Jauh
di masa lampau, aku kerap melihat ibuku menyibukkan diri di taman. Saat pagi, dengan
penuh kesabaran dan ketelatenan, ia senantiasa membersihkan, memangkas, dan
menyiram segala macam tanaman bunga di halaman rumah. Dan kala sore hari, kami
sekeluarga sering melewatkan kebersamaan di taman itu, entah untuk sekadar
bersantai, atau bercengkerama tentang kisah-kisah kami sehari penuh.
Semua
gambaran itu, akhirnya sirna sejak dua bulan yang lalu. Di taman, aku tak lagi
melihat ibuku seceria dahulu. Raut wajahnya tampak layu di antara bunga-bunga
yang masih bermekaran di bawah pemeliharaanku. Tiap kali duduk di bangku taman, ia
hanya akan berdiam diri, termenung, sambil mengusap-usap cincin pernikahan di
jari manisnya. Atas semua itu, aku bisa memastikan, perubahan sikapnya terjadi
setelah cinta pertamanya, ayahku, meninggal dunia.
Dan
pada satu pagi, saat aku selesai mengurus tetumbuhan yang terhampar indah, aku
pun menghampiri ibuku di bangku taman. Aku hendak mengobrol sekaligus mengikis kesedihannya
yang mendalam. Ada ketidaksabaran di hatiku, melihat sikapnya yang tak juga
berubah. “Apa satu bulan belum cukup bagi Ibu untuk mengikhlaskan kepergian
Ayah?” Aku bertanya lugas, sedikit segan.
Ia
sontak menoleh padaku. “Itu tak mudah, Nak. Bagimana pun juga, rasa cinta
antara kita dan dia, tak akan menghilang begitu saja,” katanya, dengan mata
yang berkaca-kaca. “Aku selalu merindukan kebersamaan kita dahulu. Jika saja
itu masih mungkin.”
“Aku
paham, Bu. Tapi setidaknya, kesedihan jangan sampai membuat Ibu lupa untuk
membangun masa depan. Bagaimana pun juga, aku yakin, Ayah tak akan pernah
menginginkan kita bersedih sepanjang waktu kepergiannya,” kataku, kemudian
bertutur sedikit lancang, “Jika aku bisa setabah ini, ibu juga harus bisa. Ada
baiknya jika kita berdoa untuknya ketimbang terus-terusan bersedih, Bu.”
Sorot
matanya, menatapku semakin tajam. Kuduga, ia tersinggung atas nasihatku, dan
amarahnya akan meluap. Tapi ketakutanku, salah. Ia bisa mengerti maksud
perkataanku. “Ya. Kau benar. Tapi aku butuh waktu, Nak,” katanya.
Selepas
itu, aku diam saja, sambil mengkhayalkan betapa dalamnya luka yang ditorehkan
cinta yang dalam. Bias-bias tanya, muncul juga di benakku, tentang apa gunanya
kita mencintai jika akhirnya perpisahan yang pasti, akan membuat kita bersedih
setengah mati.
Setelah
terdiam beberapa saat, ibuku pun mengalihkan
pembicaraan pada topik yang lain. “Nak, umurmu sudah hampir tiga puluh tahun.
Sudah waktunya kau menikah,” katanya, dengan satu senyuman yang kaku. “Kau tahu
sendiri, kondisiku tak akan selalu baik seperti sekarang. Aku takut jikalau aku pergi menyusul Ayahmu, sedangkan kau belum juga menemukan pendamping hidup.”
Lagi-lagi,
aku semakin tak habis pikir, bagaimana ibuku yang terluka karena cinta,
menginginkan aku menuju luka yang sama. Jelas saja, aku sulit menerima nasihat
itu, “Bu, mencari dan menemukan seorang pendamping hidup, tak semudah membalik
telapak tangan. Kurasa, ibu sendiri yang pernah menasihatiku untuk mencari
pendamping hidup dengan baik,” melasku, kemudian lekas memuji, “Sulit mencari
wanita sebaik Ibu.”
Seketika,
senyuman ibuku terlihat lebih menawan. Sesaat, kekakuan di wajahnya, tampak
sirna. “Kau hanya perlu menjadi lelaki sebaik Ayahmu,” pesannya.
Aku
tersenyum saja.
Akhirnya,
obrolan pagi itu berakhir. Aku masih dengan kebekuan hatiku tentang cinta,
sedangkan ibuku masih dengan kenangan indahnya tentang cinta.
Tak
terasa, waktu cepat berlalu, hingga sampailah aku di keadaan seorang diri.
Setelah ditinggal pergi sosok ayah, kini, ibuku pun menyusul. Ia meninggal
dengan duka hatinya yang tak kunjung sirna. Rasa sedih dan sepi, akhirnya
menghujam perasaanku begitu dalam. Tapi, aku bersyukur, bahwa cukuplah aku yang
berkabung ditinggal seorang diri. Aku bersyukur, sebab ibuku tak perlu
merasakan kehilangan yang mendalam untuk kedua kalinya.
Kini,
di tengah kesendirian, kukecap lagi harapan dan nasihat ibuku yang tak sempat
kuwujudkan: tentang pendamping hidup. Tapi sekuat apa pun keadaan meruntuhkan
anggapanku tantang candunya racun cinta, tetap tak mengubah apa-apa. Sampai
saat ini, aku masih saja dengan sikap yang sama. Aku masih betah sendiri. Aku
belum berhasrat menjatuhkan perasaan pada seorang wanita. Tidak kepada
siapa pun, sebab aku mengerti bahwa cinta pasti berujung luka.
Sungguh,
aku mengerti pahitnya mencintai dan dicintai begitu dalam dan buta-buta. Aku
tahu itu dari kisah ayah dan ibuku. Sepeninggal ayah, ibuku terus hidup dengan
duka yang meresap di hatinya. Ia tak bisa bangkit lagi. Padahal jika aku jadi
dia, aku tak akan mengambil sikap yang sama, sebab aku selalu ragu ada cinta
yang benar-benar sejati. Selalu banyak rahasia yang menyelubungi kata cinta
yang manis.
Seketika,
aku teringat lagi atas sebuah rahasia antara aku dan ayahku. Satu rahasia besar
yang tersembunyi dari ibuku. Rahasia itu kuketahui menjelang kematian ayahku.
“Nak,
aku ingin menitip pesan padamu, yang tak mungkin kutitipkan kepada yang lain,
bahkan pada Ibumu,” kata ayahku, terbata-bata.
“Apa
Ayah? Katakana saja,” pintaku.
Dengan
napas yang tersengal-sengal, ia kemudian menerangkan, “Maafkan aku, Nak. Kau
bukanlah anakku satu-satunya. Sejujurnya, aku telah menikah dengan seorang
wanita yang lain. Aku memiliki seorang anak darinya, seorang perempuan,
saudarimu sendiri.”
Waktu
itu, aku sungguh kaget dan tak percaya. Tapi melihat keadaannya yang
memprihatinkan, rasa iba, mampu juga meredam semua jenis perasaanku yang lain
padanya.
“Aku
mohon sepeninggalku, kau harus bertemu
dengannya. Bagaimana pun juga, kalian bersaudara. Aku ingin kalian saling
menjaga,” pintanya, lalu menerangkan alamat rumah istri keduanya; istri
rahasianya.
Atas
rahasia besar itu, juga atas kesedihan yang mengantarkan ibuku menuju kematian,
aku mengerti bahwa cinta hanya tentang tinggal-meninggalkan, luka-melukai,
khianat-mengkhianati.
Namun, kesimpulan itu belum benar-benar membunuh benih cintaku.
Namun, kesimpulan itu belum benar-benar membunuh benih cintaku.
Hingga,
di waktu yang lalu itu pula, kala cintaku sedang mekar-mekarnya pada seseorang wanita,
kutelusurilah alamat yang diberikan ayahku. Hingga akhirnya kutemukan sebuah
kenyataan pahit, bahwa seseorang yang selama itu kudambakan menjadi mendamping
hidup adalah saudara kandungku sendiri.
Sejak
saat itu, cinta pertamaku terenggut dan harus terbunuh. Setelahnya, aku tak
ingin lagi mengenal cinta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar