Minggu, 20 Mei 2018

Perempuan Dijajah Kuasa

Zaman dahulu, ketika kultur patriarki masih menancap di benak para pendahulu, kaum perempuan tak lebih dari barang milik laki-laki. Perempuan menjadi serupa perhiasan yang tak punya hak atas dirinya sendiri. Mereka dituntut untuk terus melayani kepentingan para lelaki, seakan-akan itu kepentingan mereka juga.  Mengabdi saja, seolah-olah mereka memang ditakdirkan demikian.
 
Konstruksi sosial yang merendahkan martabat perempuan, semakin kokoh dalam kultur feodal. Para perempuan dianggap kaum kelas dua yang sepatutnya menghamba pada tuan-tuan. Perempuan dituntut harus pintar-pintar mengambil hati para bangsawan yang punya segala. Perempuan mesti memberikan segala-galanya untuk mengecap bagian dari segala-galanya.

Kultur feodalisme yang menciptakan kelas-kelas sosial, sungguh telah menjadikan kaum perempuan sebagai tumbal. Para perempuan dari kalangan rakyat jelata, yang berada dalam kelas sosial yang dianggap rendah, acapkali diperjualbelikan kepada para bangsawan oleh orang tua mereka sendiri, demi meningkatkan martabat diri sendiri dan keluarga.

Hasrat untuk naik kelas, membuat perempuan serupa barang dagangan semata. Diri mereka harus diserahkan kepada para bangsawan yang menghendaki, tanpa ada yang kuasa merintangi. Alih-alih membela kepentingan pribadi seorang anak perempuan, keluarga seringkali malah turut memaksakan para gadis untuk menikah saja dengan bangsawan demi kebangsawanan.  

Begitu pula nasib Gadis Pantai, seorang gadis yang dilahirkan di sebuah kampung nelayan, Rembang, Jawa Tengah. Segenap dirinya harus diserahkan kepada tuan bangsawan ketika hati dan pikirannya, belumlah matang sebagai seorang perempuan. Ia harus menjadi selir bangsawan kala masih berumur 14 tahun, dan belum juga balig. Ia tak bisa apa-apa, sebab ayahnya memaksa, sedang masyarakat menganggap itu sebagai sebuah kehormatan.

Kisah pilu Gadis Pantai tergambar dalam novel gubahan Pramoedya Ananta Toer berjudul Gadis Pantai. Novel yang ditulis kisaran tahun 1962 ini, dengan apik mengisahkan seorang gadis yang harus menerima hidupnya sebagai istri semu seorang bangsawan. Ia harus menanggalkan kekanak-kanakannya selekas mungkin, dan hidup dengan sikap dewasa di lingkungan istana.

Pada awalnya, Gadis Pantai enggan menuruti hasrat sang bangsawan, seorang Bupati Blora di zaman pendudukan Belanda, yang ditokohkan dengan sapaan Bendoro (panggilan untuk majikan/pejabat tinggi di zaman kolonial). Di tengah ketidakpahamannya soal kehidupan berumah tangga, Gadis Pantai jelas tak sanggup menjadi istri seorang pembesar yang sungguh asing baginya. Tapi mau tidak mau, ayahnya memaksa, sedang ibu dan saudaranya, turut saja.


Emaknya membuang muka, melalui jendela dokar ke arah laut yang menghidupinya sepanjang umur. Tak mampu ia menyatakan, ia nangis melihat anaknya keluar selamat dari kampung nelayan jadi wanita terhormat, tak perlu berkeringat, tak perlu berlari-larian mengangkat ikan jemuran bila rintik-rintik hujan mulai membasahi bumi.

“Mulai hari ini, nak,”emaknya tak sanggung peneruskan, kemudian mengubah bicaranya: “Beruntung kau jadi istri orang alim, dua kali pernah naik haji, entah berapa kali khatam Al-Qur’an. Perempuan nak, kalau sudah kawin jeleknya laki jeleknya kita, baiknya laki baiknya kita. Apa yang kurang baik pada dia?” (hlm. 14).


Akhirnya, menikahlah Gadis Pantai dengan Bendoro dalam ritual yang menunjukkan ketidaksetaraan status sosial kedua mempelai itu. Gadis Pantai tidak disandingkan dengan Bendoro di hadapan penghulu dan didampingi para wali dari pihak keluarga. Gadis pantai hanya diwakili oleh sebuah keris, dengan tokoh kampung selaku wali.

Dan setelah pernikahan, tinggallah Gadis Pantai dalam istana Bendoro. Di dalam gedung yang megah itu, ia hidup dengan perasaan terasing, sebab jauh dari sanak keluarga dan berada di tengah orang-orang yang berbeda. Ia merasa terpenjara, sebab harus menanggalkan kebebasan hidup orang kampung, lalu memulai hidup dengan hukum dan tata krama kehidupan bangsawan.

Namun akhirnya, Gadis Pantai bisa juga menyesuaikan diri dengan kehidupan barunya setelah dituntun oleh wanita tua, seorang pelayan istana yang telah mengabdi untuk mengurus istri-istri dan anak-anak bendoro selama 15 tahun. Dari pelayan itulah, ia mulai tahu kalau dirinya bukan gadis kampung lagi, tetapi seorang bendoro putri yang disapa Mas Nganten, yang kuasa memerintah para bujang-bujang istana.


Dan sekarang gadis pantai tertegun. Ia mulai mengerti di sini ia tak boleh punya kawan seorang pun yang sederjat dengannya. Ia merasai adanya jarak yang begitu jauh, begitu dalam antara dirinya dengan wanita yang sebaik itu (pelayannya) yang hampir-hampir tak pernah tidur menjaga dan mengurusnya, selalu siap lakukan keinginannya, selalu siap terangkan segala yang ia tak paham, bisa mendongeng yang begitu memikat tentang Joko Tarub, dan bisa mengusap bahunya begitu sayang ketika dia hendak menangis. Hatinya memekik: mengapa aku tak boleh berkawan dengannya? Mengapa ia mesti jadi sahaya begitu? Siapakah aku? Apa kesalahan dia sampai harus jadi sahayaku? (hlm. 46).


Tapi sebagai orang yang tahu betul akhir dari kehidupan seorang istri Bendoro dari kalangan kelas bawah, sang pelayan malah prihatin kepada Gadis Pantai yang pemurah:


Nampak bujang (pelayannya) itu merasa kasihan karena Gadis Pantai. Pengalaman selama ini membuat ia banyak tahu tentang perbedaan antara kehidupan orang kebanyakan dan kaum bendoro di daerah pantai. Seorang bendoro dengan istri orang kebanyakan tidaklah dianggap sudah beristri, sekalipun telah beranak selusin. Perkawinan demikian hanyalah satu latihan buat perkawinan sesungguhnya: dengan wanita dengan karat kebagsawanan yang setingkat. Perkawinan dengan orang kebanyakan tidak mungkin bisa menerima tamu dengan istri dari karat kebangsawanan yang tinggi, karena dengan istri asal orang kebanyakan –itu penghinaan bila menerimanya. (hlm. 80).


Hingga datanglah kenyataan memilukan bagi Gadis Pantai. Pelayannya yang penuh kasih sayang, harus diusir dari istana. Pasalnya, sang pelayan begitu lancang memperkarakan para anak-anak bangsawan di istana atas hilangnya sejumlah uang milik Gadis Pantai, hingga membuat gaduh seisi istana. Walau tindakan sang pelayan adalah sebuah kebenaran, dan seorang anak divonis sebagai pelaku, hukum etika di istana tetap menyalahkannya juga.

Gadis Pantai pun harus larut dalam sepi yang mendalam. Ditinggal pergi seorang pelayan tua yang telah ia anggap sebagai ibu sendiri, jelas membuatnya kehilangan. Dan pelayan pengganti dari kota, Mardinah, seorang janda dari kalangan bangsawan, jelas tak ia sukai. Bukannya melayani, pelayan baru itu malah suka berlaku lancang dan menghinakannya sebagai gadis asal kampung.

Rasa jengah dan kesal yang tak terkira, akhirnya membuat Gadis Pantai meminta diri untuk pulang ke kampug. Ia berhasrat menyampaikan kerinduan pada seisi kampung, tempat ia dilahirkan dan melewati masa kanak-kanak. Hingga dilihatnyalah kampung itu tak berubah, kecuali dirinya sendiri yang kini dielu-elukan sanak keluarga dan para warga atas statusnya sebagai istri seorang pembesar.

Tapi kehadiran Gadis Pantai di kampung, ternyata membawa serta sederetan petaka. Mardinah yang menyertainya dari kota, ternyata orang suruhan dari pemerintah Demak. Mardinah hendak membunuh Gadis Pantai demi memuluskan pernikahan Bendoro dengan putri asal Demak yang dianggap sekufu. Namun rencana itu segera diketahui warga kampung. Mardinah pun dihukum untuk menikah dengan seorang pemuda desa, sedang beberapa kawanannya terbunuh.

Dan setelah waktu berlalu cepat, kembalilah Gadis Pantai dalam lingkungan istana dengan merahasiakan percobaan pembunuhan terhadap dirinya. Ia tahu, di istana, sebagaimana nasib pelayan tuanya dahulu, ia tak boleh banyak mengaduh, apalagi jika terkait dengan para bangsawan, sebab itu akan mencelakakan dirinya sendiri.

Suatu hari, datanglah putri bangsawan dari Demak. Di tengah percakapan sang putri dengan Bendoro, tahulah Gadis Pantai kalau Bendoro akan segera menikah dengan putri dari kalangan bangsawan. Tentu saja, sebagai selir dari kalangan masyarakat biasa, Gadis Pantai sadar bahwa ia akan segera disingkirkan demi pernikahan yang sesungguhnya itu.

Benar saja. Keadaan berangsur-angsur berubah. Bendoro mulai bersikap dingin pada Gadis Pantai setelah ia melahirkan seorang anak -mengecewakan Bendoro sebab jenis kelamin anaknya perempuan. Hingga akhirnya, putuslah hukum dari Bendoro sendiri bahwa ia telah diceraikan. Diceraikan karena hukum istana menganggap tugasnya telah selesai. Diceraikan tanpa hak untuk memiliki anaknya sendiri. 


“Anak ini, tuanku, bagaimana nasib anak ini?” Gadis Pantai memekik rintihan.
“Anak itu? Apa guna kau pikirkan? Banyak orang bisa urus dia. Jangan pikirkan si bayi.”
“Mestikah sahaya pergi tanpa anak sendiri? Tak boleh balik ke kota untuk melihatnya?”
“Lupakan bayimu. Angggap dirimu tak pernah punya anak.” (hlm. 258)


Gadis Pantai pun terusir dari istana. Ia terusir dengan kehinaan. Terusir dari istana suaminya, serta harus meninggalkan anak yang telah ia lahirkan sendiri . Ia pun membatin:


Dia akan jadi priyai. Dia anakku. Dia akan tinggal di gedung. Dia akan memerintah. Ah, tidak. Aku tak suka pada priayi. Gedung-gedung berdinding batu itu neraka. Neraka. Neraka tanpa perasaan. Tak ada orang mau dengar tangisnya. Kalau anak itu besar kelak, dia pun takkan dengar keluh-kesah ibunya. Dia akan perintah dan perlakukan aku seperti orang dusun, seperti abdi. Dia perlakukan aku seperti bapaknya memperlakukan aku kini dan selama ini. Tapi lindungilah dia. Dia anakku yang tak mengenal emaknya, tak kenal lagi air susu emaknya. (hlm. 268-269).


Pulanglah Gadis Pantai ke kampungnya. Ia pulang dengan satu pengetahuan kalau ia memang hanyalah istri percobaan untuk Bendoro sebelum menikah dengan istri sunguhan dari kalangan bangsawan. Ia pulang setelah dijemput ayahnya sendiri, yang juga tahu betapa tragis kehidupan putrinya, si Gadis Pantai, yang hanya jadi gundik Bendoro untuk sementara waktu.

Mau tak mau, Gandis Pantai harus menerima kenyataan bahwa semuanya telah berubah. Setelah ia enggan dinikahkan dengan Bendoro, dan setelah ia mampu menyesuaikan diri sebagai istri seorang bangsawan, ia harus kembali menjadi orang kampung yang bukan siapa-siapa. Ia sadar, walaupun kebangsawanan telah memuliakannya sementara waktu, ia memang harus kembali menjadi seorang Gadis Pantai dengan segala kehinaannya, seperti di awal.

Di tengah perjalanan, terbayanglah oleh Gadis Pantai kalau-kalau warga kampung akan memandang aneh terhadap dirinya. Para warga tak akan lagi memuliakan ia seperti kala masih jadi istri pembesar, atau memperlakukannya secara biasa seperti sedia kala. Akan ada sekat antara ia dengan kehidupan di kampungnya sendiri. Karena itu, ia mengurungkan niat untuk kembali ke perkampungan. Ia menyimpang arah menggunakan dokar, ke selatan, ke Blora, meninggalkan ayahnya di tepi perkampungan, untuk pergi mencari pelayan tuanya dahulu.

Berakhirlah cerita Gadis Pantai dalam satu bagian yang sejatinya trilogi. Satu cerita dari tiga fragmen, sedang dua fragmen yang lain, lenyap dimakan kebrutalan angkatan darat di bawah rezim otoriter yang phobia aksara. Rahasia hidup Gadis Pantai dalam cerita yang sirna itu, tentu saja masih menyimpan banyak misteri. Entah tentang masa depan anaknya, kehidupan keluarga Bendoro dengan istri sungguhan, hubungan antarpriayi yang memerintah daerah, atau tentang akhir perasaannya kepada seorang pemuda priayi asal Demak yang sempat bertandang ke istana Bendoro dan seketika membuatnya jatuh hati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar