Jihan
termenung di depan cermin. Hanya duduk memandangi bola matanya yang tak jernih
lagi. Mereka-reka rupanya sendiri. Memaknai waktu yang membuat keadaannya telah
banyak berubah. Kulit keriput, kantung mata berkerut dan menggantung, serta rambut
yang mulai memutih, adalah ciri-ciri yang tergambar pada dirinya.
Waktu
memang berlalu tanpa terasa. Seakan kemarin ia masih bermain karet dengan teman
sebayanya. Melewati hari tanpa mengkhawatirkan soal masa depan, termasuk tentang
pendamping hidup. Tapi waktu membawanya begitu jauh. Membuatnya merasa sendiri,
ditinggal pergi teman-temannya yang telah menemukan belahan jiwa dan beranak-pinak.
Kini,
Jihan mengadu pada dirinya sendiri. Mempertanyakan tentang keberadaan separuh jiwanya
yang tak juga datang menjemput. Hingga kekalutan menggerogotinya, kala menimbang
kemungkinan yang ada, di tengah rupanya yang tak lagi menawan. Khawatir,
jangan-jangan belahan hatinya, tersesat pada diri yang lain, dan tak tahu jalan
kembali, selamanya.
Nasib
Jihan dalam soal jodoh, berbanding terbalik dengan Marsih, perempuan yang telah
melahirkannya 42 tahun silam. Dahulu kala, saat persoalan jodoh masih menjadi
otoritas orang tua, Marsih telah dinikahkan saat menginjak usia 16 tahun. Usia
yang bagi orang kekinian, masih tergolong sangat muda dan dianggap belum matang
untuk mengurus rumah tangga.
Meski
awalnya sungkan atas pola perjodohan yang tanpa aba-aba, Marsih sebenarnya
beruntung menemukan pasangan hidupnya tanpa perlu menungu lama-lama. Yang lebih
menggembirakan, ia sempat memiliki seorang anak, Jihan, sebelum suaminya
meninggal di tahun ke empat setelah pernikahan. Anak itu, jelas menjadi kado
terindah Marsih untuk kedua orang tuanya dahulu.
Kini,
melihat nasib anak semata wayangnya, Marsih pun turut dirundung kecemasan. Ia
jadi khawatir melihat anak perawannya sering murung dan berdiam diri. Apalagi,
ia bisa membayangkan bagaimana bimbangnya seorang perempuan menanti jodoh di
usia senja; bak berada di antara ketidakpastian yang membunuh secara perlahan.
Sungguh memilukan.
“Maafkan
aku, Bu, tak bisa menjadi anak yang membanggakan,” tutur Jihan dengan lembut,
saat menyadari sang ibu yang tengah melipat pakaian, sesekali menoleh dan memerhatikannya.
“Minta
maaf untuk apa, Nak? Selama ini kau tak punya salah apa-apa padaku,” balas Marsih
dengan suara seraknya, kemudian melangkah terbata-bata, menghampiri sang anak.
Jihan
masih dengan posisi yang sama, menatap dirinya di dalam cermin. “Aku sudah tua,
Bu. Tapi aku belum bisa menghadiahkan seorang cucu pun untuk Ibu.”
Sontak,
Marsih terenyuh. Tema pembahasan yang selama ini enggan ia bahas, mulai
disinggung. “Kau tak usah risaukan itu, Nak. Adanya kamu saja, sudah membuat
aku senang. Dan, kalau kamu bahagia, aku juga pasti ikut bahagia.”
Beberapa
detik, Jihan terdiam. Ia lalu tertunduk, menyembunyikan wajah murungnya.
“Bagaimana aku bisa bahagia kalau aku tak bisa mempersembahkan cucu untuk Ibu,
hanya karena tak ada seorang lelaki pun yang sudi meminangku?” tuturnya, terdengar berat. “Aku juga ingin seperti perempuan yang lain, Bu, yang punya
suami dan anak.”
Marsih
menghela napasnya dalam-dalam. “Kau jangan putus asa begitu, Nak. Kau tahu, tak
selama orang cepat menemukan jodohnya. Selama masih hidup, persoalan jodoh,
tinggal menunggu waktu saja,” tuturnya, sembari menyisiri rambut sang anak yang
mulai beruban.
“Tapi
kapan, Bu? Kapan?” sergah Jihan. Pelupuk matanya mulai bergetar. Tak lama
kemudian, air mata tergelincir di pipinya. “Kalau harus dua-tiga tahun ke
depan, mungkin aku tak akan bisa punya anak lagi?”
“Nak,
jangan berkata seperti itu. Tak ada sesuatu yang mustahil. Teruslah berharap.
Aku yakin, kau akan dipertemukan dengan jodohmu suatu hari nanti, dan akan
dikaruniai momongan,” nasihat Marsih, sembari mengelus-elus pungung anaknya.
“Kalau bukan di dunia, kau pasti dipertemukan dengan jodohmu di surga, kelak.
Kau harus bersabar, Nak.”
Tangis
Jihan, semakin menjadi. Ia lalu merebahkan tubunya di pundak sang ibu.
Dalam
kekalutan, Jihan kembali menyalahkan pahaman mistis yang berseliweran di antara
penduduk desa. Ia sering kali menduga, tak akan ada seorang pun yang sudi
menikahinya. Itu karena ia punya tanda lahir di leher, yang dipercaya sejumlah
orang desa, dapat membawa tulah. Beberapa tetua desa bahkan menafsirkan kalau
memiliki toh di leher, akan membuat pasangan hidup dan anak seseorang, berumur
pendek.
“Bu,
apa semuanya karena tanda lahir ini?” keluhnya, sembari menunjuk selingkaran
bintik-bintik hitam yang tampak di leher sebelah kirinya. “Apakah seseorang
dilahirkan bersama kesialan? Apakah itu adil, Bu?”
Marsih
memandang bola mata sang anak dalam-dalam. “Nak, jelas bukan karena tanda lahir
hingga kau tak ditakdirkan berjodoh dengan seseorang. Apalagi, kau tahu
sendiri, tak semua orang di desa termakan kepercayaan konyol itu. Makanya, kau
bersabar saja. Semoga kelak, kau berjodoh dengan seseorang yang berpengetahuan
jernih dan tak percaya takhayul, sehingga cucu-cucuku jadi anak yang cerdas.”
“Kalau
begitu, kenapa, Bu? Kenapa?” Jihan lalu menjatuhkan diri dalam pelukan ibunya.
Kali
ini, Marsih tak ingin mengulangi nasihatnya. Ia biarkan saja sang anak menangis
sejadi-jadinya.
Di
pelukan hangat itu, Marsih kembali teringat kala Jihan berumur belasan hingga
dua puluh tahunan. Di masa itu, terhitung ada empat orang yang datang,
bermaksud meminang putrinya. Namun ia dan sang suami menolak, tanpa sepengetahuan
sang anak.
Keputusan
Marsih dan suaminya waktu itu, bukan tanpa alasan. Atas nama tradisi dan
kebaikan sang anak, mereka kukuh memegang sebuah janji nikah yang tak tentu. Mereka
menggantungkan nasib Jihan pada seorang lelaki yang tengah pergi jauh ke negeri
seberang, untuk menuntut ilmu. Nahas, lelaki itu meninggal setelah pesawatnya
mengalami kecelakaan, saat usia Jihan menginjak kepala tiga.
Atas
kesepakatan terselubung kedua orang tuanya, kini, Jihan harus menanggung
kenyataan bahwa di masa tuanya, lelaki mulai enggan meliriknya. Kerena itu, ia
harus sabar dalam kesendirian, mungkin untuk beberapa tahun ke depan, atau hingga
di alam kehidupan yang lain.
Jihan
lalu mengurai pelukannya. “Apakah karena aku tak cantik, sampai sejak dahulu, tak
ada seorang lelaki pun yang sudi meminangku?”
Pertanyaan itu, membuat Marsih dihujam rasa bersalah yang begitu mendalam. “Kau
masih kelihatan cantik, Nak,” tuturnya, sembari mengusap air mata sang anak. “Bersabarlah.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar