Senin, 15 Januari 2018

Pesan Terabaikan

Kuawali malam dengan riang gembira. Itu karena aku terbayang-bayang padamu. Terbuai imajinasiku sendiri, tentang pertemuan kita satu jam ke depan, sesuai perjanjian. Terlena membayangkan rona wajahmu yang manis dan tak menjemukan, bak titisan bidadari, sampai membuat hatiku bergetar. Dan kupastikan, getarannya akan bertambah dahsyat saat aku benar-benar menatapmu. Mungkin seumpama aku tersambar sejuta petir yang mengalirkan daya ke dalam tubuhku, hingga aku sanggup menjalani hidup selama-lamanya, bersamamu.
 
Telah lama aku menanti untuk sebuah momen pertemuan kita. Pertemuan spesial, hanya antara aku dan kamu. Satu saat yang pas untuk aku meluruhkan semua isi hati yang selama ini terpendam. Dan sore tadi, entah bagaimana bisa, aku sanggup mengajakmu bertemu di sebuah restoran yang mewah. Restoran kelas atas, yang terpaksa kupilih demi menyenangkan hatimu. Tak peduli berapa banyak isi kocek yang harus kukeluarkan, asal kau merasa nyaman, hingga menerima tawaran perasaanku.

Jelas saja, aku tak ingin kecewa. Aku tak ingin menyatakan perasaan, yang kemudian, tak kau respons seperti yang kuinginkan. Aku tak ingin sakit hati, sedang kau merasa berdosa. Tapi akhirnya, kuyakini juga, bahwa keadaan buruk itu, tak akan terjadi. Tanpa maksud mendahului takdir, kupastikan, kau akan menyambut perasaanku dengan setulus hati. Aku bisa melihat tanda-tandanya dari raut senang di wajahmu, setiap kali kita bertemu. Hingga saat aku memberimu perhatian, kau akan tampak malu-malu dan salah tingkah.

Isyarat perasaanmu, memberiku kepercayaan diri untuk segera menuntaskan kekalutan. Hanya butuh sedikit keberanian untuk berucap, hingga sekat-sekat di antara kita, sirna seketika. Dan jika begitu, maka kebersamaan kita pun, bukan lagi atas nama pertemanan yang penuh perhitungan. Kesegananmu padaku akan sirna kala memohon perihal apa pun, dan aku mewujudkannya dengan senang hati. Keinginanmu akan menjadi kesempatan bagiku untuk berkorban, tanpa berharap balas.

Demi memastikan semua berjalan sesuai rencana, malam ini, aku tak mau memedulikan hal lain. Kuabaikan tugas kuliahku, juga ajakan-ajakan untuk bermain game atau futsal. Dan untuk menghindari kebimbangan, aku tak ingin menghiraukan pesan dan panggilan yang masuk ke telepon genggamku. Aku tak mau tahu tentang informasi apa pun, termasuk yang bersifat darurat, sebab perhatianku bisa tercuri darimu. Aku tak ingin duduk di hadapanmu, sedang pikiranku direcoki persoalan lain. 

Dan demi akhir yang indah, aku tak lupa memerhatikan penampilan. Kusisihkan banyak waktu untuk menyerasikan pakaian, menata rambut, hingga memilih jenis parfum yang mampu menghidupkan suasana romantis, juga membangkitakan kepercayaan diriku. Setidaknya, dengan begitu, aku telah mengenyahkan rintangan pada diriku sendiri, sehingga aku bisa berucap dengan tenang. Untuk itu, aku pun berlatih melafalkan kata-kata pernyataan untukmu, sambil berkhayal tentang kelangsungan obrolan kita.

Aku akan berkata: Riana, aku merasa ada yang berbeda tiap kali aku dekat denganmu

Kau akan tampak malu-malu. Seakan meminta agar aku segera menegaskan isi hatiku: maksudmu?

Akan kutatap matamu dalam-dalam: Aku sulit menjelaskannya. Dan kata-kata, tak akan cukup untuk menggambarkannya. Tapi jika memang pantas, aku menamakan itu, cinta.

Matamu akan tampak berkaca-kaca. Seperti meminta agar aku segera menandaskan.

Kutegaskanlah dengan sungguh-sungguh: Aku jatuh cinta padamu.

Kau akan tampak tersipu.

Jika begitu, aku akan berlutut di sampingmu, menawarkan sebuah cincin, sembari meminta kepastian: Sudikah kau menjadi kekasihku?

Dan kubanyangkan, kau akan menangis bahagia, kemudian menjawab tanpa ragu: Ya!

Demikianlah bayanganku tentang obrolan kita, nanti.

Dan bersama khayalan yang terus menjalar, aku pun siap berangkat. Kutiliklah jam di dinding. Sisa 15 menit menuju jam 9. Itu artinya, aku punya 15 menit sebelum sampai. Kutimbang-timbang, aku butuh 10 menit dalam perjalanan. Jika tak ada rintangan, maka masih tersisa 5 menit untuk menunggu, kalau memang aku datang lebih awal. Dan jelas saja, di momen yang spesial ini, aku tak ingin datang terlambat barang sedetik saja. 

Setelah memastikan tak ada yang terlupa, aku pun bergegas menuju titik di mana sepeda motorku terparkir. Aku ingin segera melaju di jalan beraspal, sekencang-kencangnya. Tapi sial, kunci motorku tak ada. Aku menaruhnya entah di mana, atau terjatuh di sembarang tempat. Aku pun jadi kalang kabut. Kutelusuri segala ruang. Kusibak barang yang kira-kira menutupi benda kecil itu. Namun, pencarianku tak juga berhasil. Hingga akhirnya, aku mendapati kunci itu bersemayam dengan tenang di dalam helm yang sebelumnya kutenteng. 

Segera saja, aku kembali bergegas.

Belum juga aku menyalakan sepeda motor, sebuah pesan singkat masuk dalam gawaiku. Kutilik nama pengirim di layar utama, dan kulihat, hanya seorang relawan dari Palang Merah. Tanpa kusibak dan kubaca pesannya, bisa kupastikan, itu hanya berisi pemintaan donor darah. Jelas, aku tak mau tahu, sebab perhatianku malam ini, hanya untukmu saja. Hingga akhirnya, nomor yang sama, melakukan panggilan langsung ke telepon genggamku. Dan tegas saja, aku mengabaikannya tanpa peduli. 

Dan sampai juga aku di lintasan jalan raya. Sebagaimana biasa, jalanan macet. Aku harus lihai mencari celah agar dapat menyusup dan menjauhi kendaraan yang bergumul. Hingga aku harus bersabar, sebab rintangan bukan hanya soal kendaraan yang padat. Angkot berhenti di sembarang tempat, penyeberang jalanan menyimpang dari zebra cross, pengemis memalang jalanan setelah lampu hijau, anak jalanan menyemrautkan lalu lintas di persimpangan jalan, adalah rintangan yang komplit sebagai penguji kesabaran. 

Setelah melewati segala macam rintangan yang menguras emosi, tiba juga aku di tempat yang kita perjanjikan, tepat jam 9 lewat 3 menit. Syukurlah, kau tak datang lebih awal sampai kecewa atas keterlambatanku. Hingga untuk waktu-waktu selanjutnya, aku rela menanti, bahkan sampai pagi sekali pun. Itu tak masalah, asal kerisauan hatiku, segera tuntas malam ini. Jelas, aku tak ingin menyambut pagi dengan perasaan yang masih menggantung.

Waktu terus bergulir. Setengah jam berlalu, aku tetap bersetia menunggumu. Hingga setengah jam selanjutnya, keteguhanku pun tak berubah. Tapi, muncul juga kekhawatiran dalam hatiku, kalau-kalau kau berhalangan. Hingga akhirnya, aku menghubungimu. Tapi hasilnya, nihil. Telepon genggammu tak aktif untuk merespons panggilan dan pesan singkat dariku. Dan akhirnya, tersisa waktu kurang dari satu jam lagi, saat aku harus menyerah, meninggalkan tempat, jika tak mau diusir satpam. 

Dalam detik-detik yang tersisa, jelas saja, batinku tersiksa. Sedetik seakan merentang jadi sejam. Dan itu, sungguh menyakitkan. Bukan karena ketidakmunculanmu, tapi karena deru hasratku menyatakan cinta. Hingga sampailah waktu. Tepat jam 11 malam, kau tak juga datang. Aku pun terkalahkan oleh ruang dan waktu. Aku harus memendam kembali perasaan yang telah menggunung. Harus beranjak pergi dengan rasa pilu dan kecewa. Pulang membawa tanda tanya, tentang apa gerangan yang mambuatmu tega mengenyahkan separuh nyawaku malam ini.

Kutilik lagi telepon genggamku. Berharap ada penjelasan atau permintaan maaf darimu. Namun tak ada pesan yang kuterima. Yang terlihat di notifikasi, hanyalah sebuah pesan dari pencari donor darah, yang sedari tadi, kuabaikan begitu saja. Dengan tanpa perasaan apa-apa, kusibaklah pesan itu, sekadar untuk mengenyahkannya dari daftar notifikasi. Hingga akhirnya, mataku terpaku pada isi pesan yang kuanggap tak penting itu: 

Dibutuhkan segera darah O+ untuk pasien atas nama Riana Velita, yang saat ini sedang kritis di rumah sakit, setelah mengalami pendarahan akibat kecelakaan…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar