Kamis, 31 Januari 2019

Yang Tak Bisa Memiliki

Tangis terdengar di antara kerumunan orang-orang yang merasa kehilangan. Bersedu sedan mereka atas jasad di balik kain kafan. Mereka tampak berduka untuk satu sosok yang tak mungkin kembali seperti dahulu. Bersedih untuk seseorang yang kini menjadi penghias kenangan mereka. Entah karena pertalian keluarga, persahabatan, atau persaudaraan sesama manusia.
 
Namun aku merasa biasa saja. Tak ada bulir-bulir air yang tergelincir dari mataku. Seolah-olah aku tak mengenal seseorang yang kini terbujur kaku di hadapanku. Seolah-olah aku malah membencinya. Padahal, aku sadar kalau orang-orang menaksirku sebagai salah satu wanita yang seharusnya merasa sangat kehilangan. Aku yakin kalau mereka menduga aku akan menangis sejadi-jadinya. Dan karena itu, aku merasa malu.

Memang sudah semestinya aku meneteskan air mata. Sebagai seorang wanita yang direncanakan menikah dengan sang mendiang seminggu ke depan, aku seharusnya merasa tertimpa musibah atau kesialan yang sangat menyakitkan. Tapi sungguh, di dalam lubuk hatiku yang paling dalam, tak ada rasa sedih yang sanggup menggelitik kelopak mataku. Sedang tak ada air mata dari tangis yang tak berasal dari hati.

Akhirnya, dengan sikap bodoh, aku menunduk saja. Menyembunyikan raut wajahku yang hampa rasa. Mengalihkan bola mataku di balik kacamata hitam ke arah liang lahad sang mayat, atau ke mana saja yang luput dari perhatian para pelayat. Sesekali, aku melirik pada orang-orang yang kebanyakan belum kukenal baik, sambil bersikap awas kalau-kalau mereka balik menatapku dan terheran atas sikapku yang biasa saja.

Sebagaimana lumrahnya, kulihatlah bahwa orang-orang terdekat sang mendiang menjadi pihak yang merasa sangat kehilangan. Ibu, ayah, dan saudara kandung almarhum yang berada di sisi depan kerumunan, adalah orang-orang yang merasa sangat terpukul. Mereka tampak menangis penuh kedukaan. Seolah-olah menegaskan bahwa pada setiap kepergian, selalu ada kesedihan yang mendalam di hati orang-orang yang merasa sangat memiliki. Dan aku merasa tidak termasuk.

Sampai akhirnya, perhatianku teralihkan ke sisi belakang. Pada seorang wanita yang terisak dengan suara yang terdengar meraung di antara suara tangis yang lain, hingga membuat kekhidmatan suasana menjadi terganggung. Terus saja ia meronta, seakan-akan tak peduli pada orang lain di sekitarnya. Seolah-olah dirinya berhak dinobatkan sebagai orang yang paling kehilangan atas kepergian almarhum. 

Aku jelas tak tahu dan tak mengenal wanita itu. Tapi jika tangis adalah bahasa kejujuran, kukira, ia punya kedekatan yang lebih dengan almarhum calon suamiku. Hingga kutaksirlah kalau barangkali ia adalah wanita yang pernah sangat berharap menjadi pendamping hidup almarhum. Sebagaimana cerita yang kudengar dari ibuku, memang ada seorang wanita yang begitu tergila-gila dan mendambakan almarhum. Namun sayang, almarhum tak bisa membalas perasaannya dan malah jatuh hati pada seorang wanita yang lain: aku.

“Sayang…!” seru si wanita saat jasad almarhum perlahan dimasukkan ke dalam liang lahad.

Beberapa orang sigap mencegatnya agar tak mendekat ke tubir liang, kemudian menuntunnya ke arah belakang dengan sedikit kasar.

Dan aku yakin sudah, dugaanku tentang si wanita sebagai seseorang yang sangat mendambakan almarhum, memang benar.

“Harusnya tak berakhir seperti ini, Sayang!” serunya lagi dari sisi paling belakang, di sekililing beberapa orang yang mencoba menenangkannya dengan segala cara.

Perlahan-lahan, gundukan tanah mulai dijatuhkan dan menimbun liang kubur. Tangis orang-orang pun semakin menjadi-jadi. Namun tetap saja, kerasnya suara tangis si wanita mengalahkan suara tangis yang lain.

Beberapa waktu berselang, lenyaplah sudah jasad di balik kain kafan. Hanya tampak gundukan tanah dan batu nisan di atas kubur. Orang-orang pun tampak mulai menenangkan dirinya masing-masing. Sama-sama berusaha meredakan tangis yang mengiring prosesi penguburan sedari awal.

Sampai akhirnya, orang pun menyampaikan doa perpisahan untuk almarhum dengan cara masing-masing, kemudian mereka beranjak satu per satu. Begitu pula aku dan orang tuaku, juga keluarga almarhum yang pergi di waktu terakhir demi mengurai rasa sedih secara perlahan sebab masih berat melepaskan.

Dan tanpa kuduga-duga, sebuah dorongan kuat dari arah belakang membuatku jatuh tersungkur. 

Lekas, beberapa orang membantuku menegakkan badan. Kulihat, beberapa lainnya menahan si wanita agar tak menyerangku kembali.

Si wanita pun membentak dengan raut garang, “Dasar wanita penggoda! Sialan!”

Aku terkaget menyaksikan kemarahannya.

Ia kembali menyerapah, “Ini semua salahmu, bangsat!”

Perlahan, aku pun terenyuh menyaksikan ketidakwarasannya karena cinta. Aku memandanginya bukan dengan kemarahan, tapi dengan belas kasih untuk ia yang tak bisa memiliki cinta dari orang yang ia dambakan. Sungguh, rahasia perasaan memang serumit itu. Beberapa orang ditinggalkan oleh seseorang yang sangat ia cintai. Beberapa yang lain malah didatangi oleh seseorang yang tak bisa ia cintai.

Berselang beberapa saat, tampaklah keadaan yang semakin membingungkan. Beberapa anggota polisi datang menghampiri dan mengamankan si wanita. Dan setelah menyampaikan penjelasan ringkas, polisi pun memborgol tangan si wanita, lalu menuntunnya ke mobil dengan cara paksa.

“Apa yang terjadi, Pak?” tanya ayah sang mendiang.

“Kami menemukan bukti bahwa di malam ketika amlarhum meninggal dunia, ada racun mematikan di dalam segelas kopi yang ia minum. Dan kami pun menemukan petunjuk yang mengarah pada wanita itu sebagai pelaku. Tapi itu masih dugaan. Kami akan melakukan pemeriksaan lebih lanjut,” terang sang polisi.

Seketika, dari tempat yang jauh, kupandangi si wanita dengan penuh belas kasih. Dalam sisi hatiku yang tidak berperasaan, kuucapkan terima kasih padanya yang telah menyelamatkanku dalam bingkai cinta yang tak pernah kuinginkan. Bagaimana pun, ia telah menyelamatkan aku dari rencana pernikahan yang akan terjadi atas keinginan orang tuaku dan orang tua almarhum saja, meski aku menolaknya sekeras hati.

Dan kini, aku pun mengerti bahwa beberapa orang akan hidup dengan seseorang yang tak pernah ia dambakan -yang jika saja tak ada aral melintang, akan terjadi padaku seminggu ke depan. Pun, beberapa orang harus merelakan kepergian seseorang yang sangat ia dambakan, seperti nasib si wanita. Hingga akhirnya, beberapa orang berhasil menjaga kewarasannya dalam tali cinta yang dipaksakan dengan menganggap itu sebagai takdir, tapi tak jarang pula yang menjadi gila karenanya.

“Kamu tak apa-apa kan, Nak?” tanya ibuku dengan penuh keprihatinan.

“Aku baik-baik saja, Bu. Mungkin lebih baik dari kemarin-kemarin,” kataku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar