Sepanjang
hari, Rumi berdiam diri di rumah. Hanya duduk termenung di satu kursi yang
hampir selurus dengan jendela. Meneleku pada meja, sambil memandang sebuah
kalender yang tertempel di dinding. Matanya tertuju pada bulan Juni. Di sana,
ia telah melingkari angka 1. Tepat di tanggal itulah, telah terjadi peristiwa
yang membekas di memorinya.
Teringat
lagi oleh Rumi, kala dahulu, berbulan-bulan sebelum tanggal 1 Juni, ia telah melakoni
serangkaian kisah. Panjang jalan yang ia lalui sebagai awalan demi mengenal seorang
wanita bernama Rika, seorang pramusaji di sebuah kafe. Bahkan ia harus rela
menghabiskan waktu yang lama di tempat kerja sang gadis, sekadar untuk mencuri
perhatian.
Sesi
penjajakan, rupanya tak berjalan mulus. Rumi, seorang lelaki pemalu, terus saja
diam dalam kebodohannya. Sering kali hanya memandang sang pujaan hati berlalu-lalang
dan berlaku ramah dengan para pengunjung kafe. Ia tak tahu harus berbuat apa. Barulah
ketika hasratnya memuncak, ia berani berbagi senyum dan bertutur sapa, tapi hanya
untuk kepentingan pelayanan.
Dan,
di satu malam yang tenang, terjadilah peristiwa yang memaksa Rumi melangkah
lebih jauh. Entah bagaimana ceritanya, secangkir kopi yang disajikan sang gadis
di hadapannya, terjatuh. Cairan pekat pun, terpercik ke baju Rumi. Tapi atas
perasaannya yang mendalam, ia tak marah sedikit pun. Terang saja, ia malah
berlaku lembut pada si gadis jelita.
Sejak
malam itulah, Rumi telah menggenggam kisah yang pantas menjadi alasan untuk
berbagi senyuman dan bertutur sapa secara intens. Mereka pun jadi semakin dekat.
Tak
ingin melewatkan waktu lebih lama lagi, tepat di tanggal 1 Juni, Rumi pun
menyatakan perasaannya pada Rika. Peristiwa itu dilakukannya dengan cara yang
istimewa. Tepat ketika malam panggung bebas musik di kafe, ia menyanyikan
sebuah lagu. Dan di akhir penampilannya, terucaplah kalau lagu itu, ia
persembahkan khusus untuk Rika.
Setelah
peristiwa di malam tanggal 1 Juni, tanpa perlu penegasan lagi, hati mereka
saling terikat. Banyak waktu yang mereka lalui bersama. Mereka suka menelusuri
bangunan kota, olahraga di ruang terbuka hijau, hingga begumul dengan
huruf-huruf di perpustakaan. Dan yang mereka paling suka adalah duduk di tepi
pantai sambil memandang sang surya tengggelam.
Begitulah
cerita kedekatan mereka yang penuh rasa.
Dan
kini, mata Rumi beralih dari tanggal 1. Pandangannya lalu tertuju pada angka 30
Juni di kalender. Di tanggal itulah, ia berencana mengakhiri hubungan semunya
dengan Rika. Ia menginginkan hubungan yang sungguh-sungguh, dalam ikatan
pernikahan. Apalagi, ia meyakini, gadis bermata sipit itu adalah sosok terbaik
untuk menjadi pendamping hidupnya.
Demi
niat mulianya, di sepanjang waktu menjelang tanggal 30 Juni, Rumi pun
senantiasa mengesankan diri sebagai sosok calon suami yang layak bagi Rika. Semasih
atas nama pertemanan, sesekali ia bertandang ke kediaman sang pujaan, sekadar untuk
mengenal calon mertua. Sebaliknya, Rika pun sesekali datang ke rumahnya untuk
maksud yang sama.
Sejauh
pandangan Rumi kala itu, tak ada rintangan yang berarti untuk rencananya
mengajak Rika duduk di pelaminan.
Dan
sontak, mata Rumi beralih lagi. Kini, perhatiannya tertuju di angka 15, satu
angka di antara tanggal 1-30 Juni. Segenap hati dan pikirannya tersita, karena
pada angka itulah, tercipta jarak antara harapan dan kenyataan yang telah
dikira-kiranya sepanjang waktu. Angka 15 menjadi pembatas, sebab di tanggal
itulah, Rika mengalami kecelakaan tragis. Ia meninggal seketika.
Kisah
Rumi dan Rika, berakhir sudah.
“Nak,
apa kau akan terus seperti ini?” Suara Rita, sang ibu, menyadarkan Rumi dari
lamunannya.
Rumi bergeming.
“Peristiwa
itu telah terjadi, Nak. Kau harus bisa menerima kenyataan,” ucap Rita lagi,
menasihati.
Sejenak,
Rumi berdialog dengan dirinya sendiri. Ada juga sedikit kesadaran dalam dirinya
untuk berhenti berkabung. Tapi jika mengingat hari terakhir hidup Rika, ia
jelas tak bisa keluar dari kesedihannya. “Aku butuh waktu, Bu,” kata Rumi.
Rita
hanya menggeleng-geleng. Tekad untuk bangkit dari keterpurukan, sedari dulu
telah dituturkan sang anak, tapi tak jua ada buktinya. “Nak, mungkin ada
baiknya kau mencari wanita lain. Aku yakin, di alam sana, Rika tak ingin kau
sedih seperti ini.”
Rumi
menarik napas dalam-dalam. Seakan-akan ia ingin mengatakan kalau nesehat itu,
sungguh berat baginya. Rasa cinta dan rasa bersalah, telah bersatu-padu menjeratnya
dalam kenangan pahit bersama Rika.
Mungkin
sampai kapanpun, Rumi tak akan melupakan hari terakhir Rika, tanggal 15 Juni.
Sore itu, kala langit mendung, ia mengirimkan pesan singkat kepada Rika untuk
segera menemuinya di tempat favorit mereka berdua, di tepi pantai. Ia
menjanjikan sebuah kejutan. Diam-siam, ia berencana mengungkapkan tekadnya
untuk menikahi gadis itu, di bawah naungan langit senja.
Dan
hingga malam tiba, di bawah langit yang tak henti meneteskan titik-titik
hujan, Rika tak juga datang menemuinya. Hingga datanglah kabar kalau gadis itu
terlibat kecelakaan yang merenggut hidupnya, seketika.
Atas
peristiwa itu, sampai kini, Rumi tak henti menyalahkan dirinya.
“Nak,
ada baiknya kalender itu diganti,” saran sang ibu.
Mata
Rumi seketika tertuju pada tahun yang tertera pada kalender yang menggantung di
depannya: 2016. Sudah satu tahun berlalu. Tapi seperti sebelumnya, Rumi tetap
menolak saran sang ibu tanpa menuturkan alasan yang sesungguhnya. “Jangan, Bu!”
“Tapi
aku telah membeli kalender yang baru,” sergah Rita.
“Tempel
saja di dinding yang lain!” tegas Rumi.
Untuk
ke sekian kalinya, Rita mengalah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar