Hari
ini aku pulang dengan perasaan gembira. Telah kucapai cita-citaku dari tempat
yang jauh. Sebuah kesuksesan yang akan kuceritakan sesampainya di rumah.
Seberkas cerita menggembirakan yang akan kututurkan menyusul tanya-tanya yang
akan menyerangku. Dan tentu saja Ibu akan sangat bahagia mendengar bahwasanya aku
telah menjadi seperti yang ia inginkan.
Rindu
pun terus memacu ketidaksabaranku untuk segera sampai. Jarak terasa semakin
membentang seiring semakin mendekatnya aku pada titik keberadaan Ibu. Aku ingin
segera melihat rupanya. Aku ingin menyaksikan betapa lamanya ia harus berjuang
untuk menuntunku menjadi seorang yang berhasil. Dan akan kutegaskan terima
kasih padanya, sebab seluruh tetesan keringat dan air matanya, telah berhasil menyemai
masa depanku.
Memang,
hanya pada Ibu seorang aku akan pulang. Ayah telah tiada saat Ibu masih
mengandungku. Namun aku bisa hidup dengan mimpi besar, juga karena Ayah. Dari
cerita Ibu tentangnya, aku tahu seperti apa dan bagaimana menjadi seorang
lelaki sejati, seperti dirinya. Menjadi seorang pemberani yang membela
kebenaran meski harus bertaruh nyawa. Menjadi pemberantas kejahatan, meski
harus terbunuh.
Kini,
aku telah berhasil menjadi seorang polisi sesuai dengan keinginan kedua orang
tuaku. Sebagaimana juga kata Ibu, Ayah memang menginginkan aku menjadi seorang
penegak kebenaran. Pun, cerita tentang keteguhan Ayah membela kebenaran telah menjadi
motivasi terbesar bagiku untuk menjadi seorang polisi. Sosok Ayah seakan terus
menyertai dan memberiku semangat hidup, meski aku tak sempat mengindrainya
secara langsung.
Aku
selalu suka ketika Ibu menuturkan tentang kepahlawanan Ayah di masa kecilku
dahulu. Kurasa seperti dongeng yang sangat memukau. Tentang Ayah yang tampil sebagai
pemberantas kejahatan dengan tangannya sendiri kala orang-orang pasrah menjadi
penakut demi nyawa. Tentang Ayah yang meninggal ditikam setelah bergumul dengan
kawanan penjahat yang tega menganiaya dan mencuri harta milik seorang wanita
tua di terminal.
Sungguh
bangga aku pada Ayah. Sosok yang dahulu, di masa kanak-kanak, suka kusombong-sombongkan
di tengah teman-temanku yang lebih suka menjago-jagokan karakter pahlawan fiksi
dibanding sosok ayah mereka sendiri. Aku cukup mengulang-ulang cerita
kepahlawanan Ayah sebagaimana yang diceritakan Ibu kepadaku, sampai
teman-temanku terkesima, meski tak sedikit di antara mereka yang gerah dan malah
menjelek-jelekkan sosok Ayahku.
Kuyakini
sudah kebenaran perkataan Ibu bahwa tiada yang pantas ditinggalkan di dunia selain
jasa dan nama baik untuk anak-cucu kelak. Setiap orang akan mati, tapi mereka
yang berjasa baik akan terus hidup dalam kehidupan orang-orang. Mereka akan
mengabadi sebagai teladan. Nama mereka akan dilafalkan orang-orang di dalam
doa. Demikian pula aku memandang Ayah dan jasa baiknya. Ia, sosok terbaik yang
dilahirkan Ibu dalam benakku, akan terus menyertaiku sepanjang hidup.
Dan
saat ini, di sebuah terminal, kurangkai lagi gambaran tentang akhir hidup Ayah
di dalam imajinasiku. Kuarahkan pandangan ke segala arah. Kutelisik setiap
sudut. Kucipta dugaan tentang letak darah Ayah bercecer dan meresap setelah
ditikam penjambret, sebagaimana cerita Ibu. Kuhirup udara pagi sambil berkhayal
memeluk sukma Ayah, lalu kunyatakan padanya bahwa di sini hidupmu berakhir, dan
di sini pula aku mengokohkan tekad untuk menjadi pemberantas kejahatan,
sepertimu.
“Ya,
beginilah. Kita harus menunggu,” kata seorang lelaki tua yang menghampiriku tanpa
aba-aba di satu bangku terminal. Ia lalu duduk di samping kiriku.
Aku
yang tengah merenung sambil menunggu sopir mobil tumpanganku mencari penumpang
baru, jelas saja dibuat pulih dari lamunan. Aku pun menatapnya dengan penuh
rasa penasaran. Setelah melayangkan senyuman singkat, kurespons ia sekenanya, “Ya,
begitulah, Pak. Sekali-kali kita harus bersabar untuk melonggarkan rezeki orang
lain,” kataku, kemudian melirik tato di pergelangan tangan kirinya yang tampak
buram.
Ia
kembali menoleh padaku sambil tersenyum. Setelah melepas batuk kering, ia lalu
menuturkan taksirannya, “Aku menduga, Ananda ini seorang polisi. Benar?”
Sontak,
aku tercengang menyaksikan kejeliannya. “Benar,” kataku. “Bapak tahu dari
mana?”
“Dari
pengalaman hidup, Nak. Aku bisa lihat dari penampilan fisik dan sikapmu,”
terangnya, kemudian terkekeh sejenak. “Waktu masih muda, aku ini pendosa. Disuruh
sekolah baik-baik di kota oleh orang tua, eh, aku malah menyeleweng.” Ia
berhenti sejenak untuk membakar rokok di bibirnya dengan tangan kiri. “Dahulu,
aku gemar mencuri, kemudian menggunakan hasilnya untuk perbuatan yang bejat
pula. Karena itulah, aku terbiasa membaca situasi dan kondisi untuk memastikan
bahwa tak ada aparat keamanan setiap kali aku beraksi.”
Aku
menggangguk. Mengagumi keahliannya.
“Tapi
syukurlah, umurku panjang, dan aku masih punya kesempatan untuk mengikis
tumpukan dosa-dosaku,” katanya lagi. “Kamu beruntung, Nak. Kamu berhasil
menapaki jalan untuk menjadi orang yang baik,” sambungnya, sambil menepuk-nepuk
punggungku. Ia lalu berpesan, “Adililah jika kau menemui orang bejat seperti aku dahulu, sehingga mereka lekas pula jadi orang yang baik.”
Aku
melepas tawa. “Aku saja masih perlu untuk terus mengadili diriku sendiri, Pak.
Aku masih muda, dan di depanku ada begitu banyak jebakan dan godaan. Aku masih
harus belajar dari pengalaman,” balasku, berusaha menyesuaikan diri dengan
ranah pembicaraannya. “Bapaklah yang mungkin lebih tahu tentang keadilan,
tentang baik-buruknya budi, karena Bapak punya banyak pengalaman.”
Dia
pun tertawa.
“Barangkali
memang benar, Pak, kalau orang paling beruntung adalah orang yang mati di masa
kanak-kanak, ketika mereka belum melakukan perbuatan buruk atas kesadaran
mereka sendiri, dan mereka meninggal tanpa dosa,” kataku. “Tapi di umurku yang
terlanjut dewasa ini, aku jelas telah melakukan banyak salah dan khilaf. Belum
lagi jika umurku panjang.”
Ia
menggeleng. “Tapi mereka yang mati di usia kanak-kanak, akan dilupakan. Mereka
belum berhasil mengukir hitam-putih cerita hidupnya di dalam kehidupan,”
sanggahnya. “Yang lebih beruntung adalah mereka yang mati di usia senja dan
berhasil mengukir jasa-jasa baiknya dalam kehidupan. Kau masih punya harapan
besar untuk merebut keberuntungan itu, asal kau teguh pada pendirian. Sedangkan
aku telah menjadi seorang yang gagal.”
Seketika,
aku kagum dengan cara berpikirnya.
Ia
lalu menghisap dalam dan mengembuskan asap rokoknya yang panjang. “Tapi, yang
lebih sial adalah mereka yang mati di usia tua saat ia tengah melakukan kejahatan.
Semacam pencuri yang mati dimassa. Nahas!”
Lagi-lagi,
aku terpukau pandangannya. “Kurasa, pendapat Bapak itu benar.”
“Lihat
ini, Nak!” katanya, sambil memperlihatkan tangan kanannya yang puntung, yang
sedari tadi tertutup jaket hitam yang ia selempang.
“Apa
yang terjadi?” tanyaku seketika.
“Ya,
sebagaimana akhir hidup yang tragis bagi pencuri yang lain,” katanya, lalu
mendongak, seperti terkenang pada masa lalunya. Ia lalu berkisah, “Dahulu, bersama
seorang teman, aku menjambret seorang nenek. Tapi nahas, kami dikejar massa.
Motor yang kukendarai selip dan terjatuh. Aku berhasil bangkit dan berlari
menuju ke pos polisi, meninggalkan seorang teman yang akhirnya meninggal
dikeroyok warga, tepat di sana, di sisi luar gerbang terminal itu.”
Aku
lalu menoleh pada arah yang ditunjuknya, dan merasa ngeri.
“Sampai
saat ini, aku terus mengenang temanku itu dengan penuh rasa bersalah,” akunya,
dengan raut wajah yang sayu. “Sepintas, saat aku melihatmu, kau mengingatkanku
padanya. Kau punya kemiripan wajah dengannya. Sama-sama tampan. Tapi tentu
dengan nasib dan perilaku yang berbeda.”
Aku
tertawa pendek atas singgungannya tentang diriku.
“Keadaan
tanganku ini adalah akhir dari kedunguanku. Dan karena ini pulalah, aku
benar-benar berhasil memaksa diri untuk berhenti mencuri,” jujurnya lagi. “Dan
kukira, pertobatan yang paling rendah nilainya adalah tobat karena terpaksa.”
Aku
sedikit terenyuh. “Yang penting Bapak telah berhasil kembali pada jalan yang
benar. Tak ada kata terlambat dan jalan yang salah untuk menjadi orang baik.”
Ia
tampak mengangguk. Lalu dengan tangan kiri yang cekatan, ia kembali mengenakan
jaket hitamnya. “Aku harus bergegas. Mobil tumpanganku sepertinya sudah mau
berangkat.”
“Tapi
kita belum bertukar nama,” kataku sambil berdiri, berhadapan dengannya. “Namaku
Arlian Sumingga. Panggil Lian saja, Pak,” terangku, lalu menarik kembali tangan
kanan yang kuulurkan untuk berjabat.
“Sumingga?”
selidiknya dengan wajah penuh keingintahuan. “Dan ibumu bernama Winarti?”
“Ya!
Benar!” Seketika, aku jadi semakin heran atas kebenaran tebakannya. “Bapak tahu
dari mana?”
Raut
wajahnya berubah datar. “Dahulu, aku berteman baik dengan Ayahmu. Aku juga,
mengenal baik Ibumu.”
Sontak,
tanya-tanya pun bermunculan di benakku.
“Baiklah,
aku harus pergi,” katanya, sambil menepuk lenganku dengan tangan kirinya.
“Sampaikan salamku pada Ibumu. Sampaikan juga ucapan selamat dariku, sebab ia
telah berhasil mendidik anaknya menjadi orang yang baik!”
Ia
kemudian melangkah-menjauh dariku.
Aku
hanya membisu.
“Oh,
iya, namaku Sam Baril!” tuturnya. “Sampai jumpa!”
Lagi-lagi,
aku hanya membisu.
Seketika,
aku jadi semakin tak sabar bertemu Ibu. Bukan hanya untuk mengimpaskan rindu
atau sekadar bertukar kisah selama perpisahan, tapi juga untuk menemukan
jawaban atas pertanyaanku tentang pertautan kisah di antara mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar