Kamis, 31 Januari 2019

Dongeng Pahlawan

Hari ini aku pulang dengan perasaan gembira. Telah kucapai cita-citaku dari tempat yang jauh. Sebuah kesuksesan yang akan kuceritakan sesampainya di rumah. Seberkas cerita menggembirakan yang akan kututurkan menyusul tanya-tanya yang akan menyerangku. Dan tentu saja Ibu akan sangat bahagia mendengar bahwasanya aku telah menjadi seperti yang ia inginkan.
 
Rindu pun terus memacu ketidaksabaranku untuk segera sampai. Jarak terasa semakin membentang seiring semakin mendekatnya aku pada titik keberadaan Ibu. Aku ingin segera melihat rupanya. Aku ingin menyaksikan betapa lamanya ia harus berjuang untuk menuntunku menjadi seorang yang berhasil. Dan akan kutegaskan terima kasih padanya, sebab seluruh tetesan keringat dan air matanya, telah berhasil menyemai masa depanku.

Memang, hanya pada Ibu seorang aku akan pulang. Ayah telah tiada saat Ibu masih mengandungku. Namun aku bisa hidup dengan mimpi besar, juga karena Ayah. Dari cerita Ibu tentangnya, aku tahu seperti apa dan bagaimana menjadi seorang lelaki sejati, seperti dirinya. Menjadi seorang pemberani yang membela kebenaran meski harus bertaruh nyawa. Menjadi pemberantas kejahatan, meski harus terbunuh.

Kini, aku telah berhasil menjadi seorang polisi sesuai dengan keinginan kedua orang tuaku. Sebagaimana juga kata Ibu, Ayah memang menginginkan aku menjadi seorang penegak kebenaran. Pun, cerita tentang keteguhan Ayah membela kebenaran telah menjadi motivasi terbesar bagiku untuk menjadi seorang polisi. Sosok Ayah seakan terus menyertai dan memberiku semangat hidup, meski aku tak sempat mengindrainya secara langsung. 

Aku selalu suka ketika Ibu menuturkan tentang kepahlawanan Ayah di masa kecilku dahulu. Kurasa seperti dongeng yang sangat memukau. Tentang Ayah yang tampil sebagai pemberantas kejahatan dengan tangannya sendiri kala orang-orang pasrah menjadi penakut demi nyawa. Tentang Ayah yang meninggal ditikam setelah bergumul dengan kawanan penjahat yang tega menganiaya dan mencuri harta milik seorang wanita tua di terminal. 

Sungguh bangga aku pada Ayah. Sosok yang dahulu, di masa kanak-kanak, suka kusombong-sombongkan di tengah teman-temanku yang lebih suka menjago-jagokan karakter pahlawan fiksi dibanding sosok ayah mereka sendiri. Aku cukup mengulang-ulang cerita kepahlawanan Ayah sebagaimana yang diceritakan Ibu kepadaku, sampai teman-temanku terkesima, meski tak sedikit di antara mereka yang gerah dan malah menjelek-jelekkan sosok Ayahku. 

Kuyakini sudah kebenaran perkataan Ibu bahwa tiada yang pantas ditinggalkan di dunia selain jasa dan nama baik untuk anak-cucu kelak. Setiap orang akan mati, tapi mereka yang berjasa baik akan terus hidup dalam kehidupan orang-orang. Mereka akan mengabadi sebagai teladan. Nama mereka akan dilafalkan orang-orang di dalam doa. Demikian pula aku memandang Ayah dan jasa baiknya. Ia, sosok terbaik yang dilahirkan Ibu dalam benakku, akan terus menyertaiku sepanjang hidup.

Dan saat ini, di sebuah terminal, kurangkai lagi gambaran tentang akhir hidup Ayah di dalam imajinasiku. Kuarahkan pandangan ke segala arah. Kutelisik setiap sudut. Kucipta dugaan tentang letak darah Ayah bercecer dan meresap setelah ditikam penjambret, sebagaimana cerita Ibu. Kuhirup udara pagi sambil berkhayal memeluk sukma Ayah, lalu kunyatakan padanya bahwa di sini hidupmu berakhir, dan di sini pula aku mengokohkan tekad untuk menjadi pemberantas kejahatan, sepertimu.

“Ya, beginilah. Kita harus menunggu,” kata seorang lelaki tua yang menghampiriku tanpa aba-aba di satu bangku terminal. Ia lalu duduk di samping kiriku.

Aku yang tengah merenung sambil menunggu sopir mobil tumpanganku mencari penumpang baru, jelas saja dibuat pulih dari lamunan. Aku pun menatapnya dengan penuh rasa penasaran. Setelah melayangkan senyuman singkat, kurespons ia sekenanya, “Ya, begitulah, Pak. Sekali-kali kita harus bersabar untuk melonggarkan rezeki orang lain,” kataku, kemudian melirik tato di pergelangan tangan kirinya yang tampak buram.

Ia kembali menoleh padaku sambil tersenyum. Setelah melepas batuk kering, ia lalu menuturkan taksirannya, “Aku menduga, Ananda ini seorang polisi. Benar?”

Sontak, aku tercengang menyaksikan kejeliannya. “Benar,” kataku. “Bapak tahu dari mana?”

“Dari pengalaman hidup, Nak. Aku bisa lihat dari penampilan fisik dan sikapmu,” terangnya, kemudian terkekeh sejenak. “Waktu masih muda, aku ini pendosa. Disuruh sekolah baik-baik di kota oleh orang tua, eh, aku malah menyeleweng.” Ia berhenti sejenak untuk membakar rokok di bibirnya dengan tangan kiri. “Dahulu, aku gemar mencuri, kemudian menggunakan hasilnya untuk perbuatan yang bejat pula. Karena itulah, aku terbiasa membaca situasi dan kondisi untuk memastikan bahwa tak ada aparat keamanan setiap kali aku beraksi.”

Aku menggangguk. Mengagumi keahliannya.

“Tapi syukurlah, umurku panjang, dan aku masih punya kesempatan untuk mengikis tumpukan dosa-dosaku,” katanya lagi. “Kamu beruntung, Nak. Kamu berhasil menapaki jalan untuk menjadi orang yang baik,” sambungnya, sambil menepuk-nepuk punggungku. Ia lalu berpesan, “Adililah jika kau menemui orang bejat seperti aku dahulu, sehingga mereka lekas pula jadi orang yang baik.” 

Aku melepas tawa. “Aku saja masih perlu untuk terus mengadili diriku sendiri, Pak. Aku masih muda, dan di depanku ada begitu banyak jebakan dan godaan. Aku masih harus belajar dari pengalaman,” balasku, berusaha menyesuaikan diri dengan ranah pembicaraannya. “Bapaklah yang mungkin lebih tahu tentang keadilan, tentang baik-buruknya budi, karena Bapak punya banyak pengalaman.”

Dia pun tertawa.

“Barangkali memang benar, Pak, kalau orang paling beruntung adalah orang yang mati di masa kanak-kanak, ketika mereka belum melakukan perbuatan buruk atas kesadaran mereka sendiri, dan mereka meninggal tanpa dosa,” kataku. “Tapi di umurku yang terlanjut dewasa ini, aku jelas telah melakukan banyak salah dan khilaf. Belum lagi jika umurku panjang.”

Ia menggeleng. “Tapi mereka yang mati di usia kanak-kanak, akan dilupakan. Mereka belum berhasil mengukir hitam-putih cerita hidupnya di dalam kehidupan,” sanggahnya. “Yang lebih beruntung adalah mereka yang mati di usia senja dan berhasil mengukir jasa-jasa baiknya dalam kehidupan. Kau masih punya harapan besar untuk merebut keberuntungan itu, asal kau teguh pada pendirian. Sedangkan aku telah menjadi seorang yang gagal.”

