Lama
waktu yang dilalui, hingga kami ditetapkan sebagai petarung. Aku tak tahu apa
alasannya, hingga penilai menganggap kami sebagai kombinasi tepat. Kulihat, aku
bukan ahli dalam retorika. Baru pertama kali aku rela mempertentangkan sesuatu
yang kuyakini tidak perlu dipertentangkan. Begitulah sebenarnya aku menilai
lomba debat. Sebelumnya kuanggap ini sandiwara yang sia-sia, menguras emosi,
dan tak ada perubahan ke arah lebih baik setelahnya. Tak ada gunanya! Kupikir
kembali, kusimpulkan, semua pilihan dan peristiwa hidup akan bermanfaan jika
kita maknai dalam kebaikan.
Temanku
setimku pun amatiran. Juan dan Kina adalah mahasiswa angkatan baru. Karena lebih
senior, aku dipilih sebagai ketua tim. Bagi mereka, untuk kontes skala nasional
semacam ini pun baru pertama kalinya. Kupikir-pikir lagi, kami amatiran? Tapi
bukan modal nekat saja kami berani, kurasa kami saling mengisi kekurangan.
Sudah lebih satu setengah bulan persiapan kami hingga menjadi tim yang kurasa handal.
Aku menilai kami handal pada posisi masing-masing.
Hari
ini, tanggal 11 Maret, kami berangkat menuju arena pertempuran, sebuah
universitas swasta di Banten. Aku tak tahu dengan siapa kami akan diadu. Yang pasti,
kami akan menghadapi tim-tim professional dari berbagai universitas. Karena jam
terbangnya tinggi, mereka katanya sudah ahli dalam mengolah kata dan membentuk mimik
mengesannya dalam durasi waktu yang terbatas. Intinya, kudengar banyak dari
mereka sudah sering mengikuti perlombaan semacam ini. Dan lagi, kami hanya tim amatiran.
Hampir
pukul 20.00 hari ini, aku melintasi jauh jarak dalam dua jam saja. Terus
terang, aku pertama kalinya menumpangi “burung besi” yang mampu menerbangkan
orang ke mana saja. Pesawat terbang namanya. Kata orang yang kutanyai tentang
kesan pertama kalinya menumpang, ketegangan akan membuat selalu was-was hingga
sampai ke tujuan. Nyatanya biasa saja. Aku malah lebih menyukai getarannya.
Kusuka memacu adrenalinku. Kupinta Kina bergantian kursi denganku. Aku memilih paling
pinggir, sandar di jendela, lalu memandangi kemilau kerlap-kerlip lampu di kota
dari atas udara. Ini lebih mengasyikkan dibanding sekadar memanjat pohon kelapa
di kampung. Singkatnya, aku suka!
Setelah
semalam menginap di rumah teman Kina, akhirnya tersambut tanggal 12 Maret. Aku
sampailah di kolosium para matador. Kulihat tempat itu, seperti di luar negeri
saja. Di sana sini terlihat tulisan bahasa Inggris, bule lalu-lalang, juga
arsitektur bangunan seperti di zaman Yunani kuno. Tapi aku ke sini bukan untuk
berlibur. Mengabadikan gambar saja aku merasa melenceng tari tujuan. Aku lebih
suka merekam kesan-kesannya di ingatanku saja. Aku harus fokus pada teknik memenangkan
pertempuran!
Khusus
hari ini, sistem pertempuran ditentukan. Kami juga diberitahu dengan siapa kami
akan “jor-joran”, dan apa yang menjadi masalahnya. Satu malam, waktunya bagi
semua tim untuk menyiapkan amunisi. Akan kukumpulkan amunisi sebanyak-banyaknya.
Agar tembakannya tepat sasaran, kami bertiga juga telah menentukan “pos-pos”,
tempat kami menyelinap untuk menembak lawan.
Dalam
penyusunan strategi menghadapi pertempuran, ternyata seluruh tim ditempatkan
para tuan-tuan rumah di sebuah istana. Syukurlah tidak ada nyamuk di sini. Jika
tidak, Kina akan merengek-rengek terus karena digigit nyamuk. Istilah tempatnya
Hotel, bebintang tiga katanya. Suasananya sangat mengesannya bagiku, tapi tidak
untuk Juan dan Kina. Mereka sudah sering melalui perjalanan dan menginap di
tempat semacam ini. Inilah tempat yang sering diceritakan dan diidamkan orang-orang.
Tempat di mana kita seakan menjadi raja. Tapi tentu untuk semalam saja menjadi
raja di tempat ini, jutaan rupiah harus lenyap. Kenyataannya aku bukan raja. Sulit
juga untuk menyamar jadi saja. Tapi tuan rumah telah mendandaniku bak seorang
raja. Tanpa perlu memikirkan lembar-lembar “Soekarno-Harta”, aku jadi raja malam
ini dan esok malam. Setiap sudut ruangan kupandangi. Peralatan-peralatan
surgawi juga kepelajari. Kelak jika aku ingin menjadi raja, aku bisa mengurus
diriku sendiri.
Sampai
detik ini saja, aku bersyukur mendapatkan pengalaman pertama dalam hidupku.
Sangat mengesankan!
***
Hari
ini tanggal 13 Maret, waktu di mana 18 tim akan saling “membunuh”. Aku
ditakdikan bertempur dengan dua tim. Kuharap mereka bukan petarung yang handal.
Kutandai paras mereka di hotel semalam, mereka tidak terlalu garang. Bahkan satu
tim lawan semuanya ratu. Mimik mereka terlihat culun, tapi manis juga, kata
Juan. Satu gertakan saja, mereka sepertinya langsung keok.
Jam
setengah sepuluh pagi, kami akhirnya diadu. Lebih dulu, kami melawan tim dari
sebuah universitas yang namanya saja baru kemarin kutahu. Karena itu, aku tak
gentar menghadapinya. Mungkin mereka yang malahan gentar mendengarkan kok-kokan
ayam jantan dari timur. Itu nyata, setelah beradu, kuyakin mereka gentar dan
kalah. Entahlah.
Tim
kedua juga tidak terlalu menakutkan, malahan lucu. Mereka semuanya perempuan.
Tapi sepertinya Juan tetap dalam ketakutannya. Mereka bisa membuat lawan
gerogi. Tapi prediksi itu tidak berlaku bagiku. Aku berfikir, kenapa tidak
mereka saja yang gerogi? Tapi tetap, bagi Juan, wanita memang punya potesi
menaklukkan. Ia bahkan mengakui gerogian saat berpapasan dengan wanita. Setelah
beradu, jika menimbang-nimbang untuk pertandingan kedua ini, aku tetap merasa kami
unggul.
Prediksiku
bukan tanpa bukti, nyatanya saat beradu, anggota kedua tim lawan lari
pontang-panting mencari kandangnya. Mereka bak ayam potong. Besarnya saja secepat kilat, tapi tak berisi. Bisa juga
dibilang mereka seperti Ayam Cina, sebentar-bentar flu, lalu suaranya
tersendat-sendat.
Sesaat
setelah wasit menghentikan pertempuran, keluarlah aku dan Juan berkok-kok
kemenangan. Bahkan Kina berkoteknya lebih nyaring dengan penuh keyakinan, “Aku
yakin kita menang! Meski kedengarannya hanya untuk kami bertiga saja, tapi kami
yakin ayam kota akan heran melihat kami ayam kampung menjadi pemenang akhirnya.
Aku
lupa menyadari, dugaan memang berkelakuan ganda. Begitulah yang terjadi. Jika
boleh menilai, aku yakin kami adalah pemenang. Tapi, mungkin kami ayam kampung
terlalu semangat menyerang, hingga juri mengasihani lawan yang babak-belur. Memang
kami tak tahu tata krama kehidupan di kota, hingga seenaknya saja
berekspresi. Juga tak bisa membuat “corak bulu-bulu menarik” agar para juri
terhipnotos. Intinya, kami terlalu polos. Akhirnya, tim lawan kedua kami
menjadi pemenang.
Terlepas
dari sangkaanku, sebaiknya kuredam keegoisanku. Memang benar jika setiap orang
tidak akan mempu menilai dirinya secara objektif. Aku pernah merasa tidak akan
menang, tapi tuhan menakdirkanku untuk jadi pemenang. Begitupun saat ini, aku
merasa menang, tapi tuhan tidak menakdirkanku untuk menang. Adilah jika setiap
kemenangan yang dipaksakan akan terwujud? lalu adakah yang rela untuk kalah? Mungkinkah
ada kedamaian jika setiap orang hanya ingin menang? Harus kurenungi kembali, “Manusia
hanya bisa merencanakan, tuhanlah yang menentukan akhirnya.”
Aku
merasa lebih baik di hari ke dua ini. Satu malam lagi aku masih jadi raja. Tak perlu
lagi aku berfikir tentang pertikaian seperti kemarin. Sudah, kutembakkan saja
amunisi pada keegoisan diriku, hingga aku mampu mengendalikan diriku. Kusadari
sekarang, menaklukkan diri sendiri adalah kemanangan yang paling berharga.
Pelajaran dari kekalahan adalah mendidik diri menerima kekalahan, bahkan menyadari
kembali peristiwa-peristiwa lalu, di mana kita ditakdirkan tuhan sebagai
pemenang. Pantaskah aku masih mengingkari nikmat dan pelajaran hidup yang Tuhan
berikan?
Sangat
kunanti hari esok, tanggal 15 Maret, waktu di mana aku ikhlas bertepuk tangan
untuk kemenangan mereka, juga kemananganku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar