Mereka
pasti sangat bahagia. Hari ini, pernikahan mereka dilangsungkan. Penuh kejutan.
Sebagaimana layaknya orang menemukan jodohnya. Mengesankan. Telah berhasil menyibak
tabir rahasia yang dirisaukan separuh hidup. Sangat mengharukan pastinya.
Seakan menjadi raja dan ratu. Duduk berdua di singgasana. Menatap masa depan
berdua, di antara banyak pasang mata yang menyiratkan pesan. Ada yang turut
bahagia, tapi ada juga yang kecewa, sebab harapannya untuk memiliki satu di
antara mereka, kandas selamanya. Entahlah. Yang pasti, sudah tak akan ada yang boleh
mengusik, karena ijab telah dikabul. Pintu hati telah tertutup untuk pendatang
tak terhingga.
Keputusan
Azra tak disangka banyak orang. Lelaki mapan dan tampan itu rela menambatkan
hatinya pada Niza, seorang wanita yang dipandang tak serasi dengannya. Tekad Azra
benar-benar kuat. Tak dihiraukannya gunjingan orang-orang tentang tampakan
fisik sang istri. Cintanya sudah terlanjur terikat pada Niza, perempuan yang
jauh dari kesan rupawan. Sebelah kanan pipinya, hampir mencapai bagian depan
wajahnya, penuh dengan luka bakar. Membuat lesung pipinya yang dalam jadi tersamarkan.
Sisi kanan kepalanya juga tak lagi ditumbuhi rambut. Jika tak ditutupi dengan bahan
tata rias dan pernak-pernik mode, ia akan tampak menyeramkan. Tapi semua tak
dipermasalahkan Azra. Ya, cinta memang buta.
“Aku
mohon, menikahlah denganku Niza. Aku sungguh-sungguh,” pinta Azra lewat telepon,
sehari sebelum lamaran.
Niza
hanya diam tertegun. Menghela napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya secara
tertahan-tahan. Sukmanya bergetar menggigil. Bak salju tiba-tiba mengguyur
badannya. “Tapi…. Tidak Azra! Kau tak seharunya mengucapkan itu. Tak seharusnya
kau terbebani atas kejadian yang menimpaku. Lagi pula, tak ada yang bisa
memastikan bahwa musibah itu terjadi karena kesalahanmu. Cukup sampai di sini saja.
Kau tak perlu memusingkan tentangku. Demi Tuhan, aku tak pernah menyalahkanmu
atas semua ini, Azra,” balasnya.
“Tidak
Niza. Aku benar-benar mengharapkanmu. Perasaanku tak pernah berubah dari dulu
sampai sekarang. Sebelum ataupun setelah keadaanmu seperti sekarang, aku selalu
mencintaimu. Sedikit pun tak berubah. Niza, aku ingin kau jadi istriku, bukan karena
rasa bersalahku terhadapmu. Aku sungguh-sungguh Niza,” balas Azra terbata-bata.
Di
ujung telepon, Niza hanya menangis. Tak berkata apa-apa lagi. Sambungan telepon
lalu terputus. Sikap diam dan tangisan Niza itu dianggap Azra sebagai bentuk
keharuan. Pernyataan kalau Niza menerima permohonannya. Keesokan harinya,
lamaran pun dilangsungkan. Semua berjalan lancar, hingga akhirnya mereka
benar-benar menikah.
Niza
menceritakan detail kisahnya dengan Azra padaku.
***
Sebelumnya,
tak ada yang menduga bahwa Niza dan Azra memiliki perasaan yang saling
berbalas. Bahwa secara diam-diam, hasrat mereka tinggi untuk saling memiliki.
Mereka kukuh memendam perasaan masing-masing. Tindak-tanduk di antara mereka
penuh dengan intrik pengalihan. Saking senyapnya, orang-orang menduga tiap-tiap
mereka punya sosok harapan lain. Bukan antara mereka berdua. Benar-benar tak
tampak, kecuali bagi orang yang bisa membaca pesan tersirat dari mata.
Sulit
menepis bahwa Niza dan Azra memendam perasaan yang sama. Mereka terlihat aneh
saat saling berkomunikasi. Sulit mencair. Seperti ada unek-unek yang
mengganjal. Tapi kejujuran mereka untuk saling memuji terbaca dari mata. Kuncinya
di mata. Jika saja Niza tak punya wajah elok, Azra tak akan tertarik
memandanginya selalu, hingga membuat wanita lain cemburu. Niza memang idola. Bak
gula pasir dalam stoples. Sisa membuka diri untuk direnggut semut-semut. Tapi entah kenapa,
Niza suka meredupkan cahanyanya. Bersembunyi di balik mendung. Mungkin menanti
Azra menunjuk satu bintang. Entah dia atau bukan.
Dua
bulan sebelum pernikahan mereka pun, tak ada tanda-tanda. Semua terjadi begitu
cepat. Padahal, Niza diduga akan berlabuh di pelukan lelaki lain, Arnan.
Alasannya, di malam perpisahan setelah wisuda, saat perkemahan di tengah
pendakian gunung, Arnan tampak mendekat pada Niza. Terlihat serasi. Tapi Niza
tak menghiraukannya. Di sisi lain, Azra tak memperjelas arah labuhan jiwanya. Ia
betah kesepian. Membiarkan jiwa-jiwa hawa tergantung tanpa kepastian darinya. Mungkin
menanti akhir cerita Arnan dan Niza.
Di
malam perkemahan itu pula, tragedi mengenaskan terjadi. Peristiwa yang
merenggut keayuan wajah Niza. Saat semuanya tengah lelap tertidur karena
kelelahan menempuh setengah jalan pendakian, tenda pihak perempuan yang dihuni
dua orang terbakar. Api cepat merambat, hingga membakar bagian kanan tubuh Niza.
Melepuhkan pipinya dan menghanguskan sebagian rambutnya. Kejadian itu pun akan menyisakan
membekas di wajahnya seumur hidup.
Tak
ada yang tahu dari mana asal api malam itu muncul. Jelas-jelas bara api unggun telah
dipadamkan. Alibi bermunculan. Satu-satunya kemungkinan adalah api berasal dari
puntung rokok. Malangnya, di antara tiga lelaki, hanya Azra yang kecanduan
mengepulkan asap beracun itu. Tak ayal, tuduhan ditimpakan padanya. Apalagi di
malam itu, Azra paling akhir masuk tenda. Ia keasyikakn mengisap rokok sembari
memandangi belantara hutan di lembah. Memang tak ada yang bisa memastikan
penyebabnya. Tapi tuduhan itu sulit dibantah Azra.
“Azra,
ini semua atas keteledoran kamu! Akui saja. Malam itu kamu merokok kan? Pasti
puntungnya kau buang sembarangan. Hah, dasar! Pokoknya, kau harus bertanggung jawab,”
gerutu Arnan pada Azra sesampainya di rumah sakit.
Azra
hanya tertunduk. Mengacak-acak rambut bagian belakangnya. Gelisah. “Ok, ok.
Semalam aku memang merokok. Tapi yang pasti, puntungnya sudah benar-benar aku
padamkan. Sumpah!” balasnya. “Terus terang, aku tak bisa membantah kemungkinan
itu. Tapi aku minta, jangan juga kau pastikan kalau puntung rokokkulah sumber
petakanya.”
Arnan
hanya berdecak dan berlalu pergi.
“Sudahlah
Azra. Kata-kata Arnan tak perlu kau hiraukan. Kau tahulah bagaimana dia. Bisa
jadi juga, sikapnya berlebihan begitu sebab musibah ini melukai Niza,” nasihatku
malam itu.
***
Dahulu,
di awal tahun kedua kuliahku, di semester tiga, aku mulai memendam perasaan kepada
seorang lelaki. Dia seangkatan denganku. Namanya Azra. Karena dia juga, aku
memutuskan bergelut dalam sebuah organisasi kesenian di kampus. Agar tak kikuk,
kuajaklah teman baikku, Niza, untuk turut bergabung. Hari-hari pun kulewati
dengan sejuta kebahagiaan bersama teman-temanku, terutama dengan Azra. Aku
selalu ada alasan untuk dekat dengannya. Senang bisa mamandang senyumnya yang
meneduhkan setiap waktu.
Kupendam
perasaanku pada Azra dalam-dalam. Di organisasiku, sesama pengurus tak baik
jika terlalu dekat secara keterlaluan. Namun seiring berjalannya waktu, aku merasa
ada yang berbeda antara Azra dengan Niza. Hubungan mereka tampak aneh. Jika teman-teman
seorganisasi bercanda secara mencair, mereka malah saling segan. Kubaca, Azra
tertarik dengan Niza, bukan denganku! Perasaanku pada Azra pun seakan berubah
jadi kanker. Menyisakan penyesalan akibat menumpuk kekaguman padanya sekian lama.
Sialnya, tak mungkin kembali pada waktu saat semuanya belum dimulai.
Sampailah
aku pada saat diharamkan memaksakan keinginan. Waktu yang tak pernah aku
harapkan. Hari ketika Niza dan Azra duduk bersanding di pelaminan.
“Rena,
kamu datang kan di pernikahan kami? Niza menantimu?” tanya Azra melalui pesan
singkat.
Entah
harus bagaimana lagi. Sangat menyakitkan. Diundang lelaki dambaan untuk hadir
di pernikahannya? Tak menghadiri pernikahan teman baik? Dilema. Tak pernah kuduga
ini akan terjadi padaku. “Selamat atas pernikahan kalian. Semoga bahagia. Maaf
aku tak bisa hadir. Sampaikan salam dan permohonan maafku pada Niza,” balasku.
Aku
tak mungkin menghadiri pernikahan mereka dengan membawa semua kenangan dan
harapanku di masa lalu. Biarlah. Kuharap mereka bahagia. Saat waktu telah mendamaikan
keinginanku dengan kenyataan, aku akan menemui mereka dan memohon maaf atas
semua yang telah terjadi. Ya, aku merahasiakan dosa besar pada mereka. Akulah
pelakuknya; seseorang yang telah merenggut kecantikan wajah Niza di malam
pendakian dan berharap Azra tak lagi mengaguminya. Rasa cemburu telah membutakanku.
Kini kutahu sudah bahwa cinta tak harus memiliki. Bahwa cinta memang buta. Buta!