Seketika, aku kagum dengan cara berpikirnya.

Ia lalu menghisap dalam dan mengembuskan asap rokoknya yang panjang. “Tapi, yang lebih sial adalah mereka yang mati di usia tua saat ia tengah melakukan kejahatan. Semacam pencuri yang mati dimassa. Nahas!”

Lagi-lagi, aku terpukau pandangannya. “Kurasa, pendapat Bapak itu benar.”

“Lihat ini, Nak!” katanya, sambil memperlihatkan tangan kanannya yang puntung, yang sedari tadi tertutup jaket hitam yang ia selempang. 

“Apa yang terjadi?” tanyaku seketika.

“Ya, sebagaimana akhir hidup yang tragis bagi pencuri yang lain,” katanya, lalu mendongak, seperti terkenang pada masa lalunya. Ia lalu berkisah, “Dahulu, bersama seorang teman, aku menjambret seorang nenek. Tapi nahas, kami dikejar massa. Motor yang kukendarai selip dan terjatuh. Aku berhasil bangkit dan berlari menuju ke pos polisi, meninggalkan seorang teman yang akhirnya meninggal dikeroyok warga, tepat di sana, di sisi luar gerbang terminal itu.”

Aku lalu menoleh pada arah yang ditunjuknya, dan merasa ngeri.

“Sampai saat ini, aku terus mengenang temanku itu dengan penuh rasa bersalah,” akunya, dengan raut wajah yang sayu. “Sepintas, saat aku melihatmu, kau mengingatkanku padanya. Kau punya kemiripan wajah dengannya. Sama-sama tampan. Tapi tentu dengan nasib dan perilaku yang berbeda.”

Aku tertawa pendek atas singgungannya tentang diriku.

“Keadaan tanganku ini adalah akhir dari kedunguanku. Dan karena ini pulalah, aku benar-benar berhasil memaksa diri untuk berhenti mencuri,” jujurnya lagi. “Dan kukira, pertobatan yang paling rendah nilainya adalah tobat karena terpaksa.”

Aku sedikit terenyuh. “Yang penting Bapak telah berhasil kembali pada jalan yang benar. Tak ada kata terlambat dan jalan yang salah untuk menjadi orang baik.”

Ia tampak mengangguk. Lalu dengan tangan kiri yang cekatan, ia kembali mengenakan jaket hitamnya. “Aku harus bergegas. Mobil tumpanganku sepertinya sudah mau berangkat.”

“Tapi kita belum bertukar nama,” kataku sambil berdiri, berhadapan dengannya. “Namaku Arlian Sumingga. Panggil Lian saja, Pak,” terangku, lalu menarik kembali tangan kanan yang kuulurkan untuk berjabat.

“Sumingga?” selidiknya dengan wajah penuh keingintahuan. “Dan ibumu bernama Winarti?”

“Ya! Benar!” Seketika, aku jadi semakin heran atas kebenaran tebakannya. “Bapak tahu dari mana?”

Raut wajahnya berubah datar. “Dahulu, aku berteman baik dengan Ayahmu. Aku juga, mengenal baik Ibumu.”

Sontak, tanya-tanya pun bermunculan di benakku.

“Baiklah, aku harus pergi,” katanya, sambil menepuk lenganku dengan tangan kirinya. “Sampaikan salamku pada Ibumu. Sampaikan juga ucapan selamat dariku, sebab ia telah berhasil mendidik anaknya menjadi orang yang baik!”

Ia kemudian melangkah-menjauh dariku.

Aku hanya membisu.

“Oh, iya, namaku Sam Baril!” tuturnya. “Sampai jumpa!”

Lagi-lagi, aku hanya membisu.

Seketika, aku jadi semakin tak sabar bertemu Ibu. Bukan hanya untuk mengimpaskan rindu atau sekadar bertukar kisah selama perpisahan, tapi juga untuk menemukan jawaban atas pertanyaanku tentang pertautan kisah di antara mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar