Beragam sudut pandang dalam melihat
keadilan memunculkan persepsi berbeda tentang keadilan. Akarnya persoalannya
tentu karena kita harus melihat objek perumusan nilai keadilan sekaligus aspek
subjek pencari keadilan. Maksud objek di sini adalah kebendaan berwujud konkret
yang erat kaitannya dengan pertimbangan kebutuhan, seperti telepon genggam dan
uang. Sedangkan subjeknya menyangkut kualifikasi pihak dalam sengketa nilai
keadilan, misalnya perbedaan subjek pencari keadilan berdasarkan umur, jenis
kelamin, dan kebutuhan.
Penghayatan tentang nilai keadilan tidak
sama pada setiap orang. Akibatnya, rentan terjadi sengketa di antara para
pencari keadilan. Apalagi jika setiap orang ego terhadap nilai yang dianutnya
dan tidak mempertimbangkan nilai keadilan pada orang lain. Kepentingan pribadi
lagi-lagi menjadi halangan bagi seseorang untuk mengakui keadilan sesungguhnya.
Contohnya: A dan B adalah dua orang
bersaudara. A masih duduk di kelas 3 SMP, sedangkan B telah mahasiswa semester
VII. Suatu ketika A ingin memiliki HP, dengan alasan membutuhkan alat
komunikasi saat ingin bertemu untuk belajar bersama teman-temannya
menjelang ujian nasional. Ternyata, B tidak setuju jika orang tuanya membelikan
HP kepada A karena ketika ia kelas 3 SMP, ia juga tidak memiliki HP, namun ia
tetap lulus ujian nasional.
Jelas bahwa penolakan B dapat dikaji dari
sudut pandang objek dan subjek keadilan. Perihal objek, B merasa bahwa A belum
membutuhkan HP. Sedangkan pada segi subjek, B melihat bahwa A belum cukup umur
untuk memiliki HP. Bagaimana menemukan kesepakatan yang adil bagi A dan B?
Kita harus memiliki persamaan konsep yang
sama dalam merumuskan keadilan untuk menyelesaikan sengketa di atas. Namun,
ujung-ujungnya, ketika orang ditanya tentang persoalan di atas, kemungkinan
besar timbul pro-kontra. Satu-satunya jalan untuk menyelesaikan persoalan di
atas hanyalah melalui temu rasa dan temu pikir. Istilahnya adalah mediasi.
Esensi dari jalur itu adalah adanya keinginan untuk menerima keputusan yang
tidak menguntungkan dan tidak juga merugikan. Tentu harus melalui perpaduan
daya rasa dan pikir pada jiwa masing-masing pihak.
Tujuannya mediasi adalah kesepakatan sikap
tengah antara A dan B, tepat saat masing-masing merelakan separuh nilai
keadilan menurutnya, dikalahkan oleh yang lain. B misalnya, dapat saja
memunculkan anggapan positif berdasarkan rasa dan pikirnya bahwa A boleh
memiliki HP, terutama karena rumahnya dengan sekolah dan tempat tinggal
teman-temannya saling berjauhan. Ataukan merelakan saja, karena melihat
perkembangan masa menunjukkan, semua teman A telah memiliki HP.
Melihat kenyataan itu, ternyata dapat
disimpulkan bahwa setiap orang menganut nilai keadilan yang berbeda-beda. Jika
kita mengalami sengketa keadilan, lalu memandatkan penentuan mana yang adil
pada orang lain, kita harus merelakan bahwa keadilan akan diputuskan
berdasarkan persepsi mandator.
Hakim layaknya seperti mediator dalam
setiap penyelesaian sengketa. Jika kita kerucutkan pada masalah pidana, maka
hakim dalam menetapkan keadilan berdasarkan hukum harus mempertimbangkan
keadilan dalam berbagi perspektif. Terlebih, hakim dalam perkara pidana
bertindak aktif dalam melakukan penemuan hukum demi keadilan. Ketentuan itu
ditegaskan dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan: Hakim dan hakim
konstitusi wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa
keadilan yang hidup dalam masyarakat. Hadirnya ketantuan ini memberikan fleksibilitas kepada hakim untuk
menegakkan keadilan, bukan sekadar menegaskan hukum formil.
Apakah ketentuan formal prosedural bahwa
hakimlah yang menetapkan kadar keadilan harus ditolak, karena tidak menjamin
bahwa putusannya benar-benar adil? Sulit menolak, karena mencari sistem
yang lebih baik daripada itu sangatlah sulit. Lagi-lagi, nilai keadilan pada
setiap orang adalah persepsi pribadi. Sengketa tak berujung akan terjadi jika
tidak ada mediator/hakim. Dengan adanya hakim, maka tidak hanya keadilan yang
akan terwujud, tapi juga kemanfaatan dan kepastian hukum. Jaminannya kualitas
putusan tentu menuntut sosok hakim yang berintegritas dan profesional.
“Keadilan sesungguhnya adalah ketika kita
menerimanya dengan ikhlas”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar