Hujan
sedang turun. Menghapus jejak-jejak langkah yang seketika berubah jadi
kenangan. Seperti juga jejak kita yang berserakan di setiap sisi jalan kota
ini. Masih kukenang jelas tentang semua itu. Tentang setiap titik yang kita
jejaki sebagai dua orang sahabat dekat yang suka saling berbagi. Hanya tentang
adegan senda-gurau, tanpa ada keseriusan berlebih.
Entah
bagaimana pendapatmu tentang masa depan kita. Soal adakah rasa di hatimu untuk
menjadi kekasihku, aku tak tahu. Aku tak pernah bertanya, dan kau tak pernah
menyatakannya saja. Hingga ketidakjelasan itu masih membuatku berharap pada penyatuan
cinta kita. Masih berharap bahwa kau belum menjadi milik siapa-siapa, dan aku punya
kesempatan memilikimu.
Kini,
aku terus saja mengulur-menggulung arah jejak kita, seperti orang gila. Datang
ke satu titik ke titik yang lain, hanya untuk menghidupkan bayang-bayang kita
yang terkubur waktu. Dan di sinilah aku, di tepi jalan bandara, di sekitar
bekas kakimu yang terakhir kalinya sebelum beranjak ke kota seberang. Di
sinilah aku, mendoakan segala ketidakmungkinan menjadi kemungkinan.
Dan
ketika akal sehatku memandu, kupikir juga untuk berhenti mengenang masa lalu di
sini, kemudian pergi ke tempat yang lain untuk mengukir kenangan baru yang akan
menutupi kenangan kita. Sesekali pula kupikir untuk mencari pekerjaan lain, dan
berhenti jadi seorang pengemudi taksi, sehingga aku tak harus mengulang-ulang
adegan kenangan yang sama.
Tapi
nyatanya, aku tak bisa beralih dan malah terus meyakinkan diri bahwa kebiasaan
bodohku itu memang wajar bagi seorang pendamba. Bahwa memang setiap orang hidup
dalam dimensi kenangan, kenyataan, dan harapan. Bahwa aku boleh saja
terperangkap di masa lalu bersamamu, tapi aku harus hidup untuk kenyataan di hari
ini dan esok. Aku butuh rezeki untuk tetap hidup, meski hanya untuk mengenang.
Sampai
akhirnya, kesabaranku kembali berbuah keberuntungan. Seseorang lelaki paruh
baya melambaikan tangan ke arah mobilku, dan aku pun bergegas menghampirinya
sambil menyetel radio untuk menciptakan suasana yang nyaman, atau untuk sekadar
menutupi keheningan di antara penghuni mobil yang seringkali terjadi.
Di
bawah hujan yang deras, ia pun segera masuk dan duduk di sisi depan mobil, di
sampingku. Sedang seorang wanita yang menyusul masuk ke mobil, duduk di bangku
tengah seorang diri.
“Jl.
Pasar Raya, Blok. IV, No. 12, Pak!” terang sang lelaki.
Seketika,
berkas kenanganku kembali tersibak. Aku tak asing dengan titik rumah yang akan
kami tuju. Terlalu sering aku berkunjung ke sana dahulu, ke rumahmu. Mungkin untuk
saling berbagi tentang apa saja, atau menjemputmu menuju ke suatu tempat.
Dengan
perasaan berdebar, kutiliklah sang perempuan di sisi belakangku. Tapi lekas ia memalingkan
wajah ke arah samping, ke kaca jendela. Namun aku tak sedikit pun lupa detail
wajah itu dari segala sisi. Dan kuyakini sudah, aku telah terjebak dalam kondisi
yang tak kuinginkan. Dia adalah kau, seorang perempuan yang masih kuharapkan
menjadi pendamping hidupku, kini hadir bersama seseorang lelaki yang mungkin
telah menghancurkan angan-anganku tentang kita.
“Sudah
lama jadi pengemudi taksi, Pak?” tanya sang lelaki yang mungkin merasa terasing
setelah sedari tadi aku tak memulai pembicaraan.
“Ya.
Sudah hampir tiga tahun,” balasku, seadanya.
Hening
beberapa saat.
Aku
lalu memikirkan pertanyaan yang sopan untuk seorang penumpang. Bagaimana pun juga,
aku harus bersikap professional dan tak boleh mendahulukan perasaan diri
sendiri dalam urusan pekerjaan. “Ada urusan yang mungkin sangat penting, sampai
Bapak harus buru-buru di tengah hujan deras begini?”
Dia
lalu mengungkapkan jawaban yang kurasa sangat menyakitkan, “Anakku sakit,”
tuturnya, “Ya, mungkin karena dia masih kurang becus mengurus dirinya sendiri. Atau
mungkin juga dia hanya rindu.” Ia lalu menoleh padaku sejenak. “Kami, orang
tuanya, kini menetap di kota seberang karena urusan pekerjaan. Ia hanya diurus
neneknya seorang diri.”
Aku
benar-benar merasa kecewa mendengar keterangan itu. Tapi dengan keteguhan hati,
aku tetap berusaha merepons. “Memang lebih baik kalau anak-anak tinggal bersama
orang tuanya, Pak. Hidup terpisah di antara orang terkasih, tentu tidak baik.”
“Itu
benar. Kami pun memiliki rencana demikian. Aku pun tengah mengurus perpindahan
tempat kerja ke sini, juga mengurus perpindahan segala macam usaha kami dari
kota seberang, demi anak,” katanya, kemudian menyinggung tentang diriku, “Bapak
sendiri tentu merasa lebih tenang berada di kota ini. Tak harus jauh dari
anak-anak.”
Aku
melepaskan tawa pendek. “Tidak juga, Pak. Sopir taksir kan harus keseringan
berada di luar rumah,” sanggahku. “Tapi beruntung, aku memang belum punya
anak.”
Ia
segera menanggapi dan berusaha membesarkan hatiku, “Mungkin belum waktunya.
Kami juga harus menunggu tiga tahun untuk mendapatkan momongan. Itu memang
butuh kesabaran.”
“Aku
memang belum beristri, Pak,” kataku.
Seketika, ia tertawa lepas. “Oh, maaf,”
katanya, kemudian menelisik, “Tapi kenapa belum menikah?”
“Ya,
mungkin karena belum bertemu jodoh, Pak,” melasku, sambil mencoba melirik ke
kaca tengah untuk melihat reaksimu yang ternyata masih saja tak acuh.
Ia
berdecak-decak. Seperti tidak membenarkan alasanku.“Ah, itu alasan klise, Pak. Orang-orang
selalu saja memanfaatkan istilah ‘bukan jodoh’ untuk seseorang yang tidak ia
dapatkan, padahal ia memang tak mengusahakannya secara sungguh-sungguh.”
“Banyak
laki-laki yang sengaja melepaskan kesempatan untuk mendapatkan jodohnya.
Padahal itu kan butuh keberanian saja. Lamarlah seseorang seorang kalau memang punya
perasaan!” tegas katamu, membenarkan ucapan suamimu sendiri.
Seketika,
aku mengangguk bodoh dan tersenyum kecut. Aku benar-benar terenyuh dan menyesali
diri mendengar pernyataan darimu. Seakan-akan kau hendak mengatakan bahwa kita
tak bersama sebab aku telah menggantungkan hubungan kita begitu lama demi
memapankan diri untuk menjadi calon pendamping hidupmu yang baik. Dan mungkin
itu memang benar.
“Aku
yakin orang tampan seperti Bapak belum menikah bukan karena belum ketemu calon jodoh,
tapi karena telah menggantungkan atau melewatkannya,” kata suamimu lagi. “Kalau
merasa saling cocok dan punya tekad yang kuat untuk saling menopang di dalam membangun
rumah tangga, sebaiknya, langsung menikah saja, Pak. Kalau terlambat, penyesalanlah
yang akan datang.”
Aku
menyunggingkan senyuman terpaksa. “Tapi kalau pun vonis Bapak itu benar, bagiku,
yang penting adalah soal alasan seseorang melewatkan jodoh. Maksudku, ketika
seseorang menunda pernikahan karena merasa belum mapan, ya kukira itu lebih
baik, daripada memaksakan pernikahan dan malah hidup dalam rumah tangga yang penuh
ketidakbahagiaan,” sanggahku berdasarkan pengalaman hidupku sendiri terhadapmu.
“Barangkali Bapak yakin untuk menikah karena keadaan Bapak memang sudah mapan.
Dan kurasa, aku memang belum mapan untuk menjadi seorang suami.”
Seketika,
suamimu menggeleng. “Ah, itu alasan kuno, Pak. Aku malah menikah saat
pekerjaanku belum menentu. Aku baru diterima sebagai pegawai di sebuah perusahaan
swasta setelah menikah. Usaha perdagangan juga baru kurintis setelah menikah.
Sungguh, aku menikahi dia,” ia lalu menoleh sejenak ke arahmu, “tanpa
syarat-syarat kemapanan itu.”
“Yang
penting itu, kita punya rencana yang jelas tentang masa depan. Pelaksanaannya
biarlah dilakukan bersama-sama setelah menikah. Sebab untuk menikah, seorang
laki-laki hanya perlu meyakinkan seorang perempuan dan orang tuanya bahwa ia
akan menjaga rumah tangganya dalam keadaan suka maupun duka. Kalau mereka telah
bersepakat, ya berarti seorang lelaki dan perempuan telah saling menemukan
jodohnya,” segahmu lagi.
Aku
tersentak untuk kesekian kalinya. Aku merasa semakin bersalah.
“Kalau
Bapak punya keinginan untuk segera menikah dan mengusahakannya baik-baik, ya
pasti akan menikah. Tapi kalau memang tak ada kecekatan dan keseriusan, ya, apa
boleh buat,” pungkas suamimu.
Aku
mengangguk bodoh.
Tiba-tiba,
radio mengalunkan lagu Raisa-Nostalgia. Sebuah kebetulan yang kurasa sangat
menggalaukan.
Hingga
tak berselang lama, aku pun menghentikan mobil tepat di depan rumah orang tuamu
yang kutahu betul.
“Luar
biasa! Bapak berhenti tepat di depan rumah yang kami tuju tanpa harus dituntun,”
puji suamimu. “Bapak benar-benar sopir taksi yang berpengalaman.”
Aku
tersenyum singkat dan berharap ia tak menduga lebih dari itu.
Segera
saja kau turun dan bergegas pergi untuk menghindari terpaan hujan dan tatapanku.
“Terima
kasih, Pak,” kata suamimu, sambil menyodorkan uang sewa yang berlebih. “Ambil
saja kembaliannya.”
“Terima
kasih,” kataku.
Ia
lalu turun dan mengucapkan sesuatu sebelum menutup pintu, “Menikahlah segera!”
Dengan
hati yang tengah hancur-lebur, aku berusaha melayangkan senyuman terpaksa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar