Dewasa
ini, masalah bangsa bersifat multidimensi dan kompleks. Namun jika berangkat
dari keresahan masyarat, sepertinya tak ada yang menyangkal jika korupsi dicap
sebagai akar dari karut-marutnya negeri ini. Terlebih, seiring berjalannya
waktu, semakin banyak saja kasus korupsi yang terbongkar. Keadaan itu tentu
membuat hati rakyat semakin kesal. Tapi apakah fenomena itu pertanda bahwa
pemberantasan korupsi berjalan dengan baik, ataukah bukti bahwa korupsi semakin
marak saja?
Tak
sulit menjawabnya. Kita hanya perlu mengamati apakah tindak pidana korupsi yang
selama ini ditangani pihak penegak hukum terjadi di masa lampau atau malah
peristiwa hukum kekinian setelah terbentuknya KPK pada tanggal 29 Desember 2003.
Faktanya, korupsi terjadi lintas zaman pemerintahan, entah sampai kapan. Yang
masih hangat-hangatnya, anggota DPR Dewi Yasin Limpo bersama beberapa koleganya
tertangkap tangan oleh KPK saat sedang menerima suap untuk pembangkit listrik mikrohidro
di Kabupaten Deiyai, Provinsi Papua. Ini berarti bahwa lahirnya KPK sebagai
perwujudan tuntutan Reformasi untuk memberantas KKN (korupsi, kolusi, dan
nepotisme), memiliki peran penting dalam pemberantasan korupsi.
Berkaca
dari kenyataan di atas, maka segala upaya untuk melemahkan KPK, termasuk revisi
UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, harus
dilawan. Apalagi salah satu poin revisinya adalah menghilangkan kewenangan
penyadapan oleh KPK. Padahal selama ini, penyadapan adalah instrumen handal dalam
keberhasilan operasi tangkap tangan. Kita punya KPK dalam penindakan kasus
korupsi, dan harus kita dukung. Tapi apa kabar dengan upaya pencegahan korupsi?
Itulah yang menurut Penulis perlu diutamakan.
Mencari
rumus baku untuk pencegahan korupsi tidaklah mudah. Semua perspektif disiplin
ilmu bisa ditawarkan sebagai solusi. Upaya pencegahan untuk meminimalisir
tindak korupsi perlu dilakukan. Apalagi selama kekuasaan masih ada ---yang
memberikan hak kepada seseorang untuk mengendalikan hak-hak masyarakat---, maka
korupsi masih berpotensi untuk terjadi. Kesimpulan itu bisa dibawa pada lingkup
yang lebih besar, bahwa selama masih ada negara beserta kekuasaan yang diatur
dalam konstitusi, akan tetap ada potensi korupsi oleh penyelenggara
pemerintahan.
Mustahil
menghapuskan tindak korupsi. Hal itu sejalan dengan kodrat manusia yang selain memiliki
aspek kehidupan yang individual, juga sosial. Individu manusia membutuhkan
struktur kekuasaan pemerintahan untuk menjalankan fungsi-sungsi sosial. Untuk
itu, kekuasaan yang melahirkan korupsi selamanya ada, sebagaimana disimpulkan
Lord Acton. Masalahnya sekarang adalah bagaimana menjaga agar kekuasaan sebagai
kebutuhan tidak dibajak oleh orang-orang yang punya “nafsu materiil” berlebihan,
yang akan melahirkan koruptor?
Penulis
berkesimpulan bahwa salah satu solusi jitu untuk menjawab persoalan di atas
adalah memperbaiki proses rekrutmen, terutama mencegah tindakan kolusi dan
nepotisme. Dalam artian, KKN harus diberantas secara menyeluruh, tidak hanya berkutat
pada aspek korupsi. Terlebih, korupsi lahir dari tindak kolusi dan nepotisme. Secara
lugas, kolusi berarti permufakatan jahat yang melibatkan penyelenggara negara.
Sedangkan nepotisme adalah tindakan pilih kasih atas dasar kekeluargaan atau kekerabatan.
Dua penyakit inilah yang marak di tataran pemegang kekuasaan saat ini, terutama
dalam perekrutan penyelenggara negara.
Tak
mengherankan jika dijumpai adanya seseorang yang tak punya kompetensi dan
integritas malah menduduki jabatan dalam pemerintahan. Dibuktikan dengan
banyaknya pejabat yang memiliki kinerja buruk atau mengakhiri masa jabatanya di
balik jeruji besi. Apa mau dikata, mereka memegang kunci; punya keluarga
ataupun kerabat yang memiliki pengaruh dalam proses perekrutan. Lama kelamaan,
perilaku curang ini akan berujung pada terbentuknya pemerintahan yang
dikedalikan oleh oligarki tak terkontrol.
Akhirnya
teringat lagi perkataan Budayawan Alwy Rachman pada acara diskusi yang
diselenggarakan Lembaga Kajian Mahasiswa Pidana (LKMP) Unhas, Selasa, 6 Oktober
2015 di Fakultas Hukum Unhas. Kesimpulan yang penulis tangkap, ia mengatakan
bahwa budaya Indonesia turut memberikan pengaruh negatif terhadap pemberantasan
korupsi. Menurutnya, budaya Indonesia melahirkan masyarakat komunal yang gemar
bergotong royong atau berkerja sama. Terciptanya solidaritas kelompok di masyarakat
Indonesia pun tak bisa terelakkan. Namun masalahnya, kebersamaan tersebut tetap
terjaga, bahkan dalam tindakan buruk seperti korupsi.
Lebih
lanjut, ia menjelaskan bahwa pada masyarakat komunal, individu di dalamnya akan
punya keberanian lebih untuk berbuat salah dan sulit merasa takut dan malu,
termasuk dalam melakukan tindak korupsi. Di sisi lain, di peradaban masyarakat yang
individualis, seperti di dunia Barat, orang-orang memiliki ketakutan atau keengganan
lebih untuk melakukan tindakan buruk, serta lekas timbul rasa malunya kala
berbuat salah. Hal itu bisa terjadi
karena orang yang melakukan kesalahan secara individual di peradaban
individualis, sadar tak punya penyokong, sehingga takut merasa sendiri dalam
mempertanggungjawabkan perbuatannya. Akhirnya, Alwi mempungkaskan bahwa: “Jika
kebudayaan kita tak mampu mendidik masyarakat, biarkan peradaban yang mendidik
kebudayaan.”
Pertanyaannya
kemudian, bagaimana memberantas perilaku kolusi dan nepotisme yang biadab? Selama
ini KPK dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) antikorupsi memang gencar dalam
memantau dan mengkritisi proses perekrutan penyelenggara negara ataupun pegawai
negeri. Namun kerena proses akhir rekrutmen biasanya berhubungan dengan
kebijakan (freies ermessen), maka saran,
kritikan, serta rekomendasi KPK dan LSM sering kali terabaikan.
Dalam
melakukan upaya perbaikan, tak ada jalan lain selain memberikan jaminan bahwa
pihak yang menyeleksi dan proses seleksi penyelenggara negara dapat berjalan
independen. Rencana perbaikan tersebut harus dilakukan di semua instansi
pemerintahan dan harus didukung dengan regulasi. Untuk itu, perlu dilakukan
kajian mendalam serta penghapusan celah-celah yang memungkinkan orang yang tak
berkompeten dan tak berintegritas bersama-sama membajak jabatan pemerintahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar