Kamis, 31 Januari 2019

Rencana Perpisahan

Kau adalah perempuan yang tidak beruntung, dan aku adalah lelaki yang paling tersiksa. Itu karena kita menikah, sedang aku tak benar-benar mencintaimu. Aku hanya terus memaksa diriku untuk tampil sebagai seorang pencinta, dan kau tampil seakan-akan merasa cukup dicintai. Tapi bisa kupastikan, kau tak benar-benar merasa dicintai.
 
Kurasa, tak mungkin ada kebahagiaan sejati selama kita tidak saling mencintai sepenuh hati. Sebab bunga-bunga cinta yang menyenangkan, hanya tumbuh di hati yang penuh ketulusan. Sedang aku tak akan bisa mencintaimu setulusnya. Sebagaimana kau tahu, kita menikah hanya karena kesepakatan orang tua kita, di saat aku berkabung ditinggal mati seorang wanita yang terlanjur mengisi relung hatiku.

Akhirnya, sepanjang kebersamaan, kita pun menjalani hari-hari yang hampa. Kita seperti dua makhluk asing dari alam yang berbeda, yang menolak untuk saling meleburkan rasa karena sama-sama sadar akan mustahilnya sebuah penyatuan. Kita seolah terpisah, meski berada di dalam satu ruang yang sama. Kita masih saling mengucapkan selamat malam, meski tak ada hasrat yang menggebu untuk saling berjumpa esok pagi.

Sepanjang waktu kita yang penuh kehampaan, kurasa kita sama-sama tersiksa untuk terus mencoba saling menghargai. Sesekali aku suka memuji bahwa sikapmu berbeda dari yang lain, meski kurasa tak berkenan untukku. Memuji bahwa dandananmu pas untuk dirimu sendiri, meski tak bisa kukatakan bahwa aku menyukainya. 

Sebaliknya, kau pun gemar memuji kemahiranku dalam menulis. Tapi pujian itu kurasa sama harganya dengan pujian penggemarku yang lain. Biasa saja. Dan seperti yang mungkin kau sadari, semua keadaan itu terjadi karena kehadiran seorang wanita yang terlanjur merenggut segenap isi hatiku. Dia, yang telah menjadi pembanding tak sebanding terhadapmu, bahwa kau tak lebih baik ketimbang dirinya, bagiku. 

Sampai akhirnya, tiga bulan lalu, kita sepakat untuk mengakhiri kebersamaan yang penuh keterasingan. Kita sepakat untuk berpisah sementara waktu. Kau tetap tinggal di rumah kita, dan aku beranjak ke satu rumah kita yang lain. Kita melakukan itu dengan kerelaan masing-masing. Tak ada pertengkaran atau cekcok sedikit pun.

Dan tepat hari ini, masa perpisahan kita pun berakhir. Tiga bulan yang kita sepakati sebagai masa rihat untuk berdialog dengan diri kita masing-masing soal arah hubungan kita sebaiknya, ternyata tak cukup bagiku untuk menetapkan jalan. Seperti biasa, aku masih menganggapmu biasa saja, dan aku cuma ingin hubungan kita seperti biasa. Hanya ada keinginanku mengetahui keadaanmu setelah lama tak berbagi kabar. Sekadar ingin memastikan bahwa kau baik-baik saja. Serupa kekhawatiran seorang sahabat baik pada seorang sahabatnya yang lain. 

Sampai waktu pun membawaku di ruang sendirimu untuk tiga bulan terakhir. Kuketuklah daun pintu secara pelan-pelan, tanpa berharap kau segera menyibaknya dengan prosesi penyambutan yang berlebihan. Inginku, cukuplah jika kau muncul layaknya seorang teman, seperti biasa, yang kedatangannya tak terlalu mengejutkan, dan kepergiannya tak terlalu mengkhawatirkan.

Akhirnya, kau pun muncul dengan penampilan yang berbeda. Satu penampilan yang membenamkan tampakan dirimu sendiri di mataku. Penampilan yang mampu memunculkan gambaran imajinasiku tentang sosok kekasihku di masa lalu. Jaket putih dan rok panjang bermotif bunga yang membalut tubuhmu, sungguh mengenangkanku padanya. Rambutmu yang dibuat sedikit berombak, alismu yang tercorak hitam-tebal, dan bibirmu yang merah, begitu membuatku tergugah.

Sembari melayangkan senyuman yang menawan, kau pun lekas bertanya dengan nada suara yang menyenangkan, seperti suara kekasihku dahulu, “Bagaimana kabarmu?”

Aku lekas menyadarkan diri dari lamunan, kemudian merespons, “Baik-baik saja,” balasku, dengan perasaan yang masih takjub. “Kau sendiri bagaimana?”

“Aku baik-baik saja,” jawabmu, dengan senyuman yang tampak manis.

Kau lalu memutar badan, kemudian berjalan ke satu arah.

Tanpa harus kau minta, aku mengikutimu dari sisi belakang. Hingga kita duduk berdua, saling berhadapan, di antara sebuah meja, di sekeliling bunga-bunga yang berhasil kau rawat dengan baik, di taman belakang rumah kita.

“Minumlah!” tawarmu, sambil menuangkan teh-susu hangat kesukaanku.

Aku lalu meneguk suguhanmu. Dan kurasa, kau membuatnya dengan takaran yang sangat pas, seperti yang kusesap dahulu. “Sempurna!” pujiku, dengan sejujur-jujurnya pujian.

Kau tampak tersipu.

Hening beberapa saat. Kau tak bertanya, dan aku hanya terus menyesap minuman, sembari memandangi wajahmu dengan latar bunga berwarna-warni.

Kau terlihat tak sabar menunggu tanya dariku, hingga kau kembali bertanya, “Apakah kita harus melanjutkan perpisahan?”

Aku menghela-embuskan napas yang panjang. Meneguhkan pandangan baruku atas dirimu saat ini. “Bolehkah kita memulainya dari awal?”

Dahimu mengernyit. Seperti menuntut kejelasan. “Makudnya?”

“Aku ingin kita menganggap ini sebagai pertemuan kita yang pertama,” terangku, sambil memandang bola matamu yang pemalu. “Aku ingin masa kehampaan yang telah berlalu di antara kita, menjadi perihal yang tak perlu kita ingat-ingat lagi.”

Kau mengangguk pelan, tanpa berkata apa-apa. Dan aku tafsir itu sebagi satu kesepakatan.

“Jadi bolehkah aku mengucapkan sebuah kalimat kepadamu? Sebuah kalimat yang barangkali tak berlebihan untuk merangkum seluruh bentuk perasaanku padamu saat ini?”

Kau kembali mengangguk. Matamu berbinar-binar.

“Aku mencintaimu!” kataku, sambil menggenggam tanganmu, di kala aku melihat dirinya pada dirimu.

Kau pun mengangis bahagia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar