Jumat, 30 Oktober 2015

Membunuh Bibit Koruptor

Dewasa ini, masalah bangsa bersifat multidimensi dan kompleks. Namun jika berangkat dari keresahan masyarat, sepertinya tak ada yang menyangkal jika korupsi dicap sebagai akar dari karut-marutnya negeri ini. Terlebih, seiring berjalannya waktu, semakin banyak saja kasus korupsi yang terbongkar. Keadaan itu tentu membuat hati rakyat semakin kesal. Tapi apakah fenomena itu pertanda bahwa pemberantasan korupsi berjalan dengan baik, ataukah bukti bahwa korupsi semakin marak saja? 

Tak sulit menjawabnya. Kita hanya perlu mengamati apakah tindak pidana korupsi yang selama ini ditangani pihak penegak hukum terjadi di masa lampau atau malah peristiwa hukum kekinian setelah terbentuknya KPK pada tanggal 29 Desember 2003. Faktanya, korupsi terjadi lintas zaman pemerintahan, entah sampai kapan. Yang masih hangat-hangatnya, anggota DPR Dewi Yasin Limpo bersama beberapa koleganya tertangkap tangan oleh KPK saat sedang menerima suap untuk pembangkit listrik mikrohidro di Kabupaten Deiyai, Provinsi Papua. Ini berarti bahwa lahirnya KPK sebagai perwujudan tuntutan Reformasi untuk memberantas KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme), memiliki peran penting dalam pemberantasan korupsi. 

Berkaca dari kenyataan di atas, maka segala upaya untuk melemahkan KPK, termasuk revisi UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, harus dilawan. Apalagi salah satu poin revisinya adalah menghilangkan kewenangan penyadapan oleh KPK. Padahal selama ini, penyadapan adalah instrumen handal dalam keberhasilan operasi tangkap tangan. Kita punya KPK dalam penindakan kasus korupsi, dan harus kita dukung. Tapi apa kabar dengan upaya pencegahan korupsi? Itulah yang menurut Penulis perlu diutamakan. 

Mencari rumus baku untuk pencegahan korupsi tidaklah mudah. Semua perspektif disiplin ilmu bisa ditawarkan sebagai solusi. Upaya pencegahan untuk meminimalisir tindak korupsi perlu dilakukan. Apalagi selama kekuasaan masih ada ---yang memberikan hak kepada seseorang untuk mengendalikan hak-hak masyarakat---, maka korupsi masih berpotensi untuk terjadi. Kesimpulan itu bisa dibawa pada lingkup yang lebih besar, bahwa selama masih ada negara beserta kekuasaan yang diatur dalam konstitusi, akan tetap ada potensi korupsi oleh penyelenggara pemerintahan.

Mustahil menghapuskan tindak korupsi. Hal itu sejalan dengan kodrat manusia yang selain memiliki aspek kehidupan yang individual, juga sosial. Individu manusia membutuhkan struktur kekuasaan pemerintahan untuk menjalankan fungsi-sungsi sosial. Untuk itu, kekuasaan yang melahirkan korupsi selamanya ada, sebagaimana disimpulkan Lord Acton. Masalahnya sekarang adalah bagaimana menjaga agar kekuasaan sebagai kebutuhan tidak dibajak oleh orang-orang yang punya “nafsu materiil” berlebihan, yang akan melahirkan koruptor?

Penulis berkesimpulan bahwa salah satu solusi jitu untuk menjawab persoalan di atas adalah memperbaiki proses rekrutmen, terutama mencegah tindakan kolusi dan nepotisme. Dalam artian, KKN harus diberantas secara menyeluruh, tidak hanya berkutat pada aspek korupsi. Terlebih, korupsi lahir dari tindak kolusi dan nepotisme. Secara lugas, kolusi berarti permufakatan jahat yang melibatkan penyelenggara negara. Sedangkan nepotisme adalah tindakan pilih kasih atas dasar kekeluargaan atau kekerabatan. Dua penyakit inilah yang marak di tataran pemegang kekuasaan saat ini, terutama dalam perekrutan penyelenggara negara. 

Tak mengherankan jika dijumpai adanya seseorang yang tak punya kompetensi dan integritas malah menduduki jabatan dalam pemerintahan. Dibuktikan dengan banyaknya pejabat yang memiliki kinerja buruk atau mengakhiri masa jabatanya di balik jeruji besi. Apa mau dikata, mereka memegang kunci; punya keluarga ataupun kerabat yang memiliki pengaruh dalam proses perekrutan. Lama kelamaan, perilaku curang ini akan berujung pada terbentuknya pemerintahan yang dikedalikan oleh oligarki tak terkontrol. 

Akhirnya teringat lagi perkataan Budayawan Alwy Rachman pada acara diskusi yang diselenggarakan Lembaga Kajian Mahasiswa Pidana (LKMP) Unhas, Selasa, 6 Oktober 2015 di Fakultas Hukum Unhas. Kesimpulan yang penulis tangkap, ia mengatakan bahwa budaya Indonesia turut memberikan pengaruh negatif terhadap pemberantasan korupsi. Menurutnya, budaya Indonesia melahirkan masyarakat komunal yang gemar bergotong royong atau berkerja sama. Terciptanya solidaritas kelompok di masyarakat Indonesia pun tak bisa terelakkan. Namun masalahnya, kebersamaan tersebut tetap terjaga, bahkan dalam tindakan buruk seperti korupsi. 

Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa pada masyarakat komunal, individu di dalamnya akan punya keberanian lebih untuk berbuat salah dan sulit merasa takut dan malu, termasuk dalam melakukan tindak korupsi. Di sisi lain, di peradaban masyarakat yang individualis, seperti di dunia Barat, orang-orang memiliki ketakutan atau keengganan lebih untuk melakukan tindakan buruk, serta lekas timbul rasa malunya kala berbuat salah.  Hal itu bisa terjadi karena orang yang melakukan kesalahan secara individual di peradaban individualis, sadar tak punya penyokong, sehingga takut merasa sendiri dalam mempertanggungjawabkan perbuatannya. Akhirnya, Alwi mempungkaskan bahwa: “Jika kebudayaan kita tak mampu mendidik masyarakat, biarkan peradaban yang mendidik kebudayaan.”

Pertanyaannya kemudian, bagaimana memberantas perilaku kolusi dan nepotisme yang biadab? Selama ini KPK dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) antikorupsi memang gencar dalam memantau dan mengkritisi proses perekrutan penyelenggara negara ataupun pegawai negeri. Namun kerena proses akhir rekrutmen biasanya berhubungan dengan kebijakan (freies ermessen), maka saran, kritikan, serta rekomendasi KPK dan LSM sering kali terabaikan. 

Dalam melakukan upaya perbaikan, tak ada jalan lain selain memberikan jaminan bahwa pihak yang menyeleksi dan proses seleksi penyelenggara negara dapat berjalan independen. Rencana perbaikan tersebut harus dilakukan di semua instansi pemerintahan dan harus didukung dengan regulasi. Untuk itu, perlu dilakukan kajian mendalam serta penghapusan celah-celah yang memungkinkan orang yang tak berkompeten dan tak berintegritas bersama-sama membajak jabatan pemerintahan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar