Aku
bukanlah penikmat tulisan fiksi. Kehidupan adalah kenyataan bagiku. Masalah tak
akan selesai hanya karena mimpi atau harapan yang tak masuk akal. Kurasa,
baiknya memberi sebungkus nasi kepada seseorang yang kelaparan daripada sekadar
bermimpi menjadi Robin Hood. Lebih baik memberi seteguk air daripada
menjanjikan satu bintang. Namun sikapku berubah kala membaca gubahan tulisan
fiksi di sebuah blog yang menyentuh keakuanku. Awalnya kuduga mungkin kebetulan
saja, tapi selanjutnya tidak. Ya, aku yakin cerita fiksi dapat membawa orang larut
dalam makna yang sama. Misalnya, cerita tentang pertempuran di medan perang dan
perjibakuan menyelesaikan tugas akhir sama saja. Sama-sama membuktikan bahwa
hidup butuh perjuangan.
Aku
kenal si penulis itu, tapi tak terlalu akrab. Masih terlalu canggung
bercakap-cakap dengannya. setahuku dia bukanlah penulis hebat. Buktinya, tak
sekalipun kulihat tulisannya terpampang di rubrik fiksi pada koran di hari
minggu. Ataukah setidaknya termuat di karya terbitan mahasiswa. Dia hanya seorang
blogger yang terlalu narsis pada tulisan pribadinya. Aku sendiri tak tahu,
apakah ada juga yang tertarik membaca tulisannnya selain aku. Itu pun, aku terpaksa
membaca tulisannya karena terlanjur melakukan kesalahan fatal: membuka tautan
tulisannya di media sosial karena judulnya menyinggung perasaanku. Berawal dari
tulisannya itu, aku meresa dekat dengannya. Tapi kupikir lagi, tulisan fiksi
memang kadang menjebak. Selalu bebas untuk ditafsirkan, hingga setiap pembaca
dapat menjadi si tokoh utama.
Tulisan
fiksinya yang pertama kali kubaca berkisah tentang dia yang mengagumi seorang
wanita secara diam-diam. Dituliskannya, tak ada kepastian waktu kapan untuk
menyatakan perasaannya pada si pujaan, seorang wanita pendiam dan pemalu. Dia
berhasil dibuatku penasaran. Apalagi aku merasa termasuk kategori wanita yang
dimaksudnya. Aku terbawa suasana hingga akhirnya intens mengikuti cerita
bersambungnya di blog. Dia memang terbilang aktif menulis, tapi tak melulu
tentang cerita fiksi itu. Setelah kutelisik, baru dua tulisan cerita tentang si
pujaannya.
Belakangan
aku terbawa-bawa ingin menjadi sosok idamannya. Aku pun jadi senang mengenakan
baju warna hijau ke kampus. Terbayang saja sosok pujaannya yang maniak warna
hijau sepertiku. Hitung-hitung, kemungkinankan tak tertutup bagiku untuk menjadi
kenyataan sosok wanita di ceritanya. Terus terang, aku sulit untuk tak
mempersepsikan diri sebagai sosok berkacamata itu, meski terlalu bodoh jika
menegaskannya. Alasannya, kami berbeda lingkungan pergaulan sekarang. Terlebih
lagi dia orang yang susah ditebak. Jika melihat dia yang urakan dan humoris
saja, sulit membayangkan ia mampu membuat cerita fiksi yang melankolis.
Sampai
akhirnya dia memuat sesi ketiga dari tulisan fiksi bersambungnya. Dia semakin
terbuka tentang sosok inspirasi ceritanya. Sosok itu digambarkannya tidak
terlalu tinggi dan memiliki lesung pipi. Meski begitu, masih terlalu mengecoh
untuk ditafsirkan pasti. Di sesi keempat, tanda-tanda ia munculkan lagi. Belakangan
si dia sulit ia temui. Intinya, cerita panjang di sesi ini tentang kerinduan. Jalan
ceritanya semakin mengerikan saja bagiku. Apalagi masih beralasan jika kupersepsikan
itu adalah aku. Belakangan memang aku jarang bertemu lagi dengannya. Kalau pun
aku melihatnya, ia bisa jadi tak melihatku.
Pada
bagian keempat itu, ia juga menuliskan kebiasaannya melepas rindu di
perpustakaan kampus. Semakin sering ia bertandang ke perpustakaan belakangan
ini demi bertemu wanita pujaannya. Namun di sana, ia tak lagi melihat dia,
padahal sebelumnya sering. Ya, sekali lagi, aku akhir-akhir ini juga jarang ke
perpustakaan. Aku fokus menyelesaikan tugas akhirku di kamar. Kalaupun
berkunjung ke sana, palingan untuk meminjam, memperpanjang waktu peminjaman,
ataupun mengembalikan buku. Sejauh ini, aku merasa tak salah jika menganggap ia
sengaja menggambarkan tentang aku, dan dia.
Pada
suatu hari, aku ke perputakaan untuk mengembalikan buku. Sekalian aku ingin
memastikan, apakah kata lelaki misterius itu bahwa ia keseringan di
perputaakaan adalah benar. Juga untuk menegaskan bahwa tulisannya selama ini
bukanlah fiksi, tapi sebuah cerita nyata yang tak lebih dari sebuah diary. Aku bergegas saja ke sana.
Setahuku, pukul 13.00 adalah waktu favoritnya nongkrong di perpustakaan. Sampai
akhirnya benar, dia berada tepat di ujung ruangan, sudut sebelah kiri. Aku pun
merasa deg-degan berada di ruangan itu.
Walaupun aku tahu, dia pasti biasa saja. Selalu saja aku membawa suasana
ceritanya di blog. Sial juga waktu itu, aku terpaksa duduk semeja dengannya.
Mau tak mau harus berhadapan langsung sebab hanya itu kursi kosong.
“Hai,
kenapa baru muncul lagi? Sudah lama aku tak melihatmu,” katanya sambil memandangku.
“Mmm,
aku sibuk menyelesaikan tugas akhirku,” pungkasku, lalu memalingkan wajah darinya segera. Aku tak tahu harus bertanya
apa padanya. Aku benar-benar mati kutu. Dia juga tak ada pertanyaan lagi.
Mungkin dia keki mengobrol dengan orang sepertiku. Tapi mungkin juga dia paham
kalau perpustakaan adalah tempat untuk membaca, bukan mengoceh. Akhirnya, tiga
puluh menit kami lalui dengan serius pada bacaan masing-masing.
Hari
berganti, pagi di satu hari pun kujelang. Jika telah bosan melanjutkan ketikan
tugas akhir, aku akan memilih berbaring dan mengintip blognya lagi. Sudah lima
hari berlalu. Aku tahu, selama itu dia pasti punya tulisan baru. Aku harap dia
memperbarui cerita bersambungnya. Syukurlah, dugaanku benar, dia melanjutkan
kisah fiksinya. Aku terkejut saat mencermati isi ceritanya. Masih terbaca nyata
bagiku untuk dikatakan fiksi. Katanya, ia kembali punya harapan kala menemui
wanita idamannya di perpustakaan kemarin. Ah, lima hari telah berlalu, kuyakin
itu bukan aku. Tapi belum tentu, tulisan itu dimuatnya empat hari yang lalu. Salahkah
aku menduga-duga?
Yang
paling meresahkan, ia menuliskan bahwa lima hari setelah pertemuan itu, ia akan
menyatakan perasaannya. Ia yakin sang idaman datang ke perpustakaan hari itu
setelah mengecek pada petugas perpustakaan. Batas peminjaman buku sang idaman
berakhir tepat waktu itu, sama sepertiku. Tapi tak beruntung bagiku. Penyakit
yang kuidap parah lagi. Apa boleh buat, tak bisa kukembalikan buku pinjaman ke
perpustakaan. Tapi kupikir beruntung juga. Aku tak mesti terpenjara waktu di
ruang perpustakaan demi mengetahui siapa sesungguhnya sosok yang dimaksud si
misterius itu selama ini. Besok rasa penasaranku akan terjawab juga setelah
mengintip blognya.
Keesokan
harinya, entah berapa kali aku mengunjungi laman blognya. Setiap saat aku
selalu mengeceknya demi mendamaikan diriku dengan rasa penasaran. Aku rela
menunggu. Hingga hampir pertengahan malam, semua mencapai klimaksnya. Aku tak
menyangka, ceritanya tetap saja menyinggung keakuanku.
Kau wanita, seperti burung hantu saja. Kau muncul tanpa
diduga dan menghilang ke persembunyianmu entah berapa lama. Tapi bagiku kau
tetap unik dan sangat langka, meski sebagian orang meyakini kau jelmaan dari hantu
sesungguhnya. Kau seperti melawan dunia. Sikapmu sangat dingin pada lawan
jenis. Karena itu juga, aku tak tahu harus bagaimana memulai kisah nyata kita.
Membuatnya bukan sekadar kisah semu yang kulampiaskan lewat huruf-huruf.
Aku sangat berhasrat menyatakannya.
Hanya ingin kupastikan. Jika kau menyatakan “tidak” atas perasaan itu, biarkan
aku tak berharap lebih. Kalaupun kau jawab “Ya”, aku tak akan memperlakukanmu
lebih dari biasanya. Intinya, aku hanya butuh kepastian bahwa kau punya tekad
yang sama sepertiku, bukan pada sosok yang lain. Bahwa ada jalan yang patut kulalui
untuk kita hidup bersama, entah kapankah nanti. Lalu biarkan di selang waktu
sebelum kita terikat secara benar, kita diam saja sambil menggenggam harapan
yang sama. Sekadar harapan yang berdasar dan sunggung-sungguh itu saja inginku.
Terus terang, enam hari yang lalu sejak
pertemuan kita, aku semakin yakin bahwa menyatakan kesungguhanku padamu
bukanlah hal yang mustahil. Kutuliskanlah perasaanku pada sebuah kertas, lalu kutitipkan
pada pegawai perpustakaan, tempat favoritmu beristirahat dahulu. Padanyalah kau akan mengembalikan
bukumu dan mengambil pesan dariku. Tapi waktu itu kau tak datang juga. Entah
bagaimana lagi. Aku sudah tak kuasa lagi jika terus-terusan melawan diriku
sendiri. Sedangkan selain begitu, aku tak tahu cara menyelimuti sisi hatimu
secara beradab. Jika harus seperti yang lain, aku mengaku pengecut dan tak
romantis.
Baiklah, untuk huruf-huruf yang
terlanjur kurangkai tentang kita, biarlah jadi cerita kosongku saja. Akan kucukupkan sampai
di sini. Bukan karena aku mengalah pada siapa pun, tapi aku coba belajar ikhlas
dengan menyerahkannya pada Pemegang harapan.
Bagitulah
ia menuliskan di blog pribadinya. Aku tetap merasa tersinggung. Salahkah bila
aku yakin? Haruskah ada jawaban tanpa pertanyaan?
Sebulan
berlalu, aku masih mengamati tulisan-tulisannya di blog. Tapi tak sekalipun ia
menyinggung lagi tantang cerita bersambung itu. Akhirnya, ada jawaban yang
terpaksa kupendam sendiri. Tentang kemungkinan cerita di balik huruf-huruf itu,
akan kuanggap kebetulan saja, sampai pada kepastian nantinya. Cukuplah
kutuliskan cerita batin ini dalam huruf-huruf juga. Jika nanti telah kumuat di
blogku, kuharap kau membacanya, hingga meyakinkanmu untuk bertanya padaku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar