Kamis, 31 Januari 2019

Sarapan Jiwa

Pagi cerah di awal bulan. Seolah-olah alam menyampaikan ucapan selamat berbahagia. Sedang kuawali hari dengan penuh kebugaran, dan gaji bulanan dari perusahaan telah kuterima. Sebuah keadaan yang sempurna untuk menyenang-nyenangkan diri. Mungkin dengan melancong ke tempat-tempat hiburan, atau mengadakan sebuah pesta bersama keluarga atau teman-teman terdekat.
 
Dan pagi ini, aku akan memulai kesenangan dengan menyantap hidangan di sebuah warung favoritku sedari dulu. Aku selalu mampir di sana setiap kali istriku tak sempat menyediakan sarapan. Barangkali sajiannya tak semewah restoran, tapi lidahku telah terbiasa dengan cita rasanya. Terutama ayam bakar dengan sambal tradisional spesial. Sebuah menu andalan yang selama ini senantiasa kupesan.

Tak cukup lima menit mengendarai sepeda motor, aku akhirnya sampai. Para pelayan pun menyambutku dengan senyuman, seolah aku adalah pelanggan setia yang tak boleh dikecewakan. Dan seperti biasa, tanpa perlu kuuraikan soal menu dan porsi pesananku, pelayan pun tahu seleraku di awal-awal bulan. Aku hanya perlu memilih tempat duduk dan menunggu pesananku datang dalam beberapa waktu.

Dan lagi-lagi, aku kembali melihat seorang kakek tua yang juga memfavoritkan warung andalanku. Seorang kakek berkulit hitam legam yang setia dengan tampilan yang memprihatinkan. Kemeja kelabu berlengan panjangnya terhias noda di sana-sini. Celana kain hitam-polos, topi koboi, dan sepatu lars yang ia kenakan, juga tampak kusut dan kumal.

Namun tentu saja, di tengah kesuksesan, aku tetap saja terbiasa dengan orang-orang biasa sepertinya. Sebagai anak kampung dari daerah terpencil, aku sudah terbiasa mengenakan dan menyaksikan penampilan semacam itu di masa dahulu, sebagaimana lazimnya warga kampung yang hidup sebagai petani dan bekerja hanya dengan pakaian compang-camping, tanpa pakaian dinas yang menawan.

Atas penampilan si kakek, aku kembali teringat pada keluargaku di kampung yang bekerja keras sebagai petani untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Kurasa mereka sama-sama menjalani kehidupan yang pelik, meski hidup dalam dunia yang berbeda, antara kota dan kampung. Paling tidak, mereka sama-sama mengais rezeki dengan mengandalkan kekuatan raganya di bawah terpaan terik matahari.

Akhirnya, rasa ibaku tergugah. Aku kembali menginsafi dan meresapi nilai perjuangan hidup yang keras. Maka kuhampirilah tempat duduk sang kakek untuk menyantap hidangan di satu meja yang sama. Dan tentu saja, aku punya rencana untuk menyisihkan sedikit penghasilan untuk melunasi tagihan makanan kakek kali ini. 

“Boleh duduk di sini, Kek?” tanyaku dengan sikap sesantun-santunnya.

“Ya! Silakan, Nak!” katanya, sambil merekahkan senyuman yang menampakkan gigi serinya yang masih bertahan.

Aku pun duduk dengan perasaan kikuk. Sedikit merasa aneh, sebab selama ini kami adalah dua orang di antara pelanggan setia, namun baru kali ini kami duduk di satu meja yang sama.
“Pagi yang cerah, Kek,” kataku, berbasa-basi.

Ia mengangguk-angguk sambil mengunyah hidangannya yang sederhana. “Ya. Keadaan yang baik pagi para pekerja kantor seperti kamu, Nak. Bisa ke kantor tanpa harus kehujanan.”

“Ya. Mudah-mudahan cuaca tak berubah seketika, seperti kemarin-kemarin,” kataku, sekenanya. “Tapi Kakek lebih beruntung. Sepagi ini, kerjaan kakek sudah selesai dan sisa pulang ke rumah.”

Ia tertawa pendek. “Tapi aku kan mulai kerja subuh-subuh,” sanggahnya. “Ya, sama saja. Semua pekerjaan punya aturan. Semua ada susah dan senangnya. Sisa bagaimana kita memaknai. Tapi yang penting halal.”

Aku mengangguk-angguk mendengar kebijaksanaannya.

Sampai akhirnya, datanglah hidangan ayam bakar pesananku. Seketika dikumpulkan di atas meja antara aku dan sang kakek. Tersaji dengan tiga piring dan dua gelas. Dan tampaklah, pesananku memenuhi meja makan. Mengerubungi hidangan kakek yang hanya tersaji dengan satu piring dan satu gelas. Hanya sepiring nasi-tempe-kangkung dan segelas air putih. Sebuah hidangan sederhana yang difavoritkan sang kakek sepanjang pengamatanku.

“Mari, makan, Kek,” kataku, bermaksud mengucap permisi. Aku lalu menyodorkan sebakul nasi dan sepiring tempe yang kupesan belakangan “Silahkan tambah, Kek.”

“Ya. Terima kasih,” katanya, sambil tersenyum, kemudian menyendok nasi dan mengambil dua potongan tempe. “Bersyukurlah kita, Nak. Kita masih bisa makan enak hari ini.”

Aku menoleh padanya. “Bapak benar,” ucapku, kemudian mengucapkan sebuah candaan. “Bagi kami pekerja kantoran, awal bulan memang masa makan enak yang patut disyukuri, Kek. Tapi di akhir bulan, selera makanan harus menyesuaikan dan harus banyak bersabar.”
Ia mengangguk-angguk.

“Belum lagi sekarang item-item pengeluaran uang semakin banyak dengan tagihan yang membengkak, Kek. Biaya listrik untuk segala macam barang elektronik, biaya transportasi, biaya pulsa, dan segala macam yang lain,” kataku lagi. ”Belum ditambah biaya jalan-jalan dan hiburan untuk keluarga yang tentu saja sudah menjadi kebutuhan di tengah suasana kota yang menggerahkan ini,” tambahku, sesuai dengan pengalamanku sendiri. “Dengan semua pengeluaran itu, gaji bulananku belumlah cukup, Kek.”

“Tapi tidak begitu juga, Nak,” timpal kakek, lalu meneguk segelas air putihnya sekali. “Yang membuat kita merasa kurang soal pendapatan, barangkali adalah pengeluaran kita yang berlebihan. Seberapa besar pun gaji kita, tapi kalau lubang-lubang pengeluaran kita lebih besar, ya pasti kurang,” katanya, sambil menatapku dengan bola matanya yang kelam. 

Aku menganggukkan saja pernyataannya, sembari terus mengunyah makanan.

Ia kembali melanjutkan, “Ya, kalau keinginan kita sebagai manusia tak dikontrol, pastilah kita selalu merasa kurang dan kesusahan. Tapi kalau yang ingin kita penuhi hanyalah kebutuhan kita saja, ya, kukira, pekerja kantor sepertimu malah punya gaji yang berlebih,” katanya lagi. “Nafsu itu memang tak bisa terpuaskan, Nak. Makanya, kita harus cerdas mengontrol diri.”

Aku meneguk air putih sekali, kemudian menuturkan ketidaksepahamanku, “Tapi kehidupan memang sudah berubah, Kek. Sesuatu yang dulu dianggap keinginan atau kebutuhan sekunder, mungkin telah menjadi kebutuhan primer. Telepon genggam dan kendaraan, misalnya. Kurasa, itu sudah menjadi kebutuhan sekarang.”

Ia lekas merespons, “Kamu benar, Nak,” katanya. “Aku juga punya telepon genggam. Tapi yang sederhana saja. Yang penting bisa teleponan. Aku juga punya sepeda motor, tapi yang sederhana saja. Yang penting bisa berjalan.” Ia kemudian memandangiku dengan raut wajah yang serius. “Yang berlebihan dan melampaui kebutuhan dalam soal itu adalah gengsi yang lahir dari nafsu duniawi. Lihatlah sekarang, beberapa orang malu menggunakan telepon genggam yang bukan dari merek tertentu. Beberapa orang malu berkendara di tengah kota dengan motor tua dan jadul. Padahal, terlepas dari soal gengsi, benda beda merek dan masa itu tetap saja memiliki fungsi yang sama.”

Tiba-tiba, aku kesulitan menemukan sanggahan dan malah mengungkapkan sebuah kesepahaman, “Barangkali Kakek benar soal itu.”

Ia tersenyum. “Sekarang itu, orang merasa miskin bukan karena penghasilannya tidak cukup, tapi karena mereka boros,” tuturnya lagi. “Barangkali di zaman yang penuh hura-hura ini, ada beberapa orang yang sebenarnya kaya, Nak, hanya saja hati mereka miskin.”

Batinku merasa tersinggung. Seketika, aku menggugat diriku sendiri. Aku tiba-tiba merasa bak seorang murid bagi sang kakek. Maka kutanyakan saja sekalian soal inti pandangan sang kakek tentang nilai kekayaan, “Lalu, siapa yang patut dikatakan sebagai orang kaya menurut Kakek.”

Ia meneguk segelas air putihnya sampai tandas, kemudian membersihkan tangan kanannya di kobokan. “Orang kaya itu, Nak, bukan mereka yang menerima, tapi mereka yang memberi. Orang kaya adalah mereka yang selalu merasa berlebih, sampai mereka kuasa mencukupkan kekurangan orang lain melalui jalan sedekah. Siapa yang tahu soal itu? Ya, tentu diri kita sendiri,” katanya, dengan penuh keseriusan. “Kalau setiap hari kita hanya sibuk mencari harta untuk kepentingan diri kita sendiri, dan masih saja merasa kekurangan, kurasa, itu berarti kita masih miskin.”

Aku mengangguk saja. Tak lagi sanggup membalas atau sekadar bertanya. Seolah aku baru saja mendapatkan pelajaran makna yang berguna untuk jiwaku.

Hening sejenak.

Beberapa saat kemudian, sang kakek mengucapkan kalimat perpisahan, “Barangkali, saya pamit lebih dulu, Nak.”

Aku kembali menawarkan makanan yang masih tersisa di atas meja, “Tidakkah Kakek mau tambah makanan lagi?”

Ia menggeleng. “Aku sudah kenyang, Nak. Dan itu wajar, sebab aku makan lebih dulu darimu.”

Aku melayangkan senyuman, “Baiklah, Kek,” kataku, lalu teringat pada niat awalku, “Tapi izinkanlah aku mentraktir Kakek hari ini!”

Ia kembali menggeleng. “Tak usah, Nak. Biar aku saja.” 

Untuk sesuatu yang terlanjur kuniatkan, aku mencoba memaksa, “Tapi, Kek…”

“Biar aku saja!” timpalnya seketika, sambil tersenyum, kemudian melangkah dan berhenti sejenak di depan kasir, lalu beranjak pergi.

Lekas, aku menandaskan makanan di piringku. Selepas itu, aku merasa sangat kenyang.

Tapi kali ini, aku merasa tak betah duduk berlama-lama untuk menetralkan isi perutku. Segera saja aku melangkah ke kasir untuk menyelesaikan tagihan makananku.

Dan kuderngarlah keterangan dari sang kasir, “Tagihan makanan Bapak sudah dibayar Kakek Syukur,” katanya.

Seketika, aku merasa menjadi orang paling miskin di dunia.

Sambil menenangkan perasaan yang berkecamuk, aku pun melangkah keluar warung dengan sebuah keinsafan yang baru tentang makna hidup.

Dan kurasa, telepon genggam di dalam saku celanaku bergetar. Kucek, hingga kubacalah sebuah pesan singkat dari istriku: Hari ini, Papi cepat pulang ke rumah, ya. Sore nanti, temani Mami belanja ke toko. Kita perlu mengganti AC dengan merek keluaran baru yang lebih tahan lama. Mesin cuci juga perlu diganti dengan merek yang lebih hemat air. Terus, Dian, katanya minta dibelikan HP baru yang lebih canggih. Rami juga, dia minta dibelikan perangkat play station terkini. Nanti aku cari tahu lagi barang-barang yang perlu kita beli.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar