Mengawali tulisan ini, maka akan penting untuk merumuskan
pengertian hukum dan HAM. Hukum merupakan seperangkat aturan yang menentukan
apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Sedangkan hak asasi manusia (HAM)
adalah seperangkat hak dasar dari Tuhan yang melekat pada manusia, dan harus
dihormati untuk menjaga harkat dan martabatnya.
Bagaimana hubungan keduanya? Jika ingin mengetahui
korelasi hukum dan HAM, maka harus diketahui bagaimana eksistensi HAM
dalam hukum dan eksistensi hukum dalam HAM. Tahap awal dapat dengan mencari
tahu bagaimana HAM atau hukum dapat tercipta. Akhirnya, setelah mengetahui
proses penciptaannya, termasuk landasan penciptaannya, akan ditemukan saling
keterpengaruhan antarkeduanya.
HAM berasal dari Tuhan, sehingga eksistensinya bahkan
mendahului manusia. Berdasarkan sumbernya, maka tidak ada campur tangan manusia
dalam menentukan jenis dan takaran HAM. HAM tercipta dalam kuasa Tuhan. Oleh
karena itu, “melecehkan HAM” sama dengan menentang kehendak Tuhan. Manusia
dalam kedudukannya hanya dituntut menghormati HAM untuk terealisasinya tujuan
manusia diciptakan.
Memperjelas abstraksi di atas, kita dapat mencontohkan
hak hidup sebagai salah satu hak asasi dari Tuhan. Tuhan memberikannya kepada
manusia agar manusia dapat hidup dan menjalani kehidupan sesuai tujuan ia
diciptakan. Tujuan tersebut adalah membumikan kebajikan untuk mendapat
rida-Nya. Perlindungan terhadap hak hidup harus dilakukan, sebagaimana
kehendak tuhan menghidupkan manusia. Oleh karena itu, tindakan pembunuhan atau
bunuh diri tidak dibenarkan, karena hanya Tuhan Sang Pencipta, maka dia juga
penentu batas hidup seseorang.
Selanjutnya, hukum merupakan aturan hidup yang disepakati
manusia dari hasil interksinya. Hukum secara keseluruhan merupakan hasil kreasi
manusia. Perubahan hukum dimungkinkan jika tuntutan perubahan sosial membutuhkan dan telah mendapat persetujuan dari masyarakat, baik secara langsung atau melalui perwakilan.
Merujuk pada sumbernya, HAM jelas menggunakan pendekatan
teologis, sedangkan hukum menggunakan pendekatan antropologis. HAM pada
hakekatnya tidak dapat dikurangi apalagi dihapuskan. Sedangkan hukum bersifat
dinamis sesuai perkembangan kehidupan manusia.
Tahapan mencari hubungan hukum dan HAM
memerlukan penelaahan lebih lanjut mengenai substansi dari hukum dan HAM.
Meskipun berbeda pada sumbernya, namun dari aspek substansi ternyata
menimbulkan ketersinggungan antarkeduanya.
Hukum tidaklah dibentuk dari sekadar rentetan aturan formal
semata, sistematis, dan bebas nilai. Pembentukan hukum selalu mempertimbangkan
perlindungan terhadap HAM, baik dalam pendekatan filosofis, sosiologis, maupun
yuridis. Pemenuhan hak-hak kehidupan manusia merupakan nyawa dari hukum.
Ketika hukum tidak sesuai kebutuhan manusia, maka akan terjadi penolakan oleh
masyarakat.
Makna HAM bersifat fleksibel, abstrak, dan multitafsir.
Keadaan itu akan menyulitkan dalam menentukan batasan HAM dalam realitas
kehidupan masyarakat. Solusinya, harus dilakukan pengaturan lebih rinci dan
konkret tentang HAM, yakni melalui penjabaran dalam aturan hukum. Melalui aturan itu,
maka timbul kesepakatan dan kesepahaman antarindividu mengenai batasan-batasan
hak. Keadaaan tersebut akan jadi penuntun bagi individu dalam menentukan sikapnya, karena
telah jelas batasan antara hak dan kewajiban. Sebagai contoh, hak atas kehidupan yang layak sebagai HAM. Perumusan aturan hukum untuk itu akan memuat ketentuan bahwa
setiap orang berhak atas upah sesuai kerjanya.
Lalu bagaimana hukum dapat merasuki hak manusia, bahkan
menciptakan hak khusus bagi manusia? Menjawab pertanyaan tersebut menuntut kita
untuk merujuk sumber hukum dan HAM. Kita akan mengetahui bahwa sebelum ada
aturan hukum hasil rumusan manusia, HAM telah ada sebagai pemberian dari Tuhan.
Keberadaan aturan hukum lalu diciptakan untuk melindungi HAM dan memastikannya
teraktualisasi dalam kehidupan bermasyarakat. Mengenai hak manusia yang lahir
dari aturan hukum, itu bukanlah HAM murni, melainkan hak dasar manusia sebagai warga
negara. Hak dasar itu pun bukanlah hak sejati, melainkan turunan nilai-nilai HAM yang ditetapkan oleh negara.
Konsep pemisahan antara HAM dan hak dasar, pada dasarnya, tidaklah tepat. Alasannya karena antarkeduanya berlaku prinsip hirarki dan ketergantungan. Keduanya
tidak pada posisi yang setara, malainkan hak dasar subordinat terhadap HAM.
Meskipun rumusan hak dasar dapat berbeda dalam wilayah yurisdiksi setiap negara, bukan berarti hak dasar diciptakan oleh otoritas secara bebas. Di mana pun,
hak dasar hanyalah penafsiran dan penguraian nilai-nilai HAM.
Sebagai gambaran, pada negara A mungkin saja ditentukan
bahwa hak setiap warga negara untuk mendapatkan pendidikan hingga perguruan
tinggi, sedangkan pada negara B hanya sampai tingkat SMA. Penentuan
strata pendidikan yang menjadi hak warga negara tersebut berangkat dari nilai dasar yang sama, yaitu bahwa negara harus mencerdaskan kehidupan bangsa. Mengenai perbedaan strata pendidikan yang menjadi hak
dasar warga negara, itu diakibatkan oleh perbedaan persepsi antara negara A dan
B tentang bagaimana menafsirkan hak warga negara atas pendidikan.
Berdasarkan argumentasi sebelumnya, kita dapat memahami
bahwa sebenarnya haklah yang merasuki hukum. Dalam artian, aturan hukum hanya
mengatur bagaimana HAM dapat ditegakkan. Maskipun demikian, kadang terjadi
sebaliknya, yaitu ketika hukum malah mengambil atau menghilangkan HAM seseorang.
Contoh praktisnya adalah penerapan hukuman mati.
Namun demikian, petetapan sanksi hukuman mati bukan tanpa dasar, melainkan berdasarkan pertimbangan keadilan dan kemanfaatan. Orang tersebut tentu telah melakukan kejahatan luar biasa yang secara jelas melanggar HAM orang lain. Keadaan ini akan membimbangkan hukum, antara menegakkan keadilan HAM si korban atau mempertahankan HAM si pelanggar. Dalam keadaan ini, hukum harus mengambil keputusan berdasarkan pedoman bahwa setiap orang tidak boleh melanggar hak orang lain, dengan wujud menyeimbangkan HAM dan kewajiban asasi manusia.
Namun demikian, petetapan sanksi hukuman mati bukan tanpa dasar, melainkan berdasarkan pertimbangan keadilan dan kemanfaatan. Orang tersebut tentu telah melakukan kejahatan luar biasa yang secara jelas melanggar HAM orang lain. Keadaan ini akan membimbangkan hukum, antara menegakkan keadilan HAM si korban atau mempertahankan HAM si pelanggar. Dalam keadaan ini, hukum harus mengambil keputusan berdasarkan pedoman bahwa setiap orang tidak boleh melanggar hak orang lain, dengan wujud menyeimbangkan HAM dan kewajiban asasi manusia.
Kesimpulan dari tulisan ini bahwa HAM telah mengilhami
perumusan aturan hukum. Bahkan dapat dikatakan bahwa aturan hukum yang tidak
berlandaskan prinsip HAM, maka itu bukanlah hukum yang baik. Karena itu, negara
harus memberikan jaminan perlindungan HAM berdasarkan prinsip-prinsip HAM,
yaitu melalui perumusan hak dasar warga negara dalam aturan hukum nasional.
“Fungsi hukum bukan sekadar tegaknya aturan formil,
tetapi untuk mewujudkan keadilan materil.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar