Senin, 14 Mei 2018

Mereka yang Membenci Dunia

Lagi-lagi, kawanan teroris berulah. Setelah aksi brutal mereka di Rutan Mako Brimob, Depok, pada hari Selasa, 8 Mei, mereka kembali melakukan aksi secara beruntun. Pada hari Jumat, 11 Mei, seorang polisi di Mako Brimob tewas setelah diserang oleh seorang teroris. Kemudian pada hari Minggu, 13 Mei, mereka melakukan aksi bom bunuh diri pada tiga gereja di Surabaya.  Dan hari ini, Senin, 14 Mei, terjadi lagi aksi bom bunuh diri di Markas Polres Kota Surabaya, juga meledaknya bom di kediaman terduga teroris di Rusun Wonoloco, Sidoarjo.
 
Puluhan orang meninggal dunia, baik para pelaku maupun orang yang sengaja disasar para peneror. Tak kalah banyak juga yang menderita luka berat dan harus menanggung cacat fisik seumur hidup. Belum lagi rasa trauma yang dirasakan oleh mereka yang selamat, yang akan terus menghantui. Dan tentu juga, secara psikologis, aksi teror tersebut juga mengganggu rasa keamanan dan ketenteraman masyarakat Indonesia.

Setiap orang yang masih memiliki nurani, pastilah miris dan prihatin menyaksikan kejadian tersebut. Akan muncul tanya, bagaimana mungkin sekawanan anak manusia begitu tega memperlakukan sesamanya dengan tidak manusiawi? Apakah mereka yang mengatasnamakan kebenaran itu, masih patut dianggap manusia?

Tuntutan yang muncul, akhirnya beragam. Dari sebagian mereka yang geram, ada yang meminta agar para pelaku dibunuh saja, demi melenyapkan ancaman bahaya. Apalagi, para teroris, memang tak lagi memedulikan nyawa orang lain. Belum lagi, para teroris adalah penganut ideologi yang bersangkut-paut dengan kepercayaan agama, sehingga sulit diluruskan kembali.

Tapi sebagian yang lain, tak bersepakat dengan sikap emosional. Mereka berpendapat kalau para teroris adalah orang-orang yang tersesat, sehingga harus dituntun untuk kembali pada jalan kebenaran, bukan malah diperlakukan secara tidak manusiawi juga. Bagi mereka, kejahatan tidaklah patut dibalas dengan kejahatan, melainkan ditaklukkan dengan kebaikan.

Akhirnya, orang-orang terjebak pada kebimbangan soal bagaimana semestinya memperlakukan para teoris. Mungkinkah upaya deradikalisasi yang bersifat persuasif akan mampu mengatasi persoalan paham dan aksi terorisme di negara ini?

Alur Pikir Teroris

Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa teror-teror selama ini, sangat bertalian dengan aspek keagamaan. Seorang teroris dengan gagah-berani melakukan aksi teror sebab mengatasnamakan dalil agama. Mereka menafsir aksi teror sebagai perintah agama yang wajib ditunaikan. Mereka menganggap kalau aksi teror merupakan wujud pembaktian tertinggi kepada Tuhan.

Karena para teroris mendasarkan aksinya pada dimensi spiritualitas agama, maka sebab dan akibat yang mereka harapkan dari tindakan teror, juga berkutat pada demensi tersebut. Mereka meneror, hingga membunuh, sebagai wujud semangat spiritulitas mereka. Pun, dari aksinya itu, mereka hanya mengharapkan ganjaran berupa nikmat surga di hari kemudian.

Dengan pola pikir yang dikerangkeng dalam nikmat akhirat, para teroris akhirnya tak peduli lagi pada kehidupan dunia. Mereka mengokohkan diri sebagai penganut paham yang berlawan dengan paham sekuler. Tapi tanpa sadar, mereka juga tetap terjebak dalam dikotomi dunia dan akhirat, meski mengambil posisi sebaliknya, yaitu mementingkan kehidupan akhirat.

Yang terjadi kemudian, para teroris tak lagi menganggap dunia sebagai ladang untuk mengumpulkan bekal menuju akhirat dengan penuh kesabaran. Mereka meyakini bahwa dunia hanya persinggahan, yang cepat atau lambat, akan ditinggalkan jua. Hingga mereka pun mencari cara yang paling instan untuk meninggalkan dunia, sembari mendapatkan nikmat di akhirat.

Bagi para teroris, tinggal berlama-lama di dalam dunia yang semu dan fana, bersama orang-orang yang mereka anggap para penipu sebab mencintai dunia, adalah pilihan hidup yang berisiko. Pilihan terbaik bagi mereka adalah membinasakan para penipu yang bisa menyeret mereka pada paham yang dianggapnya salah, agar dunia tak lagi disesaki tipuan-tipuan.

Para teroris tak lain adalah orang-orang yang membenci dunia. Atas pandangan bahwa dunia hanyalah persinggahan yang penuh tipuan, yang mampu menyesatan perjalanan menuju akhirat, mereka rela melawan dunia dan seisinya, dengan mempertaruhkan segalanya. Kalau pun harus kehilangan nyawa, itulah yang terbaik, sebab mereka yakin akan sampai pada tujuan akhir yang indah, di surga, tanpa perlu berlama-lama di dunia yang penuh godaan.

Jika demikian, bisa disimpulkan bahwa teroris adalah orang yang membenci dunia sebab mereka takut terperdaya oleh dunia. Mereka hendak memusnahkan pendosa di dunia, yaitu orang-orang yang tak sepaham dengannya, agar tak terpengaruh bujukan mendosa. Mereka hendak menegakkan satu paham keagamaan dan melenyapkan yang berbeda, sehingga mereka punya jaminan akan terhindar dari paham yang mereka anggap salah dan sesat, yang potensial menjerat mereka di dunia yang semu.

Teroris pada akhirnya adalah orang-orang yang tak menghargai perbedaan. Jikalau pandangan umum mengaggap setiap orang bebas memilih jalan hidupnya di dunia, teroris menganggap itu salah, dan hanya boleh ada satu jalan, yaitu jalan yang mereka benarkan. Jika pandangan umum menganggap bahwa perilaku seseorang boleh berbeda, tergantung pada keyakinan mereka masing-masing, teroris tak membenarkannya, dan hanya boleh ada satu hukum perilaku. 

Para teroris, jelas terjebak dalam pola pikir yang inklusif dan tak menghargai pluralitas keduniaan. Mereka menganggap hanya kelompok mereka yang benar, dan yang berbeda adalah salah, sehingga pantas dimusnahkan. Sungguh, mereka tak lagi menganggap perbedaan sebagai rahmat untuk saling berbagi kebaikan. Mereka tak lagi menanggap kekeliruan dan kekhilafan sebagai ruang untuk saling menasihati dengan kebijaksanaan.

Akhirnya, para teroris sesungguhnya adalah orang-orang yang takut terjerembat ke dalam godaan-godaan dunia. Mereka adalah orang yang takut tersesat di tengah jalan kehidupan dunia yang bercabang-cabang. Karena itulah, mereka bertekad melawan dunia, menghancurkan dunia, sebelum dunia menghancurkan mereka. Mereka teguh berperang melawan dunia, agar dunia tak balik memperdaya nafsu mereka sendiri.

Bercinta dengan Dunia

Dunia memang dihiasi beragam lakon yang mencitrakan nilai-nilai yang berbeda. Tapi atas perbedaan itulah, nilai memiliki arti. Ada ketidakadilan, sehingga orang lain bisa berlomba-lomba menebarkan keadilan. Ada kemiskinan, agar orang lain memiliki ruang untuk berbagi. Ada kesesatan agar orang lain punya kesempatan untuk saling menasihati.

Akhirnya, yang bisa membuat orang menerima dunia yang penuh anomali hanyalah rasa cinta. Rasa yang membuat seseorang tak membenci mereka yang dianggap sesat, tetapi malah memberikan kasih agar mereka turut selamat, sebagaimana ia mengharapkan keselamatan untuk dirinya sendiri. Rasa yang membuat seseorang menginginkan keselamatan bagi orang lain, sehingga membunuh pendosa dipikirnya salah, sebab menutup ruang bagi yang dianggap sesat untuk menuju keselamatan bersama.

Cinta berarti tidak membenci siapa-siapa, bahkan orang zalim sekali pun. Cinta hanya membenci kezaliman yang bisa menjangkiti siapa saja. Karena itulah, pencinta tak akan pernah membenci siapa-siapa, kecuali membenci kebencian itu sendiri. Cinta adalah alasan bagi setiap orang untuk saling mengasihi dan mengenyahkan kebencian, sehingga enyahlah sikap saling menzalimi satu sama lain.

Rasa cinta itu pulalah yang perlu ditanamkan dalam jiwa para terororis, atau orang-orang yang potensial jadi teroris atas nama agama. Mereka perlu diberi kesadaran bahwa dunia memang penuh dengan pergulatan nilai. Dan bagi manusia yang hidup di dunia yang penuh perbedaan, tak mungkin bisa melenyapkan nilai-nilai sesat atau salah, sebab manusia tidaklah sempurna, dan senantiasa salah dan khilaf. 

Karena itu pula, bagi manusia, tak mungkin melenyapkan kesesatan hanya dengan membunuh orang-orang yang dianggap sesat. Yang bisa dilakukan setiap orang yang punya kesadaran atas kebenaran hanyalah berdiri teguh di jalan kebenaran, sembari terus mengajak orang lain pada jalan yang sama, dengan penuh kesabaran, bukan dengan amarah.

Yang tak kalah penting dari upaya membasmi paham teroris adalah menumbuhkan kesadaran pada setiap orang untuk senantiasa menghadirkan dunia yang penuh cinta. Setiap orang harus memedulikan sesamanya, agar tak merasa terasing di dunia. Terlebih, sudah menjadi pemahaman umum bahwa yang membenci dunia adalah mereka yang juga tak mendapatkan cinta yang cukup di dunia. 

Mereka yang mengalami ketidakadilan sosial dan ekonomi, misalnya, jelas sangat rentan terhasut propaganda terorisme. Jikalau mereka merasa dunia bukanlah ruang untuk mendapatkan kehidupan yang layak, maka mereka dengan mudah didoktrin untuk percaya bahwa akhirat adalah ruang yang menyediakan segalanya. Jikalau keadilan di dunia tidak ditegakkan, mereka akan mendambakan keadilan di akhirat, sampai berusaha mewujudkannya dengan cara apa pun.

Jelaslah bahwa setiap orang yang mengimani keberadaan Tuhan, tentu juga memercayai perihal eskatologi, atau hari kebangkitan. Apalagi dalil-dalil kitab suci, banyak menggambarkan kehidupan di hari kemudian itu. Tapi kerinduan yang mendalam pada kehidupan akhirat, tak semestinya membuat kehidupan di dunia dianggap tak berguna dan dinilai sebagai tipuan semata, sebagaimana pandangan para teroris.

Hidup di dunia, harusnya menjadi ruang untuk memperbanyak amalan baik sebelum takdir kematian mendatangi. Harusnya setiap insan mencintai dunia dan seisinya, sebagaimana ia mengharapkan cinta di akhirat. Bukankah cinta yang kita rasakan di hari kemudian (baca: surga), setimpal dengan cinta yang kita terbarkan di dunia? Jadi, dunia memang hanya persinggahan. Tapi janganlah buru-buru ke akhirat, sampai lupa membawa bekal yang cukup dari dunia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar