Senin, 30 Oktober 2017

Terpisah Kata-Kata

Sungguh berbunga-bunga perasaan Laila di awal perkenalannya dengan Khalil. Merasa seperti bidadari yang terus disanjung-sanjung. Setiap kata untuknya, dihiasi majas-majas yang indah. Jarang sekali ia disapa dengan namanya saja, tanpa disertai frasa seumpama mata bulan, dagu pelangi,  senyum surga, dan sejenisnya. 
 
Atas buaian yang tiada hentinya, tak butuh waktu lama bagi Laila untuk menjatuhkan hati pada Khalil. Di benaknya, tergambar bayang-bayang di masa depan, bahwa sang kekasih akan terus menghadirkan sanjungan yang membahagiakan. Sang kekasih akan terus menggubah puisi yang istimewa, untuknya seorang. Dan sebagai perempuan, itulah yang ia butuhkan.

Hanya tiga bulan perkenalan, Laila pun memasrahkan diri untuk menjadi suami Khalil. Ia jatuh sejatuh-jatuhnya. Ia jelas tak ingin kehilangan kesempatan untuk memiliki sang peramu kata. Apalagi, dipikirnya, kata-kata adalah sumber kesengsaraan dan kebahagiaan, tergantung siapa yang mengutarakannya. Dan atas kepandaian Khalil berkata-kata, ia yakin akan bahagia sepanjang masa.

Dan benar saja. Di awal penikahan, angan-angan Laila jadi kenyataan. Suaminya, semakin romantis saja. Setiap kali menjelang tidur, sang suami akan berlagak bak balerina, sambil melantunkan bait-bait puisi. Kala pagi menjelang pun, sang suami akan menyuguhkan puisi puja-puji atas kecantikan wajahnya, meski belum sempat dibasuh dan didandani.

Hingga akhirnya, waktu membawa Laila pada kenyataan hidup bahwa puisi bukanlah sebuah realita. Puisi hanya pelipur bagi orang-orang yang tak mampu memeluk isi bumi, hingga berangan-angan tentang seisi langit. Apalagi ketika ia telah melahirkan dua orang anak yang jelas tak membutuhkan puisi untuk bertahan hidup.

Mulailah keluarga Laila dirundung percekcokan. Pangkal masalahnya jelas karena kebutuhan keluarga kecil mereka terus meningkat, sedang Khalil tak juga punya inisiatif untuk mencari pendapatan lebih. Pekerjaannya sebagai pedagang buku bekas, jelas tak menjanjikan bagi kehidupan keluarga mereka. 

Seiring waktu, dua anak mereka semakin bertumbuh dengan kebutuhan yang bertambah pula, tapi pendapatan sebagai pedagang buku bekas, tetap begitu-begitu saja. Seadanya. Keadaan itu jelas membuat emosi Laila mudah tersulut. Terlebih kala melihat suaminya tetap dengan kebiasaan lama. Terus saja menggubah puisi yang tak memiliki nilai materi, di kala anak-anaknya mulai membutuhkan permaian, pakaian, pangan bergizi, dan sebagainya.

“Apa gerangan yang membuat bidadariku murung? Langit tak mendung, tapi wajahnya tak bersinar?” katanya Khalil, sebagaimana kebiasaannya.

Laila tetap cemberut dan menganggap kata-kata itu tidak patut membuatnya tersenyum. “Sudahlah, Pak. Berhentilah bicara dengan cara berlebihan.”

“Kenapa, Sayangku? Apa kau lupa, beginilah cara kita bermain-main di taman surga?" balas Khalil, sembari mengelus-elus rambut sang istri. "Masalah dunia boleh banyak dan bergunung-gunung, tapi ingatlah, langit masih lebih luas dan tinggi.”

Senyuman Laila tak juga terpancing. “Sudahlah, Pak. Aku tak butuh puisi dan kata-kata membuai seperti itu lagi. Bapak harusnya sadar sekarang, kita sudah punya dua orang anak yang butuh banyak hal. Kalaupun Bapak mengira aku masih senang mendengar puisi-puisi itu, tak apa-apa. Tapi sadarlah, anak-anak kita lebih membutuhkan popok daripada selangit puisi,” tegas Laila. Tampak kesal.

Akhirnya, Khalil pun bersikap biasa dan tak memosisikan dirinya sebagai pujangga lagi. “Tapi kebutuhan hidup kita dan anak-anak kan masih terpenuhi, Bu. Tak usahlah terlalu merisaukan masa depan. Apa gunanya kita pikir tentang waktu mendatang kalau kita malah lupa menikmati kebahagiaan di saat-saat ini.”

Kekesalan Laila, semakin menjadi-jadi. “Bapak kok malah menggampangkan keadaan?” katanya, solot. “Baiklah, kita memang hidup berkecukupan sekarang. Tapi bagaimana nanti kalau kedua anak kita sudah bersekolah? Kita butuh tabungan, Pak!”

Khalil malah jadi tertantang untuk meluluhkan kecemberutan sang istri. “Sudahlah, Sayang. Jangan khawatir begitu. Bukanlah lebih baik jika aku ada di sampingmu, daripada aku sibuk dan melupakan keluarga kecilku yang bahagia ini?” katanya, sambil tersenyum-senyum. “Apakah demi uang dan pekerjaan, kamu rela aku jarang di rumah dan tak lagi membacakan puisi untukmu. Kau tak cemburu jika puisiku malah untuk orang lain, bukan lagi untukmu seorang, Sayang?”

Bukannya malah tenang, emosi Laila malah pecah. Ia pun bangkit dan mencabut lembaran-lembaran puisi yang menempel di dinding. “Ini! ambil semua puisi Bapak! Aku tak suka lagi dan anak-anak pun tak membutuhkannya,” katanya, sambil membuang lembaran itu ke langit-langit kamar. Melayang-layang, dan jatuh berserakan di atas kasur dan lantai.

Khalil benar-benar tak menduga kalau sang istri akan memperlakukan puisi-puisi itu dengan cara tak patut.

“Besok, aku tak ingin Bapak menulis dan menempel puisi di dinding lagi. Kalau itu tetap Bapak lakukan, lihat saja, kata-kata tak berguna itu akan jadi asap dan debu!” ancamnya, kemudian melangkah pergi, menuju kamar sebelah, tempat kedua anaknya tertidur.

Pertengkaran Laila dengan sang suami, akhirnya membuat hubungan keduanya menjadi dingin. Keadaan itu berlanjut di hari-hari berikutnya. Raut wajah Laila tak kunjung bersahabat seperti dulu, dan Khalil pun tak ingin memancing pertengkaran dengan candaan dan gombalan. Mereka hanya mengobrol untuk hal-hal yang memang perlu diobrolkan. 

Dalam keadaan yang benar-benar tak nyaman, diam-diam, Khalil pun semakin terpacu menggapai sesuatu yang dapat membuat Laila ceria kembali. Masih dengan puisi. Ia mulai rajin menulis dan mengirimkan puisi ke beberapa media. Sejumlah puisi yang diarsipkannya selama ini, juga ia tawarkan ke beberapa penerbit. Ia terus melakukan itu dengan pantang menyerah, sebab ia merasa, hidup dan matinya, ada pada puisi.

Sampai akhirnya, setengah tahun berselang, usaha Khalil berbuah manis. Bukan karena penjualan buku bekas yang semakin membaik, tapi karena buku-buku karangannya mulai diterima khalayak. Perlahan, popularlah Khalil sebagai seorang penulis puisi dengan buku yang tersebar di mana-mana. Bahkan ia mulai diundang sebagai pembicara dalam acara kesastraan.

Kesohoran pun membuat jadwal kegiatan Khalil semakin padat. Ia jadi lebih sering berada di luar kota, sampai tak sempat berlama-lama dengan keluarga kecilnya. Ia jadi seperti ancamannya dahulu. Menjadi seorang penulis puisi untuk semua orang, bukan untuk istrinya seorang.

Suatu hari, masuklah panggilan ke telepon genggam Laila dari sang suami, Khalil:

“Bagaimana keadaan anak-anak?” tanya Khalil.

“Baik-baik saja, Pak,” balas Laila.

“Syukurlah kalau begitu,” Khalil jeda beberapa detik. “Oh, iya, aku sudah transfer uang ke rekeningmu dari honorku sebagai penulis. Kukira, jumlah itu sudah lebih dari cukup.”

Di ujung telepon, Laila menelan ludah untuk membasahi tenggorokannya yang mengering. “Baiklah. Semua akan akan kubelanjakan untuk keperluan anak-anak,” katanya, sambil berharap suaminya mengucapkan kata-kata yang lebih berkesan, yang khusus untuknya, seperti dahulu, bukan soal uang.

“Baiklah kalau begitu. Sudah dulu. Aku ada pertemuan beberapa saat lagi,” pungkas Khalil.

Tanpa mengucapkan kata-kata balasan, telepon terputus. Laila benar-benar merasa ada yang hilang. Ada keadaan yang diinginkannya kembali seperti dahulu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar