Jumat, 27 Oktober 2017

Mewujudkan Wartawan Profesional

Tumbangnya rezim Orde Baru pada tanggal 21 Mei 1998, membawa angin segar bagi dunia pers Indonesia. Pers yang sebelumnya mendapat kekangan dari pemegang kekuasaan negara, akhirnya menikmati kebebasan seluas-luasnya dalam era Reformasi. Bahkan tak lama setelah peralihan kekuasaan, tepatnya 23 September 1999, lahir UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers (UU Pers), yang bertujuan untuk mewujudkan kemerdekaan dan kebebasan pers. 
Euforia atas kemerdekaan pers, tak pelak, memberikan pengaruh pada pertumbuhan pers. Atas dasar hak setiap warga negara untuk mendirikan perusahaan pers menurut UU Pers, muncullah banyak media dengan karekteristik dan tujuan tertentu, baik cetak maupun elektronik. Terlebih dengan sokongan teknologi telekomunikasi berbasis internet, membuat media siber muncul bak cendawan di musim hujan.
Ditilik pada website resmi Dewan Pers, www.dewanpers.or.id, tercatat ada sekitar 1724 perusahaan pers yang telah terverifikasi, baik secara administrasi atau faktual. Namun legalitas perusahaan pers selaku pelaksana usaha pers, tak lantas menjamin kendali atas pertumbuhan media, terutama media siber abal-abal. Sebagaimana dilansir kompas.com (21/12/2016), Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo menuturkan bahwa terdapat 43.400 media siber, tetapi yang telah terdaftar di Dewan Pers hanya sekitar 234 media.
Pertumbuhan media pers yang tak terkendali, akhirnya turut meningkatkan kebutuhan akan jasa para wartawan. Namun pada tahap inilah, upaya menghadirkan insan wartawan yang profesional, mengalami rintangan berat. Kualitas wartawan, kini diperhadapkan dengan kebutuhan media yang terus meningkat, serta kepentingan pemilik media yang pragmatis. Imbasnya, muncul sejumlah wartawan tanpa keterampilan yang memadai, namun cukup bisa mewujudkan kepentingan bisnis sebuah media.
Realitas Kini
Profesionalisme wartawan menjadi persoalan yang sangat penting saat ini. Di tengah iklim kemerdekaan dan penjunjungan terhadap independensi pers, profesionalitas wartawanlah yang menjadi penentu terhadap kualitas sebuah media. Tanpa wartawan yang profesional, maka percuma berharap adanya media yang mampu mewujudkan fungsi pers sebagai wadah informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial, semata-mata untuk kepentingan masyarakat.
Tingkat profesionalitas wartawan, paling tidak dapat disandarkan pada penegakan prinsip dan etika jurnalistik. Secara rinci, menurut Zulkarimein Nasution (Etika Jurnalisme dan Prinsip-Prinsip Dasar, 2015: 115), terdapat delapan nilai pokok yang patut menjadi pegangan wartawan dalam melaksanakan aktivitas jurnalistik, yaitu akurasi, independensi, objektivitas, balance, fairness, imparsialitas, menghormati privasi, dan akutabilitas kepada publik.
Kalau penegakan prinsip dan etika jurnalistik direfleksikan pada realitas wartawan Indonesia, maka akan tampak banyak persoalan. Sebagaimana dilansir di laman republica.co.id (5/1/2017), Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo mengungkapkan bahwa pada tahun 2016, Dewan Pers menerima sebanyak 750 aduan, yang sebagian besar terkait dengan pelanggaran kode etik dan perilaku wartwan. Bentuknya dapat berupa pelanggaran atas asas praduga tak bersalah, nilai keberimbangan, dan kepentingan privasi seseorang.
Timbulnya masalah pada profesionalitas wartawan, tentu sangat dipengaruhi oleh pengetahuan dan keterampilan jurnalistik wartawan sendiri. Para wartawan yang tidak memahami teknik, prinsip, dan etika jurnalistik, pastilah bermasalah di lapangan pemberitaan. Bak berjalan tanpa arah. Implikasinya, keterampilan jurnalistik pun, tak akan terasah dengan baik. Dan lahirnya wartawan sejati,  akan tetap jadi angan-angan semata.
Sebagaimana diutarakan oleh Djafar H. Assegaff (Perlawanan dalam Kungkungan: Menegakkan Mutu dan Profesionalisme Pers, 2002: 81-82), masalah yang dihadapi dalam pendidikan jurnalistik adalah pembentukan watak dan sikap sebagai wartawan. Sikap dan watak sebagai wartawan tidak bisa diajarkan dari buku semata, tetapi harus dibentuk dalam suasana kerja. Sikap adalah kemampuan wartawan untuk bekerja di dalam tekanan waktu dan bekerja secara bergegas. Wartawan harus mampu menangkap peristiwa dan menuliskannya secara tepat.
Di luar faktor kompetensi, profesionalitas wartawan juga tak bisa dilepaskan dari tekanan pemilik perusahaan pers. Atas kepentingan profit, para wartawan sering kali disetir untuk kepentingan tertentu yang bertentangan dengan prinsip dan etika jurnalistik. Selain itu, tekanan juga dapat berasal dari oknum masyarakat yang memiliki kepentingan pada fakta pemberitaan, baik tekanan dalam bentuk intimidasi maupun kekerasan fisik. Namun pada akhirnya, tekanan apa pun jadi tak berarti apa-apa, jika sikap dan watak wartawan, telah terbentuk dengan baik.
Butuh Pembenahan
Timbulnya persoalan terkait profesionalitas wartawan, perlu segera diatasi. Jika terkait dengan kompetensi wartawan, maka sistem pendidikan keterampilan, urgen untuk diwujudkan. Apalagi, sudah tak terelakkan bahwa status wartawan, telah dianggap sebagai profesi, sehingga lekat dengan profesionalitas. Paling tidak, wartawan telah memiliki panduan etik dan sejumlah organisasi perhimpunan yang lazim ada pada profesi secara umum. Namun sayang, sistem pendidikan keterampilan yang juga merupakan karakteristik dari sebuah profesi, masih belum menjadi perhatian serius di dunia kewartawanan.
Sebagai gambaran, jumlah wartawan di Indonesia menurut berita yang dilansir di mediaindonesia.com (2 September 2016), telah mencapai sekitar 80.000 orang. Namun hanya sekitar 8.000 orang dari mereka yang telah melulusi uji kompetensi. Bahkan jika ditilik pada laman resmi Dewan Pers, www.dewanpers.or.id, hanya terdapat sekitar 6.460 orang wartawan yang telah mengantongi sertifikat kompetensi.
Diabaikannya pendidikan profesi kewartawanan, setidaknya bisa dilihat dari lambatnya pengadaan sistem pendidikan keterampilan watawan. Baru pada tahun 2010, Dewan Pers sebagai lembaga yang juga berfungsi meningkatkan kualitas profesi kewartawanan sesuai Pasal 15 ayat (2) f UU Pers, menetapkan Peraturan Dewan Pers No. 1/Peraturan-DP/II/2010 tentang Standar Kompetensi Wartawan (Peraturan SKW). Peraturan SKW tersebut merupakan rumusan kemampuan kerja wartawan, yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan/keahlian, dan sikap kerja yang relevan dengan pelaksanaan tugas kewartawanan.
Secara umum, kompetensi wartawan meliputi kemampuan memahami etika dan hukum pers, konsepsi berita, penyusunan dan penyuntingan berita, serta bahasa. Dalam kerangka Peraturan SKW, item-item itu terbagi dalam tiga komponen besar, yaitu: (a). Kompetensi kesadaran (awareness), mencakup kesadaran tentang etika dan hukum, kepekaan jurnalistik, serta pentingnya jejaring dan lobi; (b). Kompetensi pengetahuan (knowledge), mencakup pengetahuan teori dan prinsip jurnalistik, pengetahuan umum, dan pengetahuan khusus; (c). Kompetensi keterampilan (skills), mencakup kegiatan 6M (mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi), serta melakukan riset/investigasi, analisis/prediksi, serta menggunakan alat dan teknologi informasi.
Lebih lanjut, Peraturan SKW juga membagi kualifikasi dan jenjang kompetensi wartawan dalam tiga kelompok besar, yaitu wartawan muda dengan kompetensi melakukan kegiatan jurnalistik, wartawan madya dengan kompetensi mengelola kegiatan jurnalistik, dan wartawan utama yang memiliki kompetensi untuk mengevaluasi serta memodifikasi kegaiatan jurnalistik. Sesuai tingkat kualitasnya, tiap-tiap kualifikasi tersebut, memiliki mekanisme dan sistem pengujian yang berbeda-beda.
Jenjang kompetensi ini, selanjutnya, jadi penting sebagai panduan penataan karir insan wartawan, semisal reporter yang cukup berkualifikasi wartawan muda, redaktur berkualifikasi wartawan madya, sedangkan redaktur pelaksana dan pemimpin redaksi berkualifikasi wartawan utama. Jika begitu, bisa dipastikan bahwa ruang-ruang media pers akan diisi oleh orang yang benar-benar kompeten di bidangnnya.
Atas hadirnya Peraturan SKW sebagai kesepakatan Dewan Pers bersama perwakilan organisasi wartawan, organisasi perusahaan pers, dan masyarakat pers, maka hal yang perlu dilakukan selanjutnya adalah mengimplementasikannya dengan baik. Pelaksana uji kompetensi yang telah diverifikasi oleh Dewan Pers, baik perguruan tinggi, lembaga pendidikan kewartawanan, perusahaan pers, maupun organisasi pers, harus melaksanakan pengujian secara ketat, sesuai dengan panduan umum yang juga tercantum dalam Peraturan SKW.
Tak kalah penting dari sekadar pelaksanaan uji standar kompetensi dan sertifikasi, setiap perusahaan pers juga harus merumuskan dan menegakkan Peraturan SKW dalam kebijakan-kebijakan internalnya. Setidaknya, perusahaan pers harus memberikan jaminan kepada masyarakat bahwa wartawan yang mereka pekerjakan, telah memenuhi standar kompetensi wartawan sesuai dengan jenjang karir mereka dalam struktur redaksi.
Lebih dari itu, organisasi wartawan atau perusahaan pers, juga harus proaktif dalam mengawasi dan mengevaluasi kinerja anggotanya sesuai dengan prinsip dan kode etik jurnalistik. Jika terdapat wartawan yang melakukan pelanggaran, maka seyogianya, melalui usulan majelis/dewan etik organisasi wartawan atau perusahaan pers, sertifikat dan kartu kompetensi wartawan yang bersangkutan, patut diusulkan untuk dicabut oleh Dewan Pers.
Mekanisme pencabutan predikat kompetensi, diatur secara jelas dalam Peraturan Dewan Pers No. 3/Peraturan-DP/VIII/2015 tentang Pencabutan Sertifikat dan Kartu Kompetensi Wartawan (Peraturan PSKKW). Alasan-alasan pecabutan predikat dalam peraturan itu, secara umum, mencakup pelanggaran kode etik jurnalistik, memalsukan karya jurnalistik dan identitas perusahaan pers saat uji kompetesi, serta tidak menjalankan tugas jurnalistik atau bekerja di sebuah perusahaan pers yang tidak memenuhi standar perusahaan pers.
Penegasan terhadap wartawan abal-abal, pun terdapat dalam Peraturan PSKKW. Di dalam peraturan tersebut, secara tegas dinyatakan bahwa wartawan yang melakukan plagiat, membuat berita dusta atau bohong, menerima suap atau menyalahgunakan profesi wartawan, atau melanggar hak tolak/ingkar dan off the record, tidak dapat lagi mengikuti ujian kompetensi. Ini menandakan bahwa pelanggaran pada kaidah pokok jurnalistik, tak pantas lagi ditolerir.
Akhirnya, harapan besar atas profesionalitas wartawan, tertumpu pada penegakan Peraturan SKW dan Peraturan PSKKW. Untuk itu, Dewan Pers perlu memverifikasi lebih banyak lagi lembaga uji kompetensi wartawan, agar niat baik wartawan untuk mengukuti uji kompetensi, dapat terwadahi secara baik. Selain itu, Dewan Pers juga perlu mengambil sikap tegas terhadap organisasi wartawan dan perusahaan pers yang tidak mengindahkan Peraturan SKW dan Peraturan PSKKW, semisal mencabut status terdaftar atau verifikasinya.
Di luar itu, harapan besar, jelas ditumpukan pada niat baik dan tindakan proaktif organisasi wartawan dan perusahaan pers dalam menegakkan Peraturan SKW dan Peraturan PSKKW. Tak kalah pentingnya, peran serta masyarakat juga dibutuhkan dalam melakukan pengawasan terhadap insan pers, termasuk melakukan pengaduan ke Dewan Pers jika menemukan indikasi pelanggaran terhadap kode etik jurnalistik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar