Senin, 28 Mei 2018

Terbungkamnya Nurani

Tak ada kemanusiaan dalam peperangan. Untuk bertahan hidup, setiap orang harus membungkam nurani dan saling membunuh. Ada yang membantai demi nafsu penjajahan, ada juga demi menggapai kemerdekaan. Semua kukuh pada pendirian demi menjadi pemenang. Hingga yang tampak, akhirnya, hanyalah kehancuran dan kematian di mana-mana.
Nurani yang terbungkam, menjadi pemandangan umum dalam situasi penjajahan, termasuk dalam riwayat Indonesia zaman dahulu. Para kolonialis yang datang mencuri sebesar-besarnya kekayaan alam tanah air ini, berlawan dengan anak bangsa yang nasionalis. Berbunuh-bunuhanlah mereka yang memang berada dalam posisi yang berlawanan.
Gambaran tidak manusiawi, juga terlihat pada perang pasca Proklamasi Kemerdekaan. Belanda yang belum rela melepaskan cengkeramannya di tanah Indonesia, berupaya bertahan dengan segala cara. Mereka merongrong kekuasaan pemerintahan negara yang telah merdeka, entah dengan jalan diplomasi yang picik, atau dengan agresi militer yang kejam.
Semangat para pejuang yang mencitakan kemerdekaan sejati, akhirnya bergelora kembali. Mereka terus berjuang, biarpun diburu dan dibunuh di tanah air sendiri. Pun, tak peduli jika harus berlawan dengan sesama anak bangsa yang bersekutu dengan penjajah demi keistimewaan dari imperium kolonial. Semua adalah musuh-musuh revolusi bagi pejuang.
Pasca kemerdekaan diproklamasikan, memang kesadaran berbangsa dan persatuan nasional belumlah utuh. Sistem kolonial yang begitu lama bercokol, telah menginfeksi jiwa sebagian anak bangsa untuk menjajah bangsanya sendiri. Karena itu, perjuangan mempertahankan kemerdekaan, mau tak mau, juga berarti melawan anak bangsa yang prokolonial.
Politik adu domba yang mengakar, tak pelak, mengaburkan batas-batas antara lawan dengan kawan. Di dalam lingkup masyarakat, para pejuang bisa saja berlawan dengan tetangga mereka sendiri. Pun, dalam lingkup keluarga, para pejuang kadang kala berlawan dengan anggota keluarga mereka sendiri.
Keluarga Amilah dalam roman karya Pramoedya Ananta Toer berjudul Keluarga Gerilja (cat: masih menggunakan ejaan lama), mampu menggambarkan dengan baik kondisi penjajahan yang membungkam nurani. Dengan latar waktu tiga-hari-tiga-malam pada awal tahun 1949, di Jakarta, roman tersebut mengisahkan satu keluarga yang porak-poranda dihantam laku kolonial.
Gubahan Pramoedya yang terbit tahun 1950 ini, mampu membawa kesadaran pembaca pada situasi penjajahan yang membunuh kemanusiaan. Dengan menggunakan sudut pandang sebagai pencerita, Pramoedya menggambarkan gejolak batin setiap tokoh dalam 13 subpenceritaan. Nurani para tokoh yang penuh kekalutan, dinarasikan oleh sang maestro ke dalam kata-kata yang penuh kegetiran.
Dikisahkanlah Amilah, seorang wanita tua yang harus menderita karena menanggung beban masa lalu. Semasa perjuangan kemerdekaan, kala masih gadis, ia adalah idaman para lelaki di tangsi militer KNIL. Ia pun bercinta dengan beberapa lelaki, di antara adalah sorang Belanda yang dipanggilnya Letnan “Gedergeder”, lelaki Manado, Benni, dan seorang lelaki Jawa, Paijan, yang akhirnya menikah dengannya. Akhirnya, ia melahirkan tujuh orang anak dari ayah yang berbeda-beda.
Hiduplah Amilah dalam keadaan miskin bersama anak-anaknya di sebuah rumah yang sangat sederhana. Hanya pada Saaman, anak tertua yang berkerja sebagai tukang becak, Amilah menggantungkan hidupnya sekeluarga. Karena itu pula, Amilah menjadi sangat pilih kasih pada anak-anaknya. Ia lebih menyayangi Saaman yang selalu memberinya uang belanja yang cukup. Apalagi Saaman lahir sebagai buah percintaannya dengan Benni, seorang lelaki yang sangat ia cintai.
Saaman memang menjadi tumpuan satu-satunya bagi Amilah. Saaman adalah anak lelakinya yang tertua, berumur 24 tahun, dan begitu peduli pada perekonomian keluarga. Apalagi anak laki-lakinya setelah Saaman, Tjanimin dan Kartiman, sama-sama telah menjadi gerilyawan selama 4 tahun di tengah hutan yang berjarak 39 kilometer darinya. Kedua anaknya itu, pergi berjuang dan tak ia harapkan lagi untuk kembali.    
Atas kasih sayangnya pada Saaman, wajarlah jika kewarasan Amilah menjadi kacau ketika Saaman ditangkap oleh tentara Belanda dan dibawa entah ke mana. Ia mengutuki semua keadaan yang dianggapnya semena-mena. Ia berang karena menganggap tentara Belanda telah salah menangkap Saaman yang ia sangka tak mungkin terlibat dalam berisan perjuang melawan pemerintah kolonial.
Ditahannya Saaman, membuat Amilah kehilangan pegangan hidup bersama empat orang anaknya yang lain, yaitu Salamah, Fatimah, Salami, dan Hasan. Ia pun mengerahkan segala daya dan upaya agar anak kesayangannya itu bisa kembali. Hingga datanglah Sersan Kasdan memberi kabar agar Amilah mengutus Salamah, anak perempuannya yang tertua dan cantik jelita, hasil hubungannya dengan Letnan “Gedergeder”, untuk menjemput Saaman di sebuah tempat.
Tanpa rasa curiga sedikit pun, pergilah Salamah ke satu tempat yang dijanjikan. Pergi seorang diri, sebagaimana perintah. Dan nahas bagi Salamah, sebab Sersan Kasdan hanyalah seorang penipu yang akhirnya menjebak dan memerkosanya demi membalaskan dendam pada Saaman atas kematian ayahnya. Sedang Saaman sendiri tengah meringkuk di tempat lain, di sebuah sel khusus untuk terpidana mati, yang hanya berjarak kurang dari satu kilometer dengan rumahnya.
Di satu sel kecil itulah, Saaman menanti kematiannya. Ia dijatuhi hukuman mati setelah mengaku dengan sejujur-jujurnya kalau ia adalah seorang pejuang kemerdekaan berkedok tukang becak. Secara diam-diam, ia telah mengerahkan orang-orang untuk memusuhi pemerintah, sampai membunuh 56 orang kolonialis. Dan atas idealismenya, Saaman tak ingin melakukan upaya apa-apa untuk lolos dari hukuman mati itu. Grasi ke ratu Belanda pun, tak hendak ia ajukan.

“Aku senang karena telah mempergunakan hidupku sebagai jang sudah kutentukan sendiri,batin Saaman dalam selnya (hlm. 101).

Sebagai seorang pejuang sejati, Saaman sungguh memegang teguh nurani dan prinsip-prinsip kepahlawanan, sebagaimana yang pernah ia pesankan pada adik bungunya, Hasan:

“... Asal engkau pandai. Asal engkau berani. Asal engkau punja pendirian. Asal engkau sehat. Nanti kalau engkau sudah besar engkau bisa djadi djenderal. Engkau boleh memimpin pasukan. Beribu-ribu banjaknja, berpuluh ribu opsir dan pradjurit. Asal engkau djudjur.”
“Djujur djuga?” tanya Hasan.
“Tentu, Hasan. Kalau engkau tak djudjur, dosamu banjak. Dan kalau dosamu banjak, engkau takut mati. Engkau takut luka. Engkau djadi takut berperang.” (hlm. 23)

Di sisi bumi yang lain, Kartiman sedang bergerilya dan menantang kematian. Ia berjuang mempertaruhkan nyawa. Hingga muncul firasat dalam dirinya sendiri kalau maut akan segera datang menjemputnya. Firasat kematian itu, menyeruak seiring terbayangnya dosa besar yang ia lakukan di masa lalu. Satu dosa pada anggota keluarganya sendiri. Sampai benarlah, ia mati tertembak musuh saat sedang menggempur iring-iringan kendaraan Belanda beserta antek-anteknya.
Tak lama setelah gugurnya Kartiman, kakak sekaligus teman seperjuangannya, Tjanimin, juga meregang nyawa. Atas informasi mata-mata, Belanda tahu juga keberadan kopral gerilya itu. Ia pun terkepung di sebuah rumah warga seusai pemakaman Kartiman. Ia terkepung bersama Ratni, istri Kartiman, kala mereka tengah membahas rancana kehidupan di masa depan. Hingga ia pun mati tertembak, tanpa perlawanan. Satu kematian yang sedari dulu ia sadari akan datang juga membalas dosa besarnya, sebagaimana Kartiman.
Selang kematian Tjanimin, Saaman pun memasrahkan diri untuk mati diberondol peluru. Ia menyambut kematian dengan penuh penerimaan. Ia menerima sepenuh hati hukuman mati atas dirinya, tanpa rasa takut sedikit pun. Kematian adalah kehormatan baginya sebagai pejuang. Kematian, juga berarti ketenangan yang akan mengenyahkan hantu atas dosa besarnya di masa lalu, sebagaimana kedua adiknya. Karena itu, ia bahkan meminta kepada Karel van Keeling, seorang peranakan (berayah Belanda, beribu Indonesia), direktur tahanan yang diam-diam bersimpati pada perjuangannya, untuk mempercepat eksekusi.

“Kalau djiwa sudah bertentangan dengan badan, kalau perbuatan jang didjalankan djauh bertentangan dengan kesutjian jang ada dalam tjita-tjitanja, itulah suatu tanda badan itu harus dibunuh untuk memenangkan djiwa. Untuk memenangkan kesutjian jang ada dalam tjita-tjita,” kata Saaman kepada Karel van Keerling yang terus menyarankan upaya kepadanya untuk lolos dari hukuman mati, kemudian melanjutkan, “Kalau bukan diri sendiri jang membunuh badan itu, maka orang lainlah yang harus membunuhnja.”  (hlm. 107).

Dan kepada Karel, lagi-lagi, Saaman menegaskan penentangannya untuk mengemis hidup. Ia lebih baik mati ketimbang tunduk dan menghamba pada laku kolonialis:

Segala kekedjaman dan kekedjian datang dari mereka yang mempertahankan kedudukan perseorangan. Mempertahankan harta bendanja.” Saaman menahan tertawanja dan berkata lagi. “Tuan tidak pernah tahu, bagimana satu keluarga hantjur seperti serumpun bambu habis dimakan api. Tuan belum pernah liat betapa seorang nenek-nenek memanggul sendjata mempertahankan tanahairnja. Tuan pasti tidak pernah melihat kanak-kanak dari tudjuh tahun menggeranati konvoi inggeris, karena ibu-bapaknja dibakar hidup-hidup oleh apa jang dinamainja musuhnja. Semua itu pernah kulihat disini, di Djakarta tahun empatlima. Dan tuan sekarang,” Ia tertawa keras-keras, seperti dia sendirilah direktur pendjara, kemudian meneruskan dengan suara tertahan-tahan “Alasan tuan alangkah ketjil, nasib keluarga.” Dan sekarang, meledaklah tertawanja sedjadi-djadinya.
Dan direktur itu mendalamkan tunduknja. Nampak mukanja sangat lesu dan bibirnja djadi biru.
Saaman meneruskan tertawanja, “Supaya tuan bisa makan terus, terus, terus, terus, terus sampai mati. Supaya tuan busa menikmati rahmat bumi. Supaya, supaya, supaya tuan bisa berkasih-kasihan dengan anak-anak tuan. Dan berhangat-hangat dengan bini,” Tertawanya kian lama kian menurun, achirnja hilang… (hlm. 142)
“Ja, tahulah aku sekarang, orang jang ada dibawah kuntjiku disini belum tentu pendjahat. Aku tahu bahwa banjak diantara orang-orang disini dengan sungguhhati berdjuang untuk tanahairnja dan rela djuga memberikan djiwanja. Aku tahu. Aku tahu. Dan mereka itu semua aku anggap sebagai musuhku sendiri tadinja. Tuan tahu -musuh dari nasib baikku. Musuh dari keluargaku. Musuh dari kedudukanku jang baik. Musuh gadjiku. Musuh dari seluruh kesenanganku. (hlm. 142-143).

Akhirnya, matilah Saaman, Kartiman, dan Tjanimin. Tiga saudara seibu yang sejatinya berbeda ayah itu, telah terjebak dalam dosa masa lalu yang mengantarkan mereka pada kematian. Satu dosa besar yang menjadi rahasia mereka bertiga. Mereka telah bersekongkol untuk membunuh Paijan, seorang lelaki yang telah menjadi sosok ayah bagi mereka. Mereka membunuh Paijan, sebab lelaki tua itu menghambakan diri pada penjajah. Mereka membunuh Paijan, demi perjuangan mereka pada kemerdekaan bangsa.
Dari renungan Tjanimin sebelum meninggal, tergambarlah alur peristiwa memiriskan itu:

“Tahu? Aku sudah diangkat djadi kopral lagi,” katanja lagi (Paijan).
…Dan Kartiman nampak hitambiru mukanja. Ia (Tjanimin) memandang Saaman, kakaknja jang tertua dan berkata:
“Kak, Aman, tjoba lihat! Bangsat betul!” katanja berbisik. “Di Atjeh, dibunuhnja orang Atjeh. Di bali dibunuhnja orang Bali. Di Sulawesi. Di Borneo. Bangsat! Sekarang dia disini dengan tanda-pangkat pembunuhnja. Tahu siapa jang akan dibunuhnja sekarang? Nanti? Tahu? Aku! Kau! Kita semua, anak-anaknja. Dan dirinja sendiri.”
Ia menunduk berpikir. Kartiman djuga. Saaman Djuga. Kemudian ketiga-tiganja mendjauh. Dan achirnja Saaman berbisik:
“Lebih baik singkirkan dia,” bisiknja. “Kalau tidak, seluruh keluarga kita pasti dimakan bambu runtjing.”
Dan Kartiman mengangguk. Ia djuga, Tjanimin. Kemudian ketiga-tiganja memandang Paijan. (hlm. 40)
…Achirnja ia dan Saaman dan Kartiman membawanja ketepi Tjiliwung, dibawah djembatan. Hari terang bulan. Dan saksi tidak ada selain alam sendiri. Paijan mabok oleh wiski baru. Dan Kartiman menembaknya dengan cold tjap kuda pada kepalanya. Kemudian bangkai itu disepaknya keair. Achirnja Saaman berbisik:
“Bapak sudah djadi manusia sedjati sekarang. Sudah djadi mait dia. Mari kita hormati.”
Ia dan Kartiman dan Saaman menundukkan kepala. Tak bergerak. Presis hamba Nippon menjembah istana Tennoo.
“Bapak meninggal dalam keadaan mabok. Dalam keadaan senang. Dan tak ada alasan bagi kita untuk bersedihhati.” (hlm. 46).

Kini, matilah ketiga pejuang bersaudara itu. Mati terbunuh demi perjuangan membebaskan bangsa sendiri dari belengggu penjajahan. Mati di tempat yang berbeda-beda di tanah air sendiri, tapi dengan satu semangat perjuangan yang sama, yaitu mewujudkan kemerdekaan yang sejati sebagaimana cita-cita Proklamasi Kemerdekaan. Mereka mati secara terhormat sebagai pejuang yang tak kenal kompromi pada penjajah dan antek-anteknya, meski harus membungkam nurani mereka sendiri.
Di atas kuburan Saaman, berdukalah Amilah begitu dalam. Ia meratapi harapan hidupnya yang mati bersamaan dengan matinya Saaman. Ia merasapi kegalauan hidupnya sepeninggal Saaman yang tak ia sangka-sangka gugur sebagai seorang gerilyawan yang senyap. Sampai akhirnya, duka yang begitu dalam setelah ditinggal pergi, membuat Amilah meninggal di atas kuburan Saaman, menyusul sang anak di alam kematian.
Di hari itu juga, berkunjunglah Karel van Keerling untuk memberikan penghormatan kepada Saaman secara diam-diam. Datang juga mantan kekasihnya, Zainab Juliati, bersama suaminya yang seorang marinir, yang akhirnya ia tahu, memiliki cinta yang tak sesuci cinta Saaman. Pun, datang pula Salamah dan adik-adiknya, juga Darsono, seorang lelaki yang mencintainya, yang tetap menerima keadaannya yang telah ternoda, serta bersedia menghidupinya sekeluarga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar