Sudah
lama kita saling mengenal. Di awal pertemuan, sekitar empat tahun lalu, aku
sama sekali tak punya kesan terhadapmu. Kau orang yang tertutup dan berbicara
sehematnya. Kau akan menjawab ketika ditanya, tapi pelit bertanya kembali.
Sepertinya kau tak punya ketertarikan terhadap orang lain. Jelas, kau bukanlah
orang yang nyaman diajak ngobrol.
Model
sepertimu hampir punah sekarang. Kau berbeda dengan titisan hawa lainnya, yang gemar
membagikan ceritanya tanpa perlu diminta. Mendongeng ketika sang adam yang dikaguminya
mencampakkan. Sedangkan kau, seperti tak berselera berbagi privasi seperti
mereka. Kau hanya tentang dirimu saja dalam rahasia. Nampak kau terlihat tak senang
ketika orang memuji atau mengulik tentang dirimu. Selalunya mimik datar kau
balaskan pada mereka. Coba kuspekulasikan, bisa jadi kau menipu. Menahan lesung
pipi kecilmu mengembang, lalu kegirangan di depan cermin saat kau sendiri. Tapi
kemungkinan itu sulit tergambarkan. Terlalu sering aku menyaksikanmu konsisten
dengan reaksi seadamu, meski orang-orang menghantamimu dangan kata-kata
selangit. Tak pelak, dalam hati, aku cenderung yakin para penjilat akan lekas
terdiam karena kecuekan responsmu. Sebab itu juga, aku lebih suka menabung tanya
dan menyimpan semua pujian terhadapmu, di hatiku.
Kau
tahu? Seiring waktu, hingga saat ini, rasa penasaranku semakin menderu-deru. Rasa
tak keruan itu membebaniku. Rasa yang mencampuradukkan ketercelaan dan
kesempurnaan, kegilaan dan kewarasan, atau kemistisan dan kerasionalan. Hingga seakan
aku terlanjur berada di pertengahan pendakian gunung. Ingin mencapai puncak,
tapi bekal menipis. Ingin kembali, tapi tak tega menyia-nyiakan perjalanan yang
tertempuh jauh. Aku menyesal telah menjajakimu. Kau juga keterlaluan. Menjadi sangat
mendamaikan untuk diselami, hingga tak sadar menenggelamkanku. Namun apa daya.
Akhirnya kubiarkan saja ketidakpastian itu mempermainkan batinku. Tak pasti waktunya
kapan bertanya pendapatmu tentang perasaanku yang sesungguhnya, saat bertanya
tentang lagu favoritmu saja aku belum berani.
Mustahil
bertanya detail tentang dirimu, kecuali terkait urusan yang mempertemukan kita,
tentang organisasi. Segela perihal tentangmu sangat segan aku pertanyakan,
termasuk tentang lagu favoritmu. Walaupun kutahu, kadang kau komat-kamit
sendiri saat kuputar lagu kesukaanmu di bilik kecil. Ya, aku tahu tentang itu
dari dunia maya, tempatku menelusuri kenyataan hidupmu. Tapi pancingan itu tak
sekalipun membuatmu bertutur, memuji bahwa aku punya selera musik yang bagus,
sama sepertimu.
Hanya
lagu tuturku kini. Suasana hening saat kita dan teman-teman yang lain di gubuk
para kuli tinta adalah kesempatan emas bagiku. Kuputarkanlah lagu yang
menurutku tak terlalu menyentak gendang telingamu. Kukesampingkan egoku
sebagai penikmat musik cadas. Kalaupun tentang band favoritku yang satu itu,
One Ok Rock, aku akan berusaha memilah gubahannya yang kira-kira
menyenangkanmu. Seperti kemarin-kemarin, akan kuselipkan lagu band itu di
antara band-band favoritmu. Biasanya Wherever You Are atau My Sweet Baby. Aku
hanya ingin merekam keberadaanmu dalam nada-nadanya. Kau tahu, setiap kali
sebelum tidur, aku akan memutar lagu-lagu itu kembali, hingga kuingat
kebersamaan kita di rumah kecil.
“Copy
lagumu.” Tuturmu sambil menyodorkan flashdisk.
Aku bahkan tak yakin kau mengucapkan itu.
“Maksudmu?
Lagu yang mana?” tanyaku sambil berusaha menyembunyikan kegiranganku.
Kau
hanya menatapku sejenak, sambil mengayunkan sodoran flashdisk-mu.
Kau lalu tersenyum hingga nampak barisan gigimu yang berbaris rapi. “Lagu yang
tadi. Yang barusan kau putar,” tuturmu dengan mimik yang asing.
Aku
sigap saja mengirimkan lagu itu padamu. Tak kusangka, kau akan sudi mendengarkan
lagu itu. Salutku sebab hanya kau yang pernah meminta lagu itu. Entahlah, kau
terpaksa suka karena keseringan kuputarkan, atau bisa jadi kau penikmat film kartun
dan merasa pernah mendengarkan sebelumnya. Alasannya tak penting bagiku.
Cukuplah jika beralasan bagiku membayangkanmu merasakan nuansa yang sama
sepertiku saat mendengarkan lagu itu. Mungkinkah kau membawaku dalam suasana
langit-langit kamarmu dalam gelap ketika kau memutarnya juga?
Sejak
saat kuberikan lagu itu kepadamu, rasa penasaran semakin membuatku terdesak.
Tapi mempertanyakan kesanmu tentang lagu itu, aku tak berani. Walaupun sebenarnya
itu adalah alasan yang sangat bermartabat memulai percakapan intim denganmu
lewat pesan singkat. Apalagi tak mungkin sebaliknya, bahwa kau
sekonyong-konyong menyampaikan pendapatmu tentang lagu itu. Setahuku, kau hanya
melayangkan pesan singkat kepadaku tentang agenda organisasi dengan bahasa yang
datar. Selain itu, tak ada yang lain, apalagi tentang kita. Akhirnya,
malam-malam selalu kulewati sebagai pengecut. Seperti biasa, tak kusingkirkan headset di daun telingaku. Dengan begitu,
kupikir jika beruntung, lagu itu akan membawa dirimu ke dalam mimpiku.
***
***
Terlihat
diriku lalu-lalang sendiri. Dengan penuh bimbang, sesekali aku mengecek handphone di atas meja belajarku untuk
memastikan adakah balasan darimu. Sangaja ku-silence karena aku mendadak jadi phobia akan mendengarkan nada
dering handphone-ku. Pasalnya,
terlanjur kukirimkan pertanyaan pribadi padamu: “Apa kau suka dengan lagu yang
sudah kuberikan padamu?” Tapi berselang tiga puluh menit, rasa-rasanya kau tak
akan membalas pesanku. Entahlah kau telah membacanya atau tidak. Sangat
menjemukan. Andai bisa aku menyusup seperti hantu, akan kuhapus pesan itu di handphone-mu. Tapi mau diapa, nasi sudah jadi bubur. Ketenangan tak akan membawaku
terlelap sebelum ada jawabmu. Lewat tengah malam, sepertinya tak elok wanita kalem
sepertimu membalas pesanku. Aku harap kau tengah tidur pulas.
Saat
berbaring di kasur menanti balasanmu, layar handphone-ku menyala. Dengan rasa tak
kuasa, kuketik tombol menuju daftar kotak masuk dengan mata tertutup. Aku sudah
menghafal langkah-langkahnya. Kubuka mataku perlahan, hingga terlihat nama kontakmu,
MSB, kependekan dari My Sweet Baby, julukan rahasiaku untukmu. “Aku suka Wherever You Are. Aku mendengarkannya
sampai ketiduran, sampai telat baca SMS-mu. Aku suka bagian reff-nya: ‘Wherever you are I always make you smile’. Kesannya dalam. Kau
sedang mendengarkannya juga kan? Kau suka bagian mana?”
Tak
kusangka, ternyata selama ini dugaanku benar. Kau pendam rasa yang sama
sepertiku. Kau tahu, aku sangat kegirangan. Otakku cepat bekerja. Kukonsepkan balasan
yang tepat untukmu. Biarlah aku mengulur waktu agar kau tak menganggapku bagitu
ingin menjual. Hitung-hitung, kubuat juga kau penasaran menunggu balasan atas
tanda tanyamu. Kucoba membiarkan sepuluh menit berlalu. “I don’t need a reason, I just want you baby. Bagaimana menurutmu?” tulisku, lalu mengklik menu Kirim
dengan begitu tak tega.
Berselang
dua menit, kau ternyata sigap membalasnya. “Haha. Bagian itu menarik juga. Kau
tahu di mana bisa dapatkan kaset One Ok Rock?”
Aku
kecewa. Ternyata kau tak memahami maksudku. Sengaja kupilih bait itu untuk jujur
tentang kesimpulan tanya yang kupendam selama ini. Aku ingin kau menganggapnya bukan
sekadar lirik, tapi ucapanku sesungguhnya. Tapi sudahlah, kali ini, aku tak
ingin membuatmu menunggu. Kuusahakan membalasnya secepat kilat, sepertimu. Tak
sudi aku menunda tidurmu hingga memperparah penyakitmu. Kau tak baik begadang. Akan
kuberikan kasetku untukmu segera! “Nanti aku carikan. Aku senang kita suka
musik yang sama. Terima kasih sudah mencoba. Selamat menjelang tidur,” balasku.
Siang
hari tiba. Kutemui kau pagi-pagi di bangku taman kampus. Aku sengaja memintamu
bertemu di sana. Takut jika di istana pengukir sejarah, kita akan menjadi bahan
pembicaraan teman-teman. Tak ingin juga jika dipikirnya mereka, kita telah
melangkah terlalu jauh, hingga membuat para pengharapmu cemburu buta.
“Ini
kaset yang aku janjikan semalam.”
Kau
hanya senyum tersipu. Jika seperti itu, kau semakin mengggemaskan. Sungguh!
“Terima kasih,” tuturmu singkat sambil menyambar kaset itu. Kau pun berbalik
dan hendak bergegas pergi.
“Hey, bagaimana jika aku menginginkanmu
tanpa alasan?”
Kau
pun berbalik kembali, terdiam menatapku, seperti melihat bintang tiba-tiba
jatuh di hadapanmu. Kau hanya terdiam.
“Bangun…,
bangun…! Kau tak kuliah hari ini?” Sangat menyesalkan. Suara itu mengganggu
suasana kita. Suara kakakku di luar pintu kamar rumah, tembus hingga ke kampus.
Aneh. Segera kucari dari mana arahnya, hingga sadarku pulih. Ah, ternyata
tentang kita dan perasaanku itu hanya mimpi. Sungguh memuakkan!
Akhirnya,
keesokan hari kita kembali bertemu di rumah kecil. Seperti biasa, kau masih
saja terlihat biasa. Keseringan menunduk dan menyorot huruf-huruf di buku bacaanmu
yang sangat ilmiah. Tak ada tanda-tanda kau terkesan dengan lagu-lagu yang kau
minta sendiri. Keadaan itu bertahan sampai saat ini, dua tahun setelah lagu itu
kuberikan. Entahlah, apa kau menikmatinya atau hanya sekadar mendengarkannya.
Atau malah sekadar kau simpan di laptopmu dan terhapus tanpa kau tahu.
Sudahlah,
aku cukup berharap kita menyiratkan cerita kebersamaan dari setiap suasana yang
kita rasa, termasuk lewat lagu. Entah di lagu mana kau merekam tentangku,
apakah di lagu Sahabat Sejati-Sheila On 7, Kumenanti Seorang Kekasih-Iwan Fals,
Aku Rindu-Dudi, Kubenci Kau dengan Cintaku-Tito, ataukah Darah Juang. Terserah
kamu. Yang pasti, jika nada lagu dan perasaan itu sama indahnya, biarkan saja
berpadu. Kupikir, indra pendengaran tercipta juga untuk mendengar tentang
keindahan, maha karya dari-Nya. Jadi jangan melarangku mendengarkan lagu itu
berulang-ulang dan membayangkan tentangmu, tentang kita, kalaupun kau tahu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar