Kata-kata
perihal masa depan, selalu mengandung ambigu. Menggantungkan makna yang tak
tentu. Menunggu waktu, sampai tindakan menyatakan maksud sesungguhnya. Hingga
kelak, kata-kata merujuk pada satu objek. Entah hadir sebagai bukti tentang kosongnya
kata-kata di masa lalu, atau bukti satu janji yang ditepati.
Pada
soal asmara, berserakanlah kata-kata yang mendahului kenyataan makna. Kata, bukan
sebagai laporan, tapi sebagai rencana. Menguntai sebentuk janji, bahwa di waktu
mendatang, cinta pada mereka yang kasmaran, akan menuai bahagia. Dibalut dengan
kata-kata langit. Entah mengatasnamakan matahari, bulan, atau bintang.
Aku
yang sedang jatuh cinta, entah termasuk di golongan yang mana. Mengaku diri sebagai
pencinta nyata, seperti tak layak. Tak sekali pun aku mengungkapkan perasaan
sembari mewujudkan laku kepada sang pujaan. Menghadiahkan semacam benda, atau membantunya
menyelesaikan tugas dan pekerjaan lain secara sukarela, tak pernah kulakukan.
Sekadar
merasa diri sebagai pencinta kata, juga tak cocok untukku. Tak sekali pun
kuutarakan perasaan padanya, entah dengan lisan atau tulisan, meski aku bisa
dibilang kawan bicaranya yang terbaik. Merenggangnya sekat keseganan di antara
kami, karena itu, malah membuatku merasa aneh jika harus menegaskan perasaan
lewat kata-kata.
Ketakberdayaanku
menyatakan cinta, mungkin karena ketakutan yang berlebihan. Aku enggan
berkorban, sebab takut benar-benar jadi korban. Ogah berserah diri, karena
takut jadi tumbal semata. Aku memang jatuh cinta, tapi bukan jatuh sampai mati.
Selama tak ada jaminan kalau pengabdianku tak akan berujung kecewa, aku
tetaplah pencinta rahasia.
Namun
tidak semua pengecut yang jatuh cinta, terdiam dengan benar-benar diam. Beberapa
di antaranya membungkam kata, tetapi menyatakan rasanya melalui tindakan.
Menjadi pencinta nyata, bukan pencinta kata. Salah satunya Binda, seorang buruh
kontrak, tukang pembersih-bersih di lingkungan kampus.
Yang
tak memerhatikan Binda secara khusus, hingga tak mengenalnya lebih dalam, mungkin melihat sikapnya
biasa-biasa saja. Sebagai pekerja alih daya, banyak yang mengira ia tak mungkin
berani mengalihkan perhatian dari soal pekerjaan demi perempuan, sebab takut dipecat
dan diganti oleh calon pekerja yang mengantre. Tapi sungguh, ia terlihat aneh
belakangan ini.
Ketekunan
Binda dalam bekerja, bagiku, terlihat berbeda dari rekan kerjanya yang lain. Ia
bekerja dengan penuh penjiwaan, tidak mekanis bak mesin. Ia tampak menikmati detail
pekerjaannya tanpa banyak mengeluh. Seakan-akan pekerjaan bukanlah sebuah beban
yang sekadar diringankan dengan gaji seadanya.
Satu
hal yang mungkin membuat Binda senang adalah wilayah kerjanya yang menyenangkan.
Ia tak bekerja di ruang dosen dan pegawai yang mungkin memperlakukannya seperti
budak. Ia bekerja di ruang gerak mahasiswa, yang memperlakukan ia sebagaimana
kawan, tanpa sekat atas nama status sosial maupun ekonomi.
Atas
situasi kerja yang nyaman, Binda benar-benar bertugas dengan baik, sampai tak
ada mahasiswa yang protes atas hasil kerjanya. Seringkali, ia bahkan bekerja
lebih dari yang seharusnya. Tak peduli lelah pada rutinitas, ia sabar memunguti
sampah para oknum mahasiswa. Tak peduli waktu, ia rela memperpanjang waktu
kerja, meski tanpa perintah dan upah tambahan.
Etos
kerja Binda pun, tampak berlebihan pada titik tertentu. Ia terlihat lebih
serius menyempurnakan pekerjaannya di beberapa tempat. Kusaksikan sendiri, ia
senang membersihkan satu sekretariat organisasi mahasiswa, mengelap sebuah
bangku taman yang terbias air atau debu, juga menata bangku di pojok kanan ruang
kelas pada hari-hari tertentu.
Anehnya,
perhatian Binda pada lokasi khusus, dicurahkannya di awal pagi, sebelum mahasiswa
datang bergumul. Juga sore hari, kala para penduduk kampus telah pulang. Sikap itu,
mungkin berarti ia tak ingin dipuji, atau sekadar tak ingin mengganggu penghuni
tempat-tempat khusus itu. Tapi aku yang benar-benar memerhatikan gelagatnya,
bisa membaca adanya keanehan.
Soal
keanehan Binda, adalah satu kesimpulan baruku. Satu kesimpulan yang kucipta
setelah memerhatikan seorang perempuan secara khusus. Aku yakin itu benar,
sebab aku tergolong dekat dengan Binda. Tanpa sungkan, ia seringkali membagi
kisah cinta padaku, hingga menanyaiku soal cinta, termasuk soal status
kedekatanku dengan seorang teman perempuanku, yang kukatakan hanya teman biasa.
Dan
akhirnya, di sore ini, perihal tak terduga, datang menghampriku. Satu peristiwa
yang terjadi setelah aku menunggu lama untuk sang gadis pujaan, Livia, si
penyendiri, di bangku taman favoritnya, untuk mengembalikan buku yang ia
pinjamkan padaku. Menunggu ia selesai dengan kesibukan organisasi, atau perihal
kuliah yang tak ia nikmati. Hingga datanglah dirinya dengan raut wajah yang
aneh:
“Hai,”
sapaku.
Senyumannya
pun merekah malu-malu.
Coba
kutelisik sebabnya. “Kau terlihat sangat bahagia hari ini. Ada apa?”
Dengan
lesung pipi yang timbul-tenggelam, ia kemudian berucap, “Aku juga suka padamu!”
Seketika,
aku tersentak. Kutatap wajahnya yang merah merona, lalu mempertanyakan
keraguanku sendiri. “Maksudnya?”
“Ya,
dari dulu aku juga memendam perasaan padamu,” katanya, dengan mata berbinar-binar.
“Ambil saja surat kaleng ini.” Ia lalu menyodorkan sepotong kertas. “Biarpun tulisan
itu sengaja kau jelek-jelekkan, aku tahu kau yang menulisnya, lalu menaruhnya
di sandaran bangku favoritku, di pojok kanan ruang kelas.” Tawa pendeknya,
mengalun. “Kau tahu, orang sekelas menyorakiku karena itu.”
Kuterima
sodoran secarik kertas itu darinya. Satu berkas berisi pernyataan hati, tanpa
identitas. Dan entah bagaimana, aku tak kuasa menyanggah tuduhan salah darinya,
demi satu jawaban yang telah ia ucapkan soal isi hatiku, tanpa perlu kutanyakan
lagi.
“Sekarang,
aku ingin kau mengucapkannya sendiri,” pintanya, dengan ekspresi yang mencampur
adukkan keseganan, kegenitan, dan kelancangan. “Katakanlah. Tak usah malu-malu.
Aku tak mungkin memberimu jawaban yang mengecewakan. Sudah kukatakan, aku juga
suka padamu.”
Bak
terhipnotis, aku turut saja pada pintanya. Kuutarakan isi hatiku dengan nada
tegas, meski terbata-bata. “Livia, aku menyukaimu! Aku ingin kau menjadi
kekasihku!”
Dia
tampak tersipu lagi. Seakan-akan tak menduga aku akan berucap demikian. “Raut
wajahmu terlihat lucu,” ledeknya, lalu tertawa bahagia.
Aku
turut tertawa. Melepas bebas belenggu hatiku. Terasa melegakan. Seumpama berton
beban, lenyap dari pundakku seketika.
Tiba-tiba,
pesan singkat masuk di telepon gengamku. Sebuah pesan dari Binda: Apa Livia sudah menerima surat dariku? Jika
sudah, tolong katakan itu dariku!”
Aku
terenyuh setengah mati.
Kutoleh
ke segala arah. Mencari tahu keberadaan Binda. Hingga kulihatlah ia tengah
memandang ke arah kami berdua.
Lekas
aku memalingkan wajah dari Binda. Pura-pura bertingkah, seakan-akan aku belum
membaca pesan singkat yang ia kirimkan. Aku ingin mengambil jeda yang mungkin
panjang untuk memikirkan dan menimbang-nimbang balasan terbaik untuknya.
“Kok
bengong?” sentak sang gadis pujaanku, sembari melayangkan senyuman untuk ke
sekian kalinya. “Sudah di penghujung sore. Aku harus pulang.” katanya, kemudian
beranjak menjauhiku dengan langkah pendek dan pelan.
Aku
menatapnya dengan kekosongan, seakan-akan ia belum menjadi kekasihku, dan hanya
seorang teman biasa yang tak perlu kuurusi perihal bagaimana atau ke mana ia
akan pergi.
Tiba-tiba
ia berhenti, lalu berbalik badan. “Sebagai kekasih, kau tak ada rencana
menahanku, dan menawarkan diri untuk mengatarku pulang?” tuturnya, dengan raut
kesal nan manja.
Dan
lagi, aku menampakkan kekakuanku sebagai seorang lelaki. “Bolehkah aku
mengantarmu pulang?” tawarku, serasa bodoh sendiri.
Senyumannya
pun mekar kembali, disusul tawa pendek yang menggemaskan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar