Tangis
terdengar di antara kerumunan orang-orang yang merasa kehilangan. Bersedu sedan
mereka atas jasad di balik kain kafan. Mereka tampak berduka untuk satu sosok
yang tak mungkin kembali seperti dahulu. Bersedih untuk seseorang yang kini menjadi
penghias kenangan mereka. Entah karena pertalian keluarga, persahabatan, atau
persaudaraan sesama manusia.
Namun
aku merasa biasa saja. Tak ada bulir-bulir air yang tergelincir dari mataku. Seolah-olah
aku tak mengenal seseorang yang kini terbujur kaku di hadapanku. Seolah-olah
aku malah membencinya. Padahal, aku sadar kalau orang-orang menaksirku sebagai
salah satu wanita yang seharusnya merasa sangat kehilangan. Aku yakin kalau
mereka menduga aku akan menangis sejadi-jadinya. Dan karena itu, aku merasa
malu.
Memang
sudah semestinya aku meneteskan air mata. Sebagai seorang wanita yang
direncanakan menikah dengan sang mendiang seminggu ke depan, aku seharusnya
merasa tertimpa musibah atau kesialan yang sangat menyakitkan. Tapi sungguh, di
dalam lubuk hatiku yang paling dalam, tak ada rasa sedih yang sanggup
menggelitik kelopak mataku. Sedang tak ada air mata dari tangis yang tak
berasal dari hati.
Akhirnya,
dengan sikap bodoh, aku menunduk saja. Menyembunyikan raut wajahku yang hampa
rasa. Mengalihkan bola mataku di balik kacamata hitam ke arah liang lahad sang
mayat, atau ke mana saja yang luput dari perhatian para pelayat. Sesekali, aku
melirik pada orang-orang yang kebanyakan belum kukenal baik, sambil bersikap
awas kalau-kalau mereka balik menatapku dan terheran atas sikapku yang biasa
saja.
Sebagaimana
lumrahnya, kulihatlah bahwa orang-orang terdekat sang mendiang menjadi pihak
yang merasa sangat kehilangan. Ibu, ayah, dan saudara kandung almarhum yang berada
di sisi depan kerumunan, adalah orang-orang yang merasa sangat terpukul. Mereka
tampak menangis penuh kedukaan. Seolah-olah menegaskan bahwa pada setiap kepergian,
selalu ada kesedihan yang mendalam di hati orang-orang yang merasa sangat
memiliki. Dan aku merasa tidak termasuk.
Sampai
akhirnya, perhatianku teralihkan ke sisi belakang. Pada seorang wanita yang
terisak dengan suara yang terdengar meraung di antara suara tangis yang lain,
hingga membuat kekhidmatan suasana menjadi terganggung. Terus saja ia meronta, seakan-akan
tak peduli pada orang lain di sekitarnya. Seolah-olah dirinya berhak dinobatkan
sebagai orang yang paling kehilangan atas kepergian almarhum.
Aku
jelas tak tahu dan tak mengenal wanita itu. Tapi jika tangis adalah bahasa kejujuran,
kukira, ia punya kedekatan yang lebih dengan almarhum calon suamiku. Hingga
kutaksirlah kalau barangkali ia adalah wanita yang pernah sangat berharap
menjadi pendamping hidup almarhum. Sebagaimana cerita yang kudengar dari ibuku,
memang ada seorang wanita yang begitu tergila-gila dan mendambakan almarhum.
Namun sayang, almarhum tak bisa membalas perasaannya dan malah jatuh hati pada
seorang wanita yang lain: aku.
“Sayang…!”
seru si wanita saat jasad almarhum perlahan dimasukkan ke dalam liang lahad.
Beberapa
orang sigap mencegatnya agar tak mendekat ke tubir liang, kemudian menuntunnya
ke arah belakang dengan sedikit kasar.
Dan
aku yakin sudah, dugaanku tentang si wanita sebagai seseorang yang sangat
mendambakan almarhum, memang benar.
“Harusnya
tak berakhir seperti ini, Sayang!” serunya lagi dari sisi paling belakang, di
sekililing beberapa orang yang mencoba menenangkannya dengan segala cara.
Perlahan-lahan,
gundukan tanah mulai dijatuhkan dan menimbun liang kubur. Tangis orang-orang pun
semakin menjadi-jadi. Namun tetap saja, kerasnya suara tangis si wanita
mengalahkan suara tangis yang lain.
Beberapa
waktu berselang, lenyaplah sudah jasad di balik kain kafan. Hanya tampak
gundukan tanah dan batu nisan di atas kubur. Orang-orang pun tampak mulai menenangkan
dirinya masing-masing. Sama-sama berusaha meredakan tangis yang mengiring
prosesi penguburan sedari awal.
Sampai
akhirnya, orang pun menyampaikan doa perpisahan untuk almarhum dengan cara
masing-masing, kemudian mereka beranjak satu per satu. Begitu pula aku dan
orang tuaku, juga keluarga almarhum yang pergi di waktu terakhir demi mengurai
rasa sedih secara perlahan sebab masih berat melepaskan.
Dan
tanpa kuduga-duga, sebuah dorongan kuat dari arah belakang membuatku jatuh
tersungkur.
Lekas,
beberapa orang membantuku menegakkan badan. Kulihat, beberapa lainnya menahan
si wanita agar tak menyerangku kembali.
Si
wanita pun membentak dengan raut garang, “Dasar wanita penggoda! Sialan!”
Aku
terkaget menyaksikan kemarahannya.
Ia
kembali menyerapah, “Ini semua salahmu, bangsat!”
Perlahan,
aku pun terenyuh menyaksikan ketidakwarasannya karena cinta. Aku memandanginya
bukan dengan kemarahan, tapi dengan belas kasih untuk ia yang tak bisa memiliki
cinta dari orang yang ia dambakan. Sungguh, rahasia perasaan memang serumit
itu. Beberapa orang ditinggalkan oleh seseorang yang sangat ia cintai. Beberapa
yang lain malah didatangi oleh seseorang yang tak bisa ia cintai.
Berselang
beberapa saat, tampaklah keadaan yang semakin membingungkan. Beberapa anggota polisi
datang menghampiri dan mengamankan si wanita. Dan setelah menyampaikan
penjelasan ringkas, polisi pun memborgol tangan si wanita, lalu menuntunnya ke
mobil dengan cara paksa.
“Apa
yang terjadi, Pak?” tanya ayah sang mendiang.
“Kami
menemukan bukti bahwa di malam ketika amlarhum meninggal dunia, ada racun
mematikan di dalam segelas kopi yang ia minum. Dan kami pun menemukan petunjuk
yang mengarah pada wanita itu sebagai pelaku. Tapi itu masih dugaan. Kami akan
melakukan pemeriksaan lebih lanjut,” terang sang polisi.
Seketika,
dari tempat yang jauh, kupandangi si wanita dengan penuh belas kasih. Dalam
sisi hatiku yang tidak berperasaan, kuucapkan terima kasih padanya yang telah
menyelamatkanku dalam bingkai cinta yang tak pernah kuinginkan. Bagaimana pun,
ia telah menyelamatkan aku dari rencana pernikahan yang akan terjadi atas keinginan
orang tuaku dan orang tua almarhum saja, meski aku menolaknya sekeras hati.
Dan
kini, aku pun mengerti bahwa beberapa orang akan hidup dengan seseorang yang
tak pernah ia dambakan -yang jika saja tak ada aral melintang, akan terjadi
padaku seminggu ke depan. Pun, beberapa orang harus merelakan kepergian
seseorang yang sangat ia dambakan, seperti nasib si wanita. Hingga akhirnya, beberapa
orang berhasil menjaga kewarasannya dalam tali cinta yang dipaksakan dengan
menganggap itu sebagai takdir, tapi tak jarang pula yang menjadi gila
karenanya.
“Kamu
tak apa-apa kan, Nak?” tanya ibuku dengan penuh keprihatinan.
“Aku
baik-baik saja, Bu. Mungkin lebih baik dari kemarin-kemarin,” kataku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar