Langit
tampak cerah malam ini. Bintang-bintang yang kau puja, berpijar di tempat yang
jauh. Menjadi serupa manik-manik yang berkerlipan di sekeliling purnama.
Memancarkan kehangatan di hati kita masing-masing. Mendamaikan sepi. Sampai kita
terbayang hari esok, dan sejauh masa depan kita bersama. Menuntun imajinasi
kita menapaki anak tangga di jalan angan-angan, hingga kita berpisah suatu
saat.
Kuyakin
pasti, bersama rindu, kau sedang merenungkan kita di bilik kamarmu yang sunyi.
Duduk pada sebuah kursi yang menghadap tepat di jendela, dengan tangan meneleku
pada meja. Mendengarkan lagu Fireflies
atau Vanilla Twilight milik Owl City, atau sejenisnya, sambil memandang
benda-benda langit yang merangkai imajinasimu. Merenungkan jalan cerita
terbaik, untuk kita menuju kebersamaan, suatu hari nanti.
Dan
kupastikan, angan-angan liarmu menjelma jadi sebentuk puisi. Di bawah sorot
lampu belajar, kau akan menulis kata-kata indah untuk menyiratkan hasratmu
padaku. Hingga tergoreslah penamu pada kertas. Merangkai doa untuk kau dan aku,
di sepanjang waktu. Mengukir bayangan keluarga kita di masa depan. Melukis
hidup yang terhias anak-anak menggemaskan, kelak. Dan, tak ada yang kuasa mengakhiri.
Sampai
akhirnya, hujan deras jatuh dari langit. Menerpa bumi yang membentangkan jarak
di antara kita yang membisu. Mendentingkan senandung lirih, hingga kisah-kisah
kita yang lampau, terkuak kembali. Menaburkan bunga-bunga rindu di antara kita,
yang berada pada ruang berbeda, yang saling bertanya tanpa menuntut jawab. Kau
di sana, dan aku di sini, saling menerka angan masing-masing. Sebatas begitu.
Kutaksir,
kantuk akan menyerangmu di tengah kepungan dingin yang menusuk. Kau pun memilih
berbaring nyaman di kasur empuk, sambil membungkam telingamu dengan lagu-lagu
melankolis. Mungkin lagu Again-Bruno
Mars, Amnesia-5SOS, atau lagu lain yang pernah kita dengar bersama. Sampai kau
hanyut ke dalam khidmat yang tiada tara. Menenggelamkanmu dalam kenangan,
hingga segenap indramu, terfokus untuk merespons sesuatu yang maya.
Ketika
sadarmu pulih, bahwa kita tetaplah berjarak di dunia nyata, kau pun akan
menyibak matamu, kemudian menoleh pada jendela kamar yang buram. Mencari-cari
benda langit yang bisa kau ajak bicara dan berbagi keluh. Tapi semuanya
bersembunyi. Hingga kau kembali menyerah pada keheningan. Kau lalu mematikan
lampu-lampu. Meredupkan cahaya di bilik sepimu. Sebab tak ada lagi yang ingin
kau lihat, selain berkas kenangan kita di memorimu, dari awal pertemuan, hingga
sore tadi.
Di
tengah nostalgia berulang itu, kala kau sedang menapaki kisah kita, detak
jantungmu akan mengencang pada berkas momen tertentu. Merasa candu saat-saat
kita begitu dekat, tanpa predikat apa-apa. Entah ketika kita bercanda di ruang
kampus, selangkah di tengah kota, atau sesadel di bawah terik dan hujan. Kau
akan mengkhidmati itu, sambil menarik napas dalam-dalam. Hingga bau tembok yang
basah, menyesaki rongga pernapasanmu, dan kau semakin larut dalam suasana.
Jelas,
rasa rindu setelah kita berpisah tujuh jam yang lalu, akan mambuatmu tetap
terjaga. Kau jadi betah mengulas tentang kita, ketimbang larut dalam adegan
bunga tidur yang kadang mengecewakan. Kantung matamu yang berat pun, tersibak
kembali, demi menemuiku lewat telepon genggammu. Mengulas percakapan kita di
media sosial, sambil menebak-nebak maksud di setiap kata dan tanda. Hingga kau
mengintip semua unggahan statusku, yang terpampang di berbagai lini media
sosial.
Tak
akan ada yang kuasa mengakhiri sakaumu itu, kecuali kantuk yang tak tertahankan
lagi. Dan hampir jam 2, kuyakin, kau baru saja mengakhiri penelusuranmu di alur
sejarah kita. Kau lalu memandangi langit-langit kamarmu yang remang, sambil
berharap aku mengirimkan pesan secara tiba-tiba. Sampai akhirnya, kau lelah
menunggu ketidakpastian, hingga terlelap tanpa rencana, saat daftar lagu
melankolis, belum terputar seluruhnya.
Dan
aku yang sedari tadi duduk termenung di sebuah kafe, sambil membayangkan adegan-adeganmu
yang tengah dilanda kekalutan, menyerah juga pada kantuk. Demi menjamin bahwa
kita akan bertemu di kampus esok pagi, aku pun beranjak pulang, untuk segera tidur.
Aku tak ingin datang terlambat dengan tampilan buruk, hingga kau jadi tak
senang.
Soal
tugas kuliah yang diperjanjikan untuk kita kerja bersama, sudah pula aku tuntaskan.
Sisa disetor. Aku ikhlas mengerjakannya, dan tak mesti kau turut dan terbebani.
Dan aku tahu, karena itu, esok pagi, kala kita bertemu, kau akan menyampaikan
penyesalanmu. Kau akan mempersalahkan dirimu, sebab tega membiarkanku berkorban
untukmu, dan kau malah tak peduli untuk ke sekian kalinya. Tapi sungguh,
bagiku, itu bukanlah masalah.
Detik
demi detik berganti. Akhirnya, pagi menjelang. Aku pun meniti jalan ke kampus
dengan penuh semangat. Aku berharap kita segera bertemu, sehingga kau tak perlu
menahan rindu sedetik yang serasa setahun.
Hingga,
tak berselang lama sejak kedatanganku, kau muncul dengan langkah bergegas. Kau
lalu mengungkapkan penyesalan seperti yang kukira. “Maafkan aku karena tak bisa
menyusulmu di kafe semalam,” katamu, dengan mimik yang mengibakan. “Kamu tak
marah, kan?”
Aku
menggeleng, sambil tersenyum. “Tak apa-apa. Kau tak usah merasa bersalah. Aku
tahu, semalam hujan,” kataku, lalu mengambil sebuah makalah yang telah terjilid
rapi dari dalam tasku. “Kau juga tak usah khawatir. Aku sudah menyelesaikannya,
kok. Sisa dikumpul saja.”
Kau
mengecek hasil pekerjaanku. Perlahan, kau tampak semringah. Hingga seuntai
senyuman, terukir di wajahmu. “Terima kasih banyak, ya. Aku tak tahu harus
bilang apa. Ini pengorbananmu yang ke sekian kalinya. Dan aku yakin, tak akan
bisa membalasnya.”
“Jangan
berterima kasih. Anggap saja, ini memang sudah seharusnya,” sanggahku.
Kau
tampak tersipu.
Seketika,
aku ingin menyelisik kebenaran khayalku tentang dirimu semalam. “Apa tadi malam tidurmu
nyenyak?” selidikku, sambil menafsir-nafsir bahwa kau akan menggeleng, kemudian
menjelaskan bahwa kau sulit terlelap karena terbayang-bayang padaku.
Kau
benar-benar menggeleng. “Semalam, aku tak sempat tidur enak,” katamu, kemudian
menuturkan alasan yang tak sesuai dugaanku. Satu alasan yang tak aku suka. “Aku
harus menemani Kak Reyon di rumah sakit. Ayahnya sakit, dan ia butuh teman
untuk berjaga. Aku menemaninya sampai subuh. Memangnya kenapa?”
Dengan
emosi tak terkendali, aku segera menimpali. “Bukankah sebagai seorang
perempuan, kau sebaiknya pulang ke rumah sebelum tengah malam, dan tidur
sebelum larut?” tanyaku, tak sadar menuturkan nasihat bak seorang ayah.
Sejenak,
kau tampak heran dengan sikapku, tapi kemudian menjawab juga dengan sikap biasa.
“Ya, benar. Aku juga tak suka begadang. Tapi kupikir, tak ada salahnya menemani
dia begadang barang semalam untuk perihal yang memang perlu. Aku merasa harus
melakukannya,” katamu, tanpa rasa bersalah, bahwa semalam, kau telah
mengabaikanku. Tanpa sadar, kau telah berlaku tak adil.
Tak
berselang lama, seorang lelaki, senior di kampus yang kau maksud, datang
menghampiri kita. Dia hanya melayangkan senyuman padaku, sekenanya, kemudian
bertutur padamu, “Aku berencana pergi belanja. Membeli beberapa keperluan untuk
Ayah di rumah sakit. Kau bisa ikut, kan?”
Kulihat
dengan kepahitan, kau mengiyakannya dengan begitu senang. Kau lalu menoleh
padaku, kemudian berucap, “Maaf untuk ke sekian kalinya. Aku harus pergi. Maaf
tak bisa hadir di kelas dan menemanimu mengumpulkan tugas.”
Aku
mengangguk bodoh. Bingung, seperti orang dungu yang tak waras.
Seketika,
aku menyadari betapa tak adilnya hidup ini. Aku harus melanjutkan jejak
pengorbananku untukmu, kala kau bersenang-senang dengan orang yang lain.
Tanpa
basa-basi lagi, kau benar-benar menghancurkan khayalku bersamamu, “Sampai
jumpa,” pungkasmu, sambil tersenyum dan melambaikan tangan. Pergi, tanpa rasa berdosa.