Kalau beli mainan, aku takut malah jadi malas ke kebun.”

Rion tertawa pendek, seolah-oleh tergelitik mendengar penuturan adiknya yang terkesan sangat dewasa. “Jadi, hendak kau apakan uangmu itu?”

“Ya, biar aku tabung saja dulu untuk membeli hal-hal yang berguna nantinya, Kak, semacam perlengkapan sekolah,” katanya, lalu memunguti beberapa buah langsat yang besembunyi di sela-sela dedaunan, kemudian menyantapnya sendiri.

Hening sejenak.

Rion berdeham, kemudian bertanya, “Apa guru tak memarahimu lagi jika kau tak mengenakan sepatu ke sekolah?” tanyanya, lalu menoleh kepada sang adik. “Tadi kulihat kau pakai sandal saja ke sekolah.”

Rungka menggeleng-geleng. “Tidak apa-apa, Kak. Seorang guru yang kejam dan memarahiku karena tak mengenakan sepatu ke sekolah, telah pindah tugas ke sekolah yang lain.”

Rion tersenyum-mendengus. “Pantas saja kau tak mengenakan sepatumu lagi,” katanya, kemudian tertawa. “Sudah satu minggu sepatumu kusimpan di sela-sela susunan papan di bawah kolong rumah, tapi kau ternyata memang tak hendak menggunakannya lagi.”

Rungka seketika terkejut. “Jadi?”

“Jadi kenapa?” sergah Rion. “Kau melihatnya kan? Itu, di tempat biasa aku menaruh sepatu-sepatu agar tak dikencingi anjing dan kucing.”

Dengan ruat penuh keterkejutan, Rungka mengangguk-angguk. “Aku tahu, Kak.”

“Seminggu yang lalu, aku melihat sepatumu itu tergeletak di tepi sungai. Setelah menelisik ke sana-sini, aku tak melihat keberadaanmu. Jadi terpaksa, aku bawa pulang saja ke rumah,” terang Rion. “Kau benar-benar tak sedang mencarinya kan?”

Lagi-lagi, Rungka mengangguk-angguk. “Tidak, Kak. Aku melihatnya. Tapi aku memang tak berniat mengenakannya ke sekolah.”

Rion tertawa pendek.

Hening beberapa saat.

Langit tampak mendung. Mereka pun bergegas mengemas buah langsat panenan terakhir di musim ini, kemudian memboyongnya pulang ke rumah.

“Apa boleh aku membeli mobil-mobilan ber-remote seperti punya teman-temanku yang lain, Kak?” tanya Rungka, seperti memohon.

Rion tertawa, seolah-olah rencananya berhasil. “Tentu saja boleh. Itu sudah pantas sebagai bayaran untuk kerja kerasmu selama seminggu ini.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar