Kau
adalah perempuan yang tidak beruntung, dan aku adalah lelaki yang paling
tersiksa. Itu karena kita menikah, sedang aku tak benar-benar mencintaimu. Aku
hanya terus memaksa diriku untuk tampil sebagai seorang pencinta, dan kau
tampil seakan-akan merasa cukup dicintai. Tapi bisa kupastikan, kau tak benar-benar
merasa dicintai.
Kurasa,
tak mungkin ada kebahagiaan sejati selama kita tidak saling mencintai sepenuh
hati. Sebab bunga-bunga cinta yang menyenangkan, hanya tumbuh di hati yang
penuh ketulusan. Sedang aku tak akan bisa mencintaimu setulusnya. Sebagaimana
kau tahu, kita menikah hanya karena kesepakatan orang tua kita, di saat aku
berkabung ditinggal mati seorang wanita yang terlanjur mengisi relung hatiku.
Akhirnya,
sepanjang kebersamaan, kita pun menjalani hari-hari yang hampa. Kita seperti
dua makhluk asing dari alam yang berbeda, yang menolak untuk saling meleburkan
rasa karena sama-sama sadar akan mustahilnya sebuah penyatuan. Kita seolah
terpisah, meski berada di dalam satu ruang yang sama. Kita masih saling
mengucapkan selamat malam, meski tak ada hasrat yang menggebu untuk saling
berjumpa esok pagi.
Sepanjang
waktu kita yang penuh kehampaan, kurasa kita sama-sama tersiksa untuk terus mencoba
saling menghargai. Sesekali aku suka memuji bahwa sikapmu berbeda dari yang
lain, meski kurasa tak berkenan untukku. Memuji bahwa dandananmu pas untuk
dirimu sendiri, meski tak bisa kukatakan bahwa aku menyukainya.
Sebaliknya,
kau pun gemar memuji kemahiranku dalam menulis. Tapi pujian itu kurasa sama harganya
dengan pujian penggemarku yang lain. Biasa saja. Dan seperti yang mungkin kau
sadari, semua keadaan itu terjadi karena kehadiran seorang wanita yang terlanjur
merenggut segenap isi hatiku. Dia, yang telah menjadi pembanding tak sebanding
terhadapmu, bahwa kau tak lebih baik ketimbang dirinya, bagiku.
Sampai
akhirnya, tiga bulan lalu, kita sepakat untuk mengakhiri kebersamaan yang penuh
keterasingan. Kita sepakat untuk berpisah sementara waktu. Kau tetap tinggal di
rumah kita, dan aku beranjak ke satu rumah kita yang lain. Kita melakukan itu
dengan kerelaan masing-masing. Tak ada pertengkaran atau cekcok sedikit pun.
Dan
tepat hari ini, masa perpisahan kita pun berakhir. Tiga bulan yang kita
sepakati sebagai masa rihat untuk berdialog dengan diri kita masing-masing soal
arah hubungan kita sebaiknya, ternyata tak cukup bagiku untuk menetapkan jalan.
Seperti biasa, aku masih menganggapmu biasa saja, dan aku cuma ingin hubungan
kita seperti biasa. Hanya ada keinginanku mengetahui keadaanmu setelah lama tak
berbagi kabar. Sekadar ingin memastikan bahwa kau baik-baik saja. Serupa kekhawatiran
seorang sahabat baik pada seorang sahabatnya yang lain.
Sampai
waktu pun membawaku di ruang sendirimu untuk tiga bulan terakhir. Kuketuklah
daun pintu secara pelan-pelan, tanpa berharap kau segera menyibaknya dengan
prosesi penyambutan yang berlebihan. Inginku, cukuplah jika kau muncul layaknya
seorang teman, seperti biasa, yang kedatangannya tak terlalu mengejutkan, dan
kepergiannya tak terlalu mengkhawatirkan.
Akhirnya,
kau pun muncul dengan penampilan yang berbeda. Satu penampilan yang membenamkan
tampakan dirimu sendiri di mataku. Penampilan yang mampu memunculkan gambaran imajinasiku
tentang sosok kekasihku di masa lalu. Jaket putih dan rok panjang bermotif
bunga yang membalut tubuhmu, sungguh mengenangkanku padanya. Rambutmu yang dibuat
sedikit berombak, alismu yang tercorak hitam-tebal, dan bibirmu yang merah, begitu
membuatku tergugah.
Sembari
melayangkan senyuman yang menawan, kau pun lekas bertanya dengan nada suara
yang menyenangkan, seperti suara kekasihku dahulu, “Bagaimana kabarmu?”
Aku
lekas menyadarkan diri dari lamunan, kemudian merespons, “Baik-baik saja,” balasku,
dengan perasaan yang masih takjub. “Kau sendiri bagaimana?”
“Aku
baik-baik saja,” jawabmu, dengan senyuman yang tampak manis.
Kau
lalu memutar badan, kemudian berjalan ke satu arah.
Tanpa
harus kau minta, aku mengikutimu dari sisi belakang. Hingga kita duduk berdua, saling
berhadapan, di antara sebuah meja, di sekeliling bunga-bunga yang berhasil kau
rawat dengan baik, di taman belakang rumah kita.
“Minumlah!”
tawarmu, sambil menuangkan teh-susu hangat kesukaanku.
Aku
lalu meneguk suguhanmu. Dan kurasa, kau membuatnya dengan takaran yang sangat pas,
seperti yang kusesap dahulu. “Sempurna!” pujiku, dengan sejujur-jujurnya
pujian.
Kau
tampak tersipu.
Hening
beberapa saat. Kau tak bertanya, dan aku hanya terus menyesap minuman, sembari
memandangi wajahmu dengan latar bunga berwarna-warni.
Kau
terlihat tak sabar menunggu tanya dariku, hingga kau kembali bertanya, “Apakah
kita harus melanjutkan perpisahan?”
Aku
menghela-embuskan napas yang panjang. Meneguhkan pandangan baruku atas dirimu
saat ini. “Bolehkah kita memulainya dari awal?”
Dahimu
mengernyit. Seperti menuntut kejelasan. “Makudnya?”
“Aku
ingin kita menganggap ini sebagai pertemuan kita yang pertama,” terangku,
sambil memandang bola matamu yang pemalu. “Aku ingin masa kehampaan yang telah
berlalu di antara kita, menjadi perihal yang tak perlu kita ingat-ingat lagi.”
Kau
mengangguk pelan, tanpa berkata apa-apa. Dan aku tafsir itu sebagi satu
kesepakatan.
“Jadi
bolehkah aku mengucapkan sebuah kalimat kepadamu? Sebuah kalimat yang barangkali
tak berlebihan untuk merangkum seluruh bentuk perasaanku padamu saat ini?”
Kau
kembali mengangguk. Matamu berbinar-binar.
“Aku
mencintaimu!” kataku, sambil menggenggam tanganmu, di kala aku melihat dirinya
pada dirimu.
Kau
pun mengangis bahagia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar