Aku menjalani rutinitas yang biasa
sebagai siswa semester II kelas XI. Duduk di kelas ketika jam pelajaran, jajan
di katin ketika jam istirahat, atau nongkrong di perpustakaan ketika dapat
tugas mendadak. Sungguh membosankan tentunya. Hingga aku tak henti-hentinya
berharap jam pelajaran segera berakhir, dan aku bisa melakoni hobiku bermain
musik.
Tiga bulan sebelumnya, aku memang
telah tergabung dalam sebuah grup band bersama dua orang temanku yang lain. Aku
sebagai vokalis yang merangkap pemain gitar, Rio sebagai bassis, dan Ryu
sebagai penggebuk drum. Kami bertiga berkomitmen untuk menjadi membesarkan nama
band kami, Jibaku. Karena itu, selepas jam sekolah yang membosankan, kami
senantiasa menghabiskan waktu di studio musik milik Ryu.
Obsesi kami sangat tinggi untuk
menjadi orang yang terkenal. Tapi itu tidaklah mengada-ada. Talenta kami
membuat mimpi besar itu terasa mungkin terwujud. Tak ada yang meragukan
kelihaian kami di posisi masing-masing. Tak ada yang berani menyepelekan
kreativitas kami. Bahkan siswa di sekolah kamu pun mulai menobatkan diri
sebagai fans, termasuk juga para perempuan.
Dan sebagai seorang lelaki yang mulai tenar,
paling tidak, di lingkungan sekolah, sanjungan dari kaum hawa adalah godaan yang
harus kusikapi secara bijak. Aku harus menahan diri untuk tidak jatuh ke dalam
buaian semu, hingga tega mempermainkan hati para wanita pengagumku. Tapi beruntunglah,
aku bisa mengabaikan laku-laku wanita yang liar, yang coba mencuri perhatianku.
Tapi keteguhanku dalam mengabaikan soal
perempuan untuk fokus meniti karir sebagai musisi, akhirnya goyah juga.
Diam-diam, aku jatuh hati pada sesosok perempuan berkacamata yang begitu
pendiam dan misterius. Namanya Rina. Seseorang yang tak mengacuhkan aku sebagai
seorang selebriti di lingkungan sekolah, kala wanita lain malah
mengeluh-elukanku.
Sosok Rina memang unik. Ia lebih suka
bersepi-sepi dengan buku bacaan atau buku catatannya, ketimbang larut dalam
ingar-bingar anak sekolahan. Mungkin karena itu pula, selama sekelas dengannya,
aku tak pernah melihat seorang lelaki pun berusaha mendekatinya. Padahal, bagiku,
ia memiliki paras yang sangat menawan, juga senyuman yang begitu manis.
Untuk perasaanku padanya, aku merasa
semakin hidup. Ia menjadi motivasi, inspirasi, sekaligus obsesiku. Membuatku
terus membayangkan dirinya di dalam ruang imajinasi, kemudian menerjemahkannya
dalam kata-kata dan nada. Hingga terciptalah serangkaian lagu tentang seorang
lelaki pemalu yang hanya bisa memendam perasaannya untuk seorang wanita pujaan
hatinya.
***
Kompetisi cinta lagu antarband, akan segera digelar. Satu
kompetisi yang sangat bergengsi pagi anak muda pelakon musik. Dan untungnya,
sebuah lagu ciptaanku, termasuk
di antara tiga lagu yang akan memperebutkan gelar juara. Satu lagu yang
diam-diam kuciptakan untuk Rina, yang tak lama lagi, akan kunyanyikan di
panggung megah untuknya, secara langsung.
Sehabis jam pelajaran, aku pun
bergegas pulang ke rumah. Aku hendak mempersiapkan diri sebelum berangkat ke
studio milik Ryu untuk mamantapkan diri menghadapi kompetisi. Aku menumpang
sebuah angkutan kota langgaran Rina. Aku menunggu sambil berharap-harap cemas
semoga alam berkehendak untuk menjebak kami dalam ruang yang sama. Aku ingin
terperjara bersamanya, agar aku terjebak dan terpaksa untuk memulai pendekatan
awal.
Dan perhitunganku, tepat. Ia datang
juga dengan raut wajah yang datar, lalu duduk tepat di bangku depanku. Tapi
rencana untuk memulai obrolan dengannya, buyar seketika. Aku jadi sangat gugup
dan kehilangan konsentrasi. Hingga detik demi detik berganti, aku tak juga
memulai percapakan, sedang ia tampak begitu cuek.
Kukuat-kuatkan batin untuk terus melawan
kepengecutan diriku sendiri. Kupikir-pikir, kesempatan emas untuk memulai
obrolan dengannya, tak akan datang dua kali. Karena itu, saat angkutan kota tinggal
menyisakan dua orang penumpang saja, aku dan dia, kupaksakanlah lidahku untuk
berucap:
“Rina,” sapaku.
Ia tak menoleh. Mungkin tak mendengar,
atau tak pernah yakin aku akan menyapanya.
Jatungku pun semakin berdegup. “Rin,” seruku lagi, lebih tegas.
Seketika, ia menoleh padaku dengan
tatapan yang aneh, seolah-olah aku tak patut menyebut-nyebut namanya. “Kenapa?”
tanyanya, kemudian memperbaiki posisi kacamatanya yang sedikit melorot.
Tiba-tiba, aku jadi bingung harus memulai
percakapan dari mana. Kupikir, terlalu lugu jika aku langsung mengundangnya
untuk datang menyaksikan kompetisi band yang akan kuikuti. Maka kubukalah
percakapan dengan membahas soal tugas-tugas dan kejadian-kejadian di sekolah, dengan
selingan jeda yang panjang dan tidak teratur.
Berselang kemudian, suasana di antara
kami kembali mendingain. Aku kehabisan bahan basa-basi, sedangkan ia begitu
pasif dalam obrolan. Akhirnya, aku pun mulai menjajaki pokok pembahasan yang
telah kurencanakan. “Apa hari Sabtu nanti kau punya kesibukan?”
Ia menoleh padaku, lalu menggeleng-gelengkan
kepala. “Tak ada. Memangnya kenapa?”
Aku sedikit senang mendengar kalau ia
punya peluang untuk hadir. “Aku tahu kau tidak terlalu tertarik dengan musik,”
selaku. “Tapi…, aku sangat mengharapkan kehadiranmu pada kompetisi musik yang
akan kuikuti hari Sabtu nanti,” terangku, sambil menyodorkan sebuah tiket
kepadanya.
Dengan mimik yang terkejut dan
berseri-seri, ia pun menjemput tiket yang aku berikan. “Terima kasih, ya,” balasnya,
sembari tersenyum.
Tak cukup lima detik kemudian, angkutan
kota yang kami tumpangi, berbelok kanan menuju lorong rumahnya. Dan dari arah
bersilangan, sebuah mobil truk menghantam sisi kiri angkutan kota.
Aku tak tahu jelas bagaimana
setelahnya. Yang pasti, aku mendapati diriku hanya mengalami luka ringan di
bagian siku dan pelipis, sedang Rina dalam keadaan koma dengan luka yang parah
dan pendarahan yang hebat di bagian kepala. Aku pun mendonorkan darahku
untuknya, tentu setelah meyakinkan orang-orang kalau aku akan baik-baik saja.
***
Tiga hari berlalu, aku pun mendapati
kabar kalau Rina telah siuman. Dan atas keadaannya yang belum pulih betul, kupupuskanlah
harapan atas kehadirannya di depan panggung untuk menyaksikan penampilanku pada
kompetisi antarband. Memastikan kalau keadaannya semakin membaik saja, sudah cukup
menyenangkan hatiku.
Sudah tapat jam 7 malam. Itu berarti
sisa satu jam lagi kompetisi band akan dimulai. Aku dengan dua orang teman
sebandku pun menelusuri jalan menuju lokasi acara. Tapi, diluar kendali, petaka
kembali menimpa. Mobil yang dikemudikan Ryu, hilang kendali dan menabrak
pembatas lajur setelah berusaha menghindari penyeberang jalan yang melintas
bukan pada tempatnya. Mobil pun terhempas, dan aku tak tahu apa yang terjadi
setelahnya.
Sampai akhirnya, aku tersadar berada di
sebuah rumah sakit. Tersadar berada di dalam dunia yang jadi begitu senyap. Tak
ada suara terdengar. Yang kusaksikan hanya gerakan bibir ayah-ibuku, juga
dokter dan perawat, yang tampak bahagia atas kesadaranku. Tapi aku tak
mendengar sedikitpun kata-kata dari mereka. Aku mengalami gangguan pendengaran.
Tuli.
Sungguh, sulit bagiku menerima
kenyataan kalau aku jadi menuli. Sebagai seorang musisi, pendengaran adalah
karunia paling berarti. Hanya dengan indra itu, aku bisa merangkai nada-nada
yang indah. Hanya dengan indra itu, aku bisa menggubah lagu-lagu terbaik.
Tapi kenyataan sudah terjadi. Tuli
telah menjadi takdirku, dan aku harus sabar menerimanya.
***
Setelah keluar dari rumah sakit, aku pun
kembali ke rumah dengan kondisi pendengaran yang masih buruk. Lama waktu yang
aku lalui hanya dengan menyendiri, tanpa hendak ke mana-mana. Aku jadi tak
berselera menjalani rutinitas yang dahulu kulakoni setiap waktu. Aku tak
berselera berkumpul bersama teman-temanku, atau siapa pun yang mengenalku. Aku
tak sanggup menjalani komunikasi yang rumit dengan suara yang senyap-senyap.
Tapi hari ini, aku hendak beradaptasi
dengan keadaan baru. Bersama kekalutan yang tak terkira, aku berangkat ke sekolah
setelah sekian lama tak berbagi kabar dengan teman-teman dan guru-guruku. Satu
kedatangan yang mungkin berarti menuai sedih di hati mereka-mereka. Satu
kedatangan yang kubalut harus dengan rasa tak peduli atas rasa segan dan malu
di dalam diriku sendiri.
Sesampainya di sekolah, kulihatlah
dari segala arah kalau orang-orang memusatkan perhatian padaku. Dan aku yang
menafsir kalau mereka hendak bertanya kabar, membalas saja dengan senyuman
seadanya. Sampai akhirnya, pandanganku tertuju pada Rina yang tengah melambaikan
tangan di sisi depanku, seakan berusaha mengesankan sambutan yang hangat.
Tapi tiba-tiba, kekalutan menyerang
batinku menyaksikan kehadirannya. Meka setelah melayangkan satu senyuman, aku pun
bergegas berpaling darinya. Meredam rasa-rasaku yang masih menggebu-gebu, sebab
aku tak ingin mengurai keadaanku padanya, sampai ia malah menjadi kasihan dan
bersedih hati atas diriku. Aku tak menginginkan itu.
Dan akhirnya, sampailah aku di depan
kelas. Aku disambut oleh senyuman teman-temanku beserta bentangan spanduk dengan
tulisan: Ray, Kami adalah temanmu.
Tetaplah di sini bersama kami.”
Sungguh, aku merasa sangat terharu.
Dan perlahan-lahan, kecanggungan antara kamu pun, terurai sedikit demi sedikit.
***
Hari demi hari berlalu. Aku merasa
sangat beruntung memiliki teman-teman yang bisa memahami keadaanku, terutama
Rio dan Ryu. Mereka tak pernah memperlakukan aku secara berbeda. Sama saja
seperti dahulu. Tak ada kekhawatiran dan perhatian yang berlebihan. Dan keadaan
itulah yang membuatku merasa mudah untuk beradaptasi.
Setiap kali jam pelajaran berakhir,
aku pun bergegas pulang ke rumah. Aku punya rutinitas baru yang kusesuaikan
dengan keadaanku sendiri. Aku mulai membiasakan diri berteman dengan buku-buku
yang tertumpuk di kamar pribadiku. Aku mulai gemar berbagi kisah dengan menulis.
Dan perlahan, aku belajar meninggalkan kegemaranku pada musik.
Seperti juga hari ini, aku hendak
pulang ke rumah demi seisi kamarku yang telah menunggu. Seperti biasanya, aku menumpang
pada sebuah angkutan kota.
Hingga, datanglah Rina. Ia menumpang
bersamaku. Membuatku jadi bingung tentang bagaimana harus bersikap dan
berkomunikasi secara wajar dengannya.
Seketika, ia menyodorkan buku
cacatannya kepadaku. “Apa kabarmu?” tanyanya dengan bahasa tertulis, tanpa
memilih untuk berteriak-teriak agar aku bisa mendengar suaranya.
Kuucapkanlah balasan untuknya. “Baik.
Terima kasih sudah mengerti keadaanku. Kau sendiri?”
Ia tampak senang. Lekas, ia menulis
lagi, “Aku pun baik-baik saja. Oh iya, aku punya sesuatu untukmu. Aku harap kau
dapat menerimananya. Tapi aku minta, jangan buka sekarang, ya!” Ia lalu
menyodorkan sebuah bingkisan.
Aku menerimanya dengan perasaan
senang. “Terima kasih banyak,” kataku, sambil tersenyum..
***
Sesampainya di rumah, kusibaklah bingkisan
pemberian Rina. Segera kusobek kertas kado yang membungkusnya dengan rapi. Dan
betapa senangnya, ia ternyata memberiku sebuah novel karangannya sendiri. Satu
gubahan yang akan menjadi bacaan pengisi waktuku beberapa hari ke depan.
Bersama novel karyanya, terselip juga
selembar kertas berisi permintaan agar aku menyempatkan diri untuk menyaksikan
wawancara khususnya di sebuah stasiun TV, yang akan tayang beberapa jam lagi. Dan
sembari menunggu penampilannya di layar kaca, mulailah aku mengeja kata-kata
gubahannya.
Sepintas, aku mengagumi tata bahasa
tulisnya yang sederhana dan begitu mengalir. Ceritanya pun menarik, yaitu tentang
keteguhan hati untuk menerima cinta apa adanya, sebagaimana keterangan sinopsisnya
di bagian sampul.
Kuakui, ia memang lihai meramu kata,
sampai-sampai menghanyutkan aku dalam cerita. Aku larut dan mengidentifikasi
diriku sendiri sebagai tokoh cerita. Ia mampu menggambarkan perasaan tokoh
utama, si perempuan, kepada seorang lelaki yang gemar bermain musik, yang telah
menyelamatkan nyawanya, dan yang kehilangan indra pendengaran.
Apakah itu aku?
Di kala rasa penasaran tengah
membuncahiku soal latar belakang cerita novelnya, dimulailah wawancara khususnya
di televisi. Maka dengan perasaan yang masih penuh tanda tanya, aku pun menyimak
dengan seksama, meski tak kutahu jelas apa yang sedang ia ucapkan. Aku menonton
saja, sambil membaca narasi tertulis tentang kehidupnnya yang kadang muncul di
layar kaca, atau sekadar memandang raut wajahnya saja.
Sampai akhirnya, ia pun tampak
berdiri, sembari menggenggam sebuah gulungan kertas berukuran besar. Aku tak
punya dugaan tentang apa yang hendak ia lakukan. Hingga kertas di tangannya pun
tersibak. Terbacalah olehku:
“Untuk
yang darahnya mengalir di dalam ragaku, terima kasih telah menjadi inspirasiku.
Kau adalah samudera yang aku salami untuk setiap kata yang telah kutulis.
Terima kasih.”
Kini, entah bagaimana aku bisa keluar
dari tafsir keakuanku sendiri. Aku mencoba meyakinkan diri kalau aku bukanlah
tokoh yang tertulis dalam ceritanya, juga dalam pesan-pesannya. Tapi sekeras
apa pun aku mengelak, aku tak bisa membohongi tafsir akal dan perasaanku sendiri,
bahwa tokoh ceritanya, memang adalah aku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar