Kamis, 31 Januari 2019

Roda Kenangan

Hujan sedang turun. Menghapus jejak-jejak langkah yang seketika berubah jadi kenangan. Seperti juga jejak kita yang berserakan di setiap sisi jalan kota ini. Masih kukenang jelas tentang semua itu. Tentang setiap titik yang kita jejaki sebagai dua orang sahabat dekat yang suka saling berbagi. Hanya tentang adegan senda-gurau, tanpa ada keseriusan berlebih.
 
Entah bagaimana pendapatmu tentang masa depan kita. Soal adakah rasa di hatimu untuk menjadi kekasihku, aku tak tahu. Aku tak pernah bertanya, dan kau tak pernah menyatakannya saja. Hingga ketidakjelasan itu masih membuatku berharap pada penyatuan cinta kita. Masih berharap bahwa kau belum menjadi milik siapa-siapa, dan aku punya kesempatan memilikimu.

Kini, aku terus saja mengulur-menggulung arah jejak kita, seperti orang gila. Datang ke satu titik ke titik yang lain, hanya untuk menghidupkan bayang-bayang kita yang terkubur waktu. Dan di sinilah aku, di tepi jalan bandara, di sekitar bekas kakimu yang terakhir kalinya sebelum beranjak ke kota seberang. Di sinilah aku, mendoakan segala ketidakmungkinan menjadi kemungkinan.

Dan ketika akal sehatku memandu, kupikir juga untuk berhenti mengenang masa lalu di sini, kemudian pergi ke tempat yang lain untuk mengukir kenangan baru yang akan menutupi kenangan kita. Sesekali pula kupikir untuk mencari pekerjaan lain, dan berhenti jadi seorang pengemudi taksi, sehingga aku tak harus mengulang-ulang adegan kenangan yang sama.

Tapi nyatanya, aku tak bisa beralih dan malah terus meyakinkan diri bahwa kebiasaan bodohku itu memang wajar bagi seorang pendamba. Bahwa memang setiap orang hidup dalam dimensi kenangan, kenyataan, dan harapan. Bahwa aku boleh saja terperangkap di masa lalu bersamamu, tapi aku harus hidup untuk kenyataan di hari ini dan esok. Aku butuh rezeki untuk tetap hidup, meski hanya untuk mengenang.

Sampai akhirnya, kesabaranku kembali berbuah keberuntungan. Seseorang lelaki paruh baya melambaikan tangan ke arah mobilku, dan aku pun bergegas menghampirinya sambil menyetel radio untuk menciptakan suasana yang nyaman, atau untuk sekadar menutupi keheningan di antara penghuni mobil yang seringkali terjadi. 

Di bawah hujan yang deras, ia pun segera masuk dan duduk di sisi depan mobil, di sampingku. Sedang seorang wanita yang menyusul masuk ke mobil, duduk di bangku tengah seorang diri.

“Jl. Pasar Raya, Blok. IV, No. 12, Pak!” terang sang lelaki.

Seketika, berkas kenanganku kembali tersibak. Aku tak asing dengan titik rumah yang akan kami tuju. Terlalu sering aku berkunjung ke sana dahulu, ke rumahmu. Mungkin untuk saling berbagi tentang apa saja, atau menjemputmu menuju ke suatu tempat.

Dengan perasaan berdebar, kutiliklah sang perempuan di sisi belakangku. Tapi lekas ia memalingkan wajah ke arah samping, ke kaca jendela. Namun aku tak sedikit pun lupa detail wajah itu dari segala sisi. Dan kuyakini sudah, aku telah terjebak dalam kondisi yang tak kuinginkan. Dia adalah kau, seorang perempuan yang masih kuharapkan menjadi pendamping hidupku, kini hadir bersama seseorang lelaki yang mungkin telah menghancurkan angan-anganku tentang kita.

“Sudah lama jadi pengemudi taksi, Pak?” tanya sang lelaki yang mungkin merasa terasing setelah sedari tadi aku tak memulai pembicaraan.

“Ya. Sudah hampir tiga tahun,” balasku, seadanya.

Hening beberapa saat.

Aku lalu memikirkan pertanyaan yang sopan untuk seorang penumpang. Bagaimana pun juga, aku harus bersikap professional dan tak boleh mendahulukan perasaan diri sendiri dalam urusan pekerjaan. “Ada urusan yang mungkin sangat penting, sampai Bapak harus buru-buru di tengah hujan deras begini?”

Dia lalu mengungkapkan jawaban yang kurasa sangat menyakitkan, “Anakku sakit,” tuturnya, “Ya, mungkin karena dia masih kurang becus mengurus dirinya sendiri. Atau mungkin juga dia hanya rindu.” Ia lalu menoleh padaku sejenak. “Kami, orang tuanya, kini menetap di kota seberang karena urusan pekerjaan. Ia hanya diurus neneknya seorang diri.”

Aku benar-benar merasa kecewa mendengar keterangan itu. Tapi dengan keteguhan hati, aku tetap berusaha merepons. “Memang lebih baik kalau anak-anak tinggal bersama orang tuanya, Pak. Hidup terpisah di antara orang terkasih, tentu tidak baik.”

“Itu benar. Kami pun memiliki rencana demikian. Aku pun tengah mengurus perpindahan tempat kerja ke sini, juga mengurus perpindahan segala macam usaha kami dari kota seberang, demi anak,” katanya, kemudian menyinggung tentang diriku, “Bapak sendiri tentu merasa lebih tenang berada di kota ini. Tak harus jauh dari anak-anak.”

Aku melepaskan tawa pendek. “Tidak juga, Pak. Sopir taksir kan harus keseringan berada di luar rumah,” sanggahku. “Tapi beruntung, aku memang belum punya anak.”

Ia segera menanggapi dan berusaha membesarkan hatiku, “Mungkin belum waktunya. Kami juga harus menunggu tiga tahun untuk mendapatkan momongan. Itu memang butuh kesabaran.”

“Aku memang belum beristri, Pak,” kataku.

Seketika, ia tertawa lepas. “Oh, maaf,” katanya, kemudian menelisik, “Tapi kenapa belum menikah?”

“Ya, mungkin karena belum bertemu jodoh, Pak,” melasku, sambil mencoba melirik ke kaca tengah untuk melihat reaksimu yang ternyata masih saja tak acuh.

Ia berdecak-decak. Seperti tidak membenarkan alasanku.“Ah, itu alasan klise, Pak. Orang-orang selalu saja memanfaatkan istilah ‘bukan jodoh’ untuk seseorang yang tidak ia dapatkan, padahal ia memang tak mengusahakannya secara sungguh-sungguh.”

“Banyak laki-laki yang sengaja melepaskan kesempatan untuk mendapatkan jodohnya. Padahal itu kan butuh keberanian saja. Lamarlah seseorang seorang kalau memang punya perasaan!” tegas katamu, membenarkan ucapan suamimu sendiri.

Seketika, aku mengangguk bodoh dan tersenyum kecut. Aku benar-benar terenyuh dan menyesali diri mendengar pernyataan darimu. Seakan-akan kau hendak mengatakan bahwa kita tak bersama sebab aku telah menggantungkan hubungan kita begitu lama demi memapankan diri untuk menjadi calon pendamping hidupmu yang baik. Dan mungkin itu memang benar.

“Aku yakin orang tampan seperti Bapak belum menikah bukan karena belum ketemu calon jodoh, tapi karena telah menggantungkan atau melewatkannya,” kata suamimu lagi. “Kalau merasa saling cocok dan punya tekad yang kuat untuk saling menopang di dalam membangun rumah tangga, sebaiknya, langsung menikah saja, Pak. Kalau terlambat, penyesalanlah yang akan datang.”

Aku menyunggingkan senyuman terpaksa. “Tapi kalau pun vonis Bapak itu benar, bagiku, yang penting adalah soal alasan seseorang melewatkan jodoh. Maksudku, ketika seseorang menunda pernikahan karena merasa belum mapan, ya kukira itu lebih baik, daripada memaksakan pernikahan dan malah hidup dalam rumah tangga yang penuh ketidakbahagiaan,” sanggahku berdasarkan pengalaman hidupku sendiri terhadapmu. “Barangkali Bapak yakin untuk menikah karena keadaan Bapak memang sudah mapan. Dan kurasa, aku memang belum mapan untuk menjadi seorang suami.”

Seketika, suamimu menggeleng. “Ah, itu alasan kuno, Pak. Aku malah menikah saat pekerjaanku belum menentu. Aku baru diterima sebagai pegawai di sebuah perusahaan swasta setelah menikah. Usaha perdagangan juga baru kurintis setelah menikah. Sungguh, aku menikahi dia,” ia lalu menoleh sejenak ke arahmu, “tanpa syarat-syarat kemapanan itu.” 

“Yang penting itu, kita punya rencana yang jelas tentang masa depan. Pelaksanaannya biarlah dilakukan bersama-sama setelah menikah. Sebab untuk menikah, seorang laki-laki hanya perlu meyakinkan seorang perempuan dan orang tuanya bahwa ia akan menjaga rumah tangganya dalam keadaan suka maupun duka. Kalau mereka telah bersepakat, ya berarti seorang lelaki dan perempuan telah saling menemukan jodohnya,” segahmu lagi.

Aku tersentak untuk kesekian kalinya. Aku merasa semakin bersalah.

“Kalau Bapak punya keinginan untuk segera menikah dan mengusahakannya baik-baik, ya pasti akan menikah. Tapi kalau memang tak ada kecekatan dan keseriusan, ya, apa boleh buat,” pungkas suamimu.

Aku mengangguk bodoh.

Tiba-tiba, radio mengalunkan lagu Raisa-Nostalgia. Sebuah kebetulan yang kurasa sangat menggalaukan.

Hingga tak berselang lama, aku pun menghentikan mobil tepat di depan rumah orang tuamu yang kutahu betul.

“Luar biasa! Bapak berhenti tepat di depan rumah yang kami tuju tanpa harus dituntun,” puji suamimu. “Bapak benar-benar sopir taksi yang berpengalaman.”

Aku tersenyum singkat dan berharap ia tak menduga lebih dari itu.

Segera saja kau turun dan bergegas pergi untuk menghindari terpaan hujan dan tatapanku.

“Terima kasih, Pak,” kata suamimu, sambil menyodorkan uang sewa yang berlebih. “Ambil saja kembaliannya.” 

“Terima kasih,” kataku.

Ia lalu turun dan mengucapkan sesuatu sebelum menutup pintu, “Menikahlah segera!”

Dengan hati yang tengah hancur-lebur, aku berusaha melayangkan senyuman terpaksa. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar