Jumat, 03 Juli 2015

Huruf-Huruf Batin

Aku bukanlah penikmat tulisan fiksi. Kehidupan adalah kenyataan bagiku. Masalah tak akan selesai hanya karena mimpi atau harapan yang tak masuk akal. Kurasa, baiknya memberi sebungkus nasi kepada seseorang yang kelaparan daripada sekadar bermimpi menjadi Robin Hood. Lebih baik memberi seteguk air daripada menjanjikan satu bintang. Namun sikapku berubah kala membaca gubahan tulisan fiksi di sebuah blog yang menyentuh keakuanku. Awalnya kuduga mungkin kebetulan saja, tapi selanjutnya tidak. Ya, aku yakin cerita fiksi dapat membawa orang larut dalam makna yang sama. Misalnya, cerita tentang pertempuran di medan perang dan perjibakuan menyelesaikan tugas akhir sama saja. Sama-sama membuktikan bahwa hidup butuh perjuangan.

Aku kenal si penulis itu, tapi tak terlalu akrab. Masih terlalu canggung bercakap-cakap dengannya. setahuku dia bukanlah penulis hebat. Buktinya, tak sekalipun kulihat tulisannya terpampang di rubrik fiksi pada koran di hari minggu. Ataukah setidaknya termuat di karya terbitan mahasiswa. Dia hanya seorang blogger yang terlalu narsis pada tulisan pribadinya. Aku sendiri tak tahu, apakah ada juga yang tertarik membaca tulisannnya selain aku. Itu pun, aku terpaksa membaca tulisannya karena terlanjur melakukan kesalahan fatal: membuka tautan tulisannya di media sosial karena judulnya menyinggung perasaanku. Berawal dari tulisannya itu, aku meresa dekat dengannya. Tapi kupikir lagi, tulisan fiksi memang kadang menjebak. Selalu bebas untuk ditafsirkan, hingga setiap pembaca dapat menjadi si tokoh utama. 

Tulisan fiksinya yang pertama kali kubaca berkisah tentang dia yang mengagumi seorang wanita secara diam-diam. Dituliskannya, tak ada kepastian waktu kapan untuk menyatakan perasaannya pada si pujaan, seorang wanita pendiam dan pemalu. Dia berhasil dibuatku penasaran. Apalagi aku merasa termasuk kategori wanita yang dimaksudnya. Aku terbawa suasana hingga akhirnya intens mengikuti cerita bersambungnya di blog. Dia memang terbilang aktif menulis, tapi tak melulu tentang cerita fiksi itu. Setelah kutelisik, baru dua tulisan cerita tentang si pujaannya. 

Belakangan aku terbawa-bawa ingin menjadi sosok idamannya. Aku pun jadi senang mengenakan baju warna hijau ke kampus. Terbayang saja sosok pujaannya yang maniak warna hijau sepertiku. Hitung-hitung, kemungkinankan tak tertutup bagiku untuk menjadi kenyataan sosok wanita di ceritanya. Terus terang, aku sulit untuk tak mempersepsikan diri sebagai sosok berkacamata itu, meski terlalu bodoh jika menegaskannya. Alasannya, kami berbeda lingkungan pergaulan sekarang. Terlebih lagi dia orang yang susah ditebak. Jika melihat dia yang urakan dan humoris saja, sulit membayangkan ia mampu membuat cerita fiksi yang melankolis. 

Sampai akhirnya dia memuat sesi ketiga dari tulisan fiksi bersambungnya. Dia semakin terbuka tentang sosok inspirasi ceritanya. Sosok itu digambarkannya tidak terlalu tinggi dan memiliki lesung pipi. Meski begitu, masih terlalu mengecoh untuk ditafsirkan pasti. Di sesi keempat, tanda-tanda ia munculkan lagi. Belakangan si dia sulit ia temui. Intinya, cerita panjang di sesi ini tentang kerinduan. Jalan ceritanya semakin mengerikan saja bagiku. Apalagi masih beralasan jika kupersepsikan itu adalah aku. Belakangan memang aku jarang bertemu lagi dengannya. Kalau pun aku melihatnya, ia bisa jadi tak melihatku. 

Pada bagian keempat itu, ia juga menuliskan kebiasaannya melepas rindu di perpustakaan kampus. Semakin sering ia bertandang ke perpustakaan belakangan ini demi bertemu wanita pujaannya. Namun di sana, ia tak lagi melihat dia, padahal sebelumnya sering. Ya, sekali lagi, aku akhir-akhir ini juga jarang ke perpustakaan. Aku fokus menyelesaikan tugas akhirku di kamar. Kalaupun berkunjung ke sana, palingan untuk meminjam, memperpanjang waktu peminjaman, ataupun mengembalikan buku. Sejauh ini, aku merasa tak salah jika menganggap ia sengaja menggambarkan tentang aku, dan dia.

Pada suatu hari, aku ke perputakaan untuk mengembalikan buku. Sekalian aku ingin memastikan, apakah kata lelaki misterius itu bahwa ia keseringan di perputaakaan adalah benar. Juga untuk menegaskan bahwa tulisannya selama ini bukanlah fiksi, tapi sebuah cerita nyata yang tak lebih dari sebuah diary. Aku bergegas saja ke sana. Setahuku, pukul 13.00 adalah waktu favoritnya nongkrong di perpustakaan. Sampai akhirnya benar, dia berada tepat di ujung ruangan, sudut sebelah kiri. Aku pun merasa deg-degan berada di ruangan  itu. Walaupun aku tahu, dia pasti biasa saja. Selalu saja aku membawa suasana ceritanya di blog. Sial juga waktu itu, aku terpaksa duduk semeja dengannya. Mau tak mau harus berhadapan langsung sebab hanya itu kursi kosong.

“Hai, kenapa baru muncul lagi? Sudah lama aku tak melihatmu,” katanya sambil memandangku.

“Mmm, aku sibuk menyelesaikan tugas akhirku,” pungkasku, lalu memalingkan wajah darinya segera. Aku tak tahu harus bertanya apa padanya. Aku benar-benar mati kutu. Dia juga tak ada pertanyaan lagi. Mungkin dia keki mengobrol dengan orang sepertiku. Tapi mungkin juga dia paham kalau perpustakaan adalah tempat untuk membaca, bukan mengoceh. Akhirnya, tiga puluh menit kami lalui dengan serius pada bacaan masing-masing.

Hari berganti, pagi di satu hari pun kujelang. Jika telah bosan melanjutkan ketikan tugas akhir, aku akan memilih berbaring dan mengintip blognya lagi. Sudah lima hari berlalu. Aku tahu, selama itu dia pasti punya tulisan baru. Aku harap dia memperbarui cerita bersambungnya. Syukurlah, dugaanku benar, dia melanjutkan kisah fiksinya. Aku terkejut saat mencermati isi ceritanya. Masih terbaca nyata bagiku untuk dikatakan fiksi. Katanya, ia kembali punya harapan kala menemui wanita idamannya di perpustakaan kemarin. Ah, lima hari telah berlalu, kuyakin itu bukan aku. Tapi belum tentu, tulisan itu dimuatnya empat hari yang lalu. Salahkah aku menduga-duga?

Yang paling meresahkan, ia menuliskan bahwa lima hari setelah pertemuan itu, ia akan menyatakan perasaannya. Ia yakin sang idaman datang ke perpustakaan hari itu setelah mengecek pada petugas perpustakaan. Batas peminjaman buku sang idaman berakhir tepat waktu itu, sama sepertiku. Tapi tak beruntung bagiku. Penyakit yang kuidap parah lagi. Apa boleh buat, tak bisa kukembalikan buku pinjaman ke perpustakaan. Tapi kupikir beruntung juga. Aku tak mesti terpenjara waktu di ruang perpustakaan demi mengetahui siapa sesungguhnya sosok yang dimaksud si misterius itu selama ini. Besok rasa penasaranku akan terjawab juga setelah mengintip blognya.

Keesokan harinya, entah berapa kali aku mengunjungi laman blognya. Setiap saat aku selalu mengeceknya demi mendamaikan diriku dengan rasa penasaran. Aku rela menunggu. Hingga hampir pertengahan malam, semua mencapai klimaksnya. Aku tak menyangka, ceritanya tetap saja menyinggung keakuanku.

Kau wanita,  seperti burung hantu saja. Kau muncul tanpa diduga dan menghilang ke persembunyianmu entah berapa lama. Tapi bagiku kau tetap unik dan sangat langka, meski sebagian orang meyakini kau jelmaan dari hantu sesungguhnya. Kau seperti melawan dunia. Sikapmu sangat dingin pada lawan jenis. Karena itu juga, aku tak tahu harus bagaimana memulai kisah nyata kita. Membuatnya bukan sekadar kisah semu yang kulampiaskan lewat huruf-huruf. 

Aku sangat berhasrat menyatakannya. Hanya ingin kupastikan. Jika kau menyatakan “tidak” atas perasaan itu, biarkan aku tak berharap lebih. Kalaupun kau jawab “Ya”, aku tak akan memperlakukanmu lebih dari biasanya. Intinya, aku hanya butuh kepastian bahwa kau punya tekad yang sama sepertiku, bukan pada sosok  yang lain. Bahwa ada jalan yang patut kulalui untuk kita hidup bersama, entah kapankah nanti. Lalu biarkan di selang waktu sebelum kita terikat secara benar, kita diam saja sambil menggenggam harapan yang sama. Sekadar harapan yang berdasar dan sunggung-sungguh itu saja inginku. 

Terus terang, enam hari yang lalu sejak pertemuan kita, aku semakin yakin bahwa menyatakan kesungguhanku padamu bukanlah hal yang mustahil. Kutuliskanlah  perasaanku pada sebuah kertas, lalu kutitipkan pada pegawai perpustakaan, tempat favoritmu beristirahat  dahulu. Padanyalah kau akan mengembalikan bukumu dan mengambil pesan dariku. Tapi waktu itu kau tak datang juga. Entah bagaimana lagi. Aku sudah tak kuasa lagi jika terus-terusan melawan diriku sendiri. Sedangkan selain begitu, aku tak tahu cara menyelimuti sisi hatimu secara beradab. Jika harus seperti yang lain, aku mengaku pengecut dan tak romantis.

Baiklah, untuk huruf-huruf yang terlanjur kurangkai tentang kita, biarlah jadi  cerita kosongku saja. Akan kucukupkan sampai di sini. Bukan karena aku mengalah pada siapa pun, tapi aku coba belajar ikhlas dengan menyerahkannya pada Pemegang harapan.  

Bagitulah ia menuliskan di blog pribadinya. Aku tetap merasa tersinggung. Salahkah bila aku yakin? Haruskah ada jawaban tanpa pertanyaan?

Sebulan berlalu, aku masih mengamati tulisan-tulisannya di blog. Tapi tak sekalipun ia menyinggung lagi tantang cerita bersambung itu. Akhirnya, ada jawaban yang terpaksa kupendam sendiri. Tentang kemungkinan cerita di balik huruf-huruf itu, akan kuanggap kebetulan saja, sampai pada kepastian nantinya. Cukuplah kutuliskan cerita batin ini dalam huruf-huruf juga. Jika nanti telah kumuat di blogku, kuharap kau membacanya, hingga meyakinkanmu untuk bertanya padaku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar