Sepanjang kehidupan
manusia, merefleksikan kehidupan merupakan tindakan yang senantiasa dilakukan. Terlebih
manusia tak luput dari salah dan lupa. Sudah menjadi kebutuhan jiwa untuk
menimbang-nimbang antara keburukan dan kebaikan yang kita lakukan selama hidup.
Dengan itu, diharapkan timbul kesadaran dibarengi tindakan nyata untuk berbenah
di sisa hidup yang terahasiakan.
Di momen Hari Sumpah Pemuda
ini, merefleksikan keadaan dan peran pemuda juga perlu dilakukan. Apalagi
masalah terkait pemuda masih banyak dan beragam. Banyak cara bisa dilakukan.
Semisal lewat unjuk rasa, menulis, ataupun sekadar membatin. Disemogakan, pemuda
kembali berperan melakukan pembaruan ke arah yang lebih baik.
Penting melakukan
tindakan refleksi, walaupun tak jarang penilaian miring menerpa. Menganggap
bahwa peringatan tanggal-tanggal penting hanyalah kegiatan seremonial. Seperti
ketika memperingati hari ulang tahun, hari raya keagamaan, dan hari peringatan
momen nasional maupun intenasional. Termasuk juga Hari Sumpah Pemuda yang jatuh
pada hari ini (Rabu, 28 Oktober 2015), sejak dicetuskan pada Kongres Pemuda
Indonesia II di Jakarta pada 28 Oktober 1928. Alasannya karena implikasi
refleksi sifatnya sangat personal. Terbersitnya makna setiap momen peringatan
di setiap jiwa, sangat tergantung dari kelapangan setiap individu untuk
mengakui kekhilafan, lalu mengambil pelajaran darinya. Jadi, biarkanlah setiap
individu mengakui dosanya, lalu mengokohkan kembali cita-cita dengan caranya
sendiri.
Disadari atau tidak,
setiap peringatan peristiwa memberikan pengaruh signifikan terhadap keadaan
jiwa setiap individu. Namun setelah kegiatan seremonial berakhir, hingga sampai
pada hari pengulangannya lagi, semangat tersebut susut sedikit semi sedikit.
Untuk itu, perlu diupayakan agar suasana kejiwaan tersebut tetap terpelihara
baik. Solusinya adalah melakukan refleksi setiap saat. Tidak hanya pada hari-H.
Di momen Hari Sumpah
Pemuda ini, ada beberapa masalah terkait keadaan pemuda yang menurut Penulis
perlu direfleksikan untuk dibenahi. Hal itu penting sebab jika diakui bahwa
pemuda berperan penting bagi kemajuan bangsa dan negara, maka tindakan untuk
pembentukan dan perbaikan pribadi pemuda perlu segera dilakukan. Percuma
berharap kontribusi lebih dari pemuda jika kualitas dan solidaritasnya saja
masih dipertanyakan. Untuk itu, perlu mencari akar masalahnya, merumuskan solusi,
lalu melakukan pembenahan.
Berangkat dari realitas
kepemudaan, dengan analisis subjektif, Penulis mencoba menguraikan masalah dan
menawarkan solusi. Tulisan ini mencoba menggambarkan bahwa masalah kepemudaan
tidak lepas dari faktor lingkungan, terutama andil para pengambil kebijakan. Tujuannya
untuk menekankan bahwa semua komponen punya peranan dalam perkembangan diri para
pemuda. Meski begitu, kesadaran diri pemuda tentulah juga sangat menentukan.
Sebagai acuan, jika
merujuk pada Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2009 tentang Kepemudaan,
usia pemuda adalah 16-30 tahun. Untuk itu, tulisan ini mencakup masalah
kepemudaan di lingkungan masyarakat maupun kampus, yang tentunya masih
tergolong dalam kategori umur pemuda tersebut.
Berikut ini beberapa
segi masalah mental dan kepribadian pemuda Indonesia yang menurut Penulis
penting untuk dicermati:
Sentimen
dan Arogansi
Pemuda dewasa ini masih
sering menampakkan perilaku dan tindakan anarkistis yang tidak perlu. Misalnya
saja bentrokan antarpemuda, tawuran antarmahasiswa, hingga pertikaian antarkelompok.
Seperti sudah menjadi tradisi, setiap kubu pro-kontra tidak akan merasa afdal
jika tindakan kekanak-kanakan tersebut tidak diperingati pada waktu-waktu
tertentu.
Masalahnya di mana?
Akarnya bisa jadi arogansi. Adanya sikap saling memandang rendah dan tidak
saling menghormati. Tawuran antarmahasiswa misalnya. Jika kita lihat sejarahnya
di setiap kampus, hampir bisa dipastikan bahwa pihak mahasiswa yang terlibat
tawuran dari fakultas yang berbeda, telah dicap sebagai musuh bebuyutan yang
gemar saling merendahkan.
Ironisnya, arogansi
tersebut muncul atas kecongkakan mahasiswa yang menganggap disiplin ilmunya
paling hebat. Entah sekolot apa pikiran demikian, hingga tak pernah berpikir
bahwa perbedaan disiplin ilmu seharusnya menjadi alasan saling membutuhkan. Terutama
karena kita mengetahui bahwa masalah kemasyarakatan dan kebangsaan bersifat multidimensi,
yang butuh saran solusi dari berbagai disiplin ilmu.
Sikap sentimen dan
arogan bukanlah penyakit yang mendarah daging. Ia bisa terurai seiring tumbuhnya
sikap saling memahami dan menghargai. Maka solusinya adalah komunikasi.
Tindakan anarkistis yang terjadi selama ini hanyalah buah dari matinya budaya berkomunikasi.
Baik di lembaga kemasyarakatan maupun kampus, upaya untuk membaurkan para
pemuda hampir tidak pernah terjadi dari inisiatif birokrat (kalau tidak mau dikatakan
mereka tak pernah berpikir ke sana).
Di sisi lain,
diskusi-diskusi di lingkungan kampus seringkali hanya menjadi territorial mahasiswa
dari disiplin ilmu tertentu. Akhirnya, masalah yang seharusnya dikaji secara
komprehensif akhirnya tidak menghasilkan solusi yang jitu. Diskusi masalah
pengelolaan minyak dan gas nasional misalnya, akan berujung pada kesimpulan dan
solusi yang “ompong” jika tidak dikaji dari berbagai disiplin ilmu terkait. Misalnya
ilmu hukum, teknik pertambangan, ekonomi, dll. Tapi apa mau dikata, sepertinya mahasiswa
masih gengsi mengakui bahwa mereka saling membutuhkan karena perbedaan disiplin
ilmu.
Keadaan yang sama
terjadin dalam lingkup kemasyarakatan. Dialog demokratis antarorganisasi
kemasyarakatan yang berbeda paham jarang diadakan di forum-forum intelektual,
bahkan berupaya dihindari. Imbasnya, komunikasi yang tersendat akan menumpuk
sikap sentiman dan arogan, hingga suatu saat akan terwujud dalam bentuk tindakan
anarkistis.
Parahnya, birokrat di
pemerintahan maupun di lingkungan kampus turut berpikir kekanak-kanakan. Mereka
pun terkungkung dalam pola pikir hitam-putih, yang berujung pada sikap saling
merendahkan dan menyalahkan. Di kampus misalnya, doktrin yang membakar mental arogan
antarmahasiswa tidak hanya berasal dari para “senior”, tetapi seringkali
berasal dari para dosen.
Secara terkhusus, Penulis
sendiri, sejak menjadi mahasiswa seringkali mendengarkan ucapan para senior
bahkan dosen yang menyatakan bahwa mahasiswa ilmu hukum itu paling hebat,
sehingga tak boleh kalah dengan mahasiswa lain. Bahkan diikuti kata-kata
merendahkan disiplin ilmu lain. Perkiraan Penulis, keadaan ini juga terjadi pada
institusi disiplin ilmu lain. Lalu apa yang terbentuk pada kejiwaan setiap
mahasiswa jikalau begitu? Sentimen dan arogansi!
Jika meneliti di kampus
Penulis sendiri, salah satu solusi jitu namun luput dari perhatian, adalah format pengajaran
Mata Kuliah Umum (MKU). Seharusnya perkuliahan MKU tak memenjarakan mahasiswa,
tetapi menjadi momen pembauran. Kenyataannya, mahasiswa dipisahkan oleh ruang
kelas pada satu gedung besar berdasarkan perbedaan disiplin ilmu. Menurut
Penulis, sebaiknya dan tidak ada salahnya jika beberapa mahasiswa dari beberapa
fakultas dibaurkan dalam satu kelas, sebab mata kuliahnya bersifat umum.
Apalagi jika belajar dari sejarah, pertemuan mahasiswa beda fakultas di gedung
yang sama, dengan sikap sentimen dan arogan di benak masing-masing, sangat
rentan memicu tawuran.
Sudah waktunya keadaan
direfleksikan secara bersama-sama. Mahasiswa, terutama birokrat pemerintahan
dan institusi pendidikan tinggi harus mengambil langkah jitu dalam upaya membaurkan
para pemuda. Namun selama di antara para pengambil kebijakan (birokrat) juga
masih terjadi perpecahan dan tak ada saling pengertian, tak ada gunanya menggantungkan
harapan pada mereka.
Salah
Mengaktualisasikan Diri
Keinginan untuk tampil
dan diakui adalah hal yang sangat manusiawi. Setiap manusia akan melakukan
tindakan agar predikat “ter….” Dilekatkan padanya. Tapi fenomena kekinian
menunjukkan bahwa ada yang salah dengan cara pemuda mengaktualisasikan dirinya.
Terbatasnya ruang untuk mengaktualisasikan diri dan keinginan mendapatkan
penghargaan diri secara instan, menjadi dorongan menempuh “jalan kompas”,
meskipun salah dan menyesatan.
Doktrin bahwa masa muda
adalah waktu untuk berbuat sebebas-bebasnya (kalau enggan mengatakan senakal-nakalnya)
sebelum masa tua datang dan senantiasa mengingatkan dekatnya kematian, masih
menjadi pegangan hidup sejumlah pemuda. Hal itu menambah kompleksitas penyelesaian
masalah. Terlebih, di usianya, pemuda gandrung akan pujian dan pengakuan.
Keadaan semakin parah jika tak ada pengarahan dari pihak pendidik, terutama
orang tua dan guru/dosen.
Fenomena aktualisasi
diri yang salah ini dapat kita lihat pada maraknya tindakan begal di lingkungan
masyarakat dengan melibatkan para pemuda. Tindakan nekat itu kemungkinan besar
timbul karena para pelaku merasa tak lagi mendapatkan pengakuan diri, selain
dari komunitas begalnya. Di lingkungan kampus, kita dapat melihat dalam bentuk pergaulan
bebas, tawuran, hingga perusakan fasilitas umum.
Jika dicermati, tindakan
yang bobrok para pemuda tidak lepas dari ketidakpengertiannya para birokrat
pemerintah dan kampus pada perkembangan para pemuda. Di lingkungan masyarakat,
kini ruang terbuka hijau semakin minim. Selain itu, dukungan terhadap kegiatan
kepemudaan terutama terkait seni dan olahraga juga minim. Semarak kegiatan
kepemudaan biasanya hanya terlihat di momen peringatan hari-hari besar
keagamaan dan nasional, ataukah saat pengejar kekuasaan menginginkan ruang
untuk mempromosikan dirinya (kampanye politik). Di hari selain itu, para pemuda
dibebaskan mencari ruang aktualisasinya sendiri.
Di lingkungan kampus, terjadi
pengekangan terhadap kebebasan aktivitas keorganisasian, minimnya penghargaan
pada pendapat dan kreativitas mahasiswa, hingga metode perkuliahan yang
bersifat doktrinisasi, terkesan masih dilembagakan. Kampus saat ini belum
menjadi lingkungan melahirkan para penghasil ide. Mahasiswa terkesan dipaksa
memiliki pola pikir menurut keinginan para birokrat kampus, demi kebutuhan
pasar tenaga kerja. Akibatnya, kehidupan sebagai mahasiswa dengan rutinitas
yang padat, terasa begitu “kering” dan sangat membosankan. Kesimpulannya, kampus
belum berhasil mencetak mahasiswa menjadi manusia seutuhnya: yang kritis dan
kaya akan gagasan. Imbasnya, mahasiswa pun melampiaskan gelora semangat
dan “kreativitas” dirinya pada hal-hal
yang negatif.
Penyelesaian masalah
ini tidak bisa hanya disandarkan pada kesadaran pribadi pemuda. Ketepatan cara
mengaktualisasikan diri juga sangat dipengaruhi oleh kebijakan para birokrat. Membuka
lebar ruang aktualisasi diri bagi para pemuda merupakan upaya yang penting
segera dilakukan. Namun, selama para
birokrat masih haus sanjungan dan pengakuan diri, serta sibuk dengan pencitraan,
sia-sia mengharapkan perhatian dari mereka.
Tidak
Punya Visi dan Pendirian
Adanya visi dan
pendirian sangat menentukan integritas seseorang. Capaian hidup berdasarkan
visi, dan dalam menggapainya tetap berpegangan pada idealisme. Tapi di zaman
yang serba anomali seperti sekarang, orang sering kali bersikap pragmatis demi
kepentingan pribadinya. Keadaan serupa juga menjangkiti sebagian pemuda masa
kini. Visinya bersifat temporer dan mudah diruntuhkan oleh rintangan. Selain
itu, keteguhan untuk menempuh “jalan lurus” juga mudah digoyahkan godaan trio:
harta, tahta, dan lawan jenis.
Tidak mengherankan jika
di tengah masyarakat sering dijumpai pemuda yang malas mencari jalan dan membangkitkan
harapan hidupnya. Terciptalah para pemuda pengharap yang bisanya berpikir kebutuhan
hidupnya dalam sehari. Namun jika sedang tak beruntung, “perut kelaparan” dapat
membuat hati nurani sulit bekerja. Terciptalah kerentanan para pemuda terhadap
godaan material, demi memenuhi keinginan hidup sesuai tren moda kekinian. Tidak
jarang, pemuda akhirnya nekat melakukan tindakan kriminal seperti mencuri
ataupun menjual barang-barang terlarang.
Pada kehidupan
mahasiswa, hidup tanpa visi dan pendirian juga masih nampak. Mahasiswa
menghabiskan waktu hidup di bangku kuliah tanpa memahami tujuan hidupnya sebagai
mahasiswa, serta bagaimana ia setelah sarjana. Sebagian mahasiswa masih
bersikap masa bodoh terhadap tanggung jawab sosialnya demi kepentingan akademik.
Di sisi lain, ada juga sebagian
mahasiswa yang hanya punya tujuan untuk kepentingan dirinya sendiri, namun tak
punya visi kebangsaan ataupun kemanusiaan. Akhirnya, lahirlah sarjana yang
hanya memikirkan bagaimana segera mendapat pekerjaan yang dibalas dengan gaji
memuaskan setiap bulannya. Langkalah sarjana yang punya tekad berkontribusi
bagi kehidupan orang lain. Misalnya tampil sebagai pemimpin amanah ataukah berpikir
kreatif untuk memberdayakan masyarakat di sekitarnya.
Paling mirisnya, label
aktivis mahasiswa kadang-kadang menjadi rebutan untuk dijadikan sebagai modal
besar memperoleh jabatan yang menggiurkan selepas kuliah. Jargon “perjuangan
demi kepentingan rakyat” hanyalah kunci para mahasiswa berwatak pemburu
kekuasaan, yang tak punya pendirian (baca: idealisme abadi) untuk mendapat pengakuan
diri dan mengakses dunia kekuasaan nantinya. Akhirnya, entah tersisa berapa mahasiswa
yang berjuang dengan niat demi kepentingan rakyat, sekarang dan akan datang.
Perjuangan mereka sementara dan demi kepentingan teselubung.
Lahirnya pemuda tanpa
visi dan pendirian tak lepas dari ketiadaan contoh dari para mahasiswa pendahulu
yang telah menyandang status sebagai birokrat, baik di pemerintahan maupun di
institusi pendidikan tinggi. Diakui atau tidak, sikap tak beradab para pemimpin
masih sering dipertontonkan dalam bentuk upaya saling menjatuhkan demi uang dan
kekuasaan. Secara terkhusus, dosen saat ini kurang memporsikan pendidikan
karakter kebangsaaan kepada para mahasiswa. Mirisnya, seperti yang Penulis
sendiri alami sejak di bangku kuliah, dosen seringkali merangsang jiwa egois
dan pragmatis para mahasiswa. Misalnya saja menutut untuk giat belajar, cepat
sarjana, lalu bekerja. Namun motivasinya adalah untuk mendapatkan uang dengan
gelar sarjana itu, lalu menumpuk kekayaan dan barang-barang mewah.
Kunci untuk masalah
pemuda yang satu ini adalah pendidikan dan keteladanan. Sudah saatnya pemuda
dididik untuk mandiri demi memandirikan orang lain. Sudah saatnya para pemimpin
menjaga idealismenya ---seperti semasih sebagai aktivis mahasiswa--- dan mempertontonkan
keteladanan kepada para pemuda. Namun, jika para birokrat masih juga
mempertontonkan laku tak terdidik dan tak pantas dicontoh, bentuk dan peliharalah
sendiri watak kita, sebab percuma berharap pada mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar