Beberapa aksi
persekusi menjadi viral dan diperbincangkan di media massa belakangan ini. Ada
kasus Fiera Lovita, seorang dokter yang digeruduk anggota organisasi masyarakat (ormas). Itu terjadi
setelah ia mengunggah status di Facebook yang dinilai para simpatisan ormas,
melecehkan tokoh penutan mereka. Ada juga kasus seorang anak berumur 15 tahun berinisial
PMA yang diintimidasi sekelompok orang, juga karena dinilai melecehkan tokoh
ormas yang sama. Dua kasus ini hanya bagian kecil dari sekitar 60 kasus
persekusi selama lima bulan terakhir menurut catatan SAFEnet (Southeast Asia Freedom of Expression Network),
yang sebagaian besar berawal dari unggahan di media sosial.
Maraknya
kasus persekusi, tak pelak menimbulkan kesan teror bagi siapa pun. Selain dampak
traumatis bagi korban, persekusi juga ampuh memberikan tekanan psikologis
kepada masyarakat secara umum. Atas tindakan persekusi, orang-orang menjadi
takut berpendapat dan berekspresi untuk soal-soal tententu, baik secara langsung maupun melalui dunia
maya. Mereka takut dipersalahkan secara semena-mena. Apalagi tindakan persekusi
yang terjadi, sering kali hanya didasari penilaian dan kesimpulan sepihak para
pelaku atas perihal yang dianggap singgungan atau hinaan.
Dari
rentetan kasus yang telah terjadi, persekusi patut dipandang sebagai problem
yang penting. Pemerintah dan para penegak hukum, perlu melakukan tindakan
secara menyeluruh dalam menyeselaikan persoalan ini, bukan sekadar dengan
menindak pelaku secara perorangan saja. Apalagi persekusi selalu
mengandalkan dan memanfaatkan ranah kolektif masyarakat. Ini berarti bahwa persekusi
terjadi bukan karena tindakan spontan dan individual, tapi ada keutuhan
psikologis yang membuat para pelaku bersatu dan bergerak bersama. Ada kesatuan
massa yang disatukan oleh emosi yang sama.
Populisme Sesat
Tindakan
persekusi, tentu sebuah ironi di negara yang mendaku berdasarkan hukum.
Penyelesaian masalah secara sepihak, jelas merupakan bentuk pelecehan terhadap
hukum negara yang memiliki mekanisme tersendiri dalam penyelesaian masalah. Mempersalahkan
dan mengintimidasi seseorang tanpa proses sesuai aturan hukum, adalah tindakan penggembosan
peran penegak hukum yang berwenang. Hingga munculnya asumsi bahwa hukum patut
diabaikan karena sudah tak lagi mampu mewujudkan keadilan, adalah racun yang
harus segera dibersihkan.
Tak
bisa dimungkiri, bahwa pada satu sisi, maraknya tindakan persekusi, terjadi
seiring dengan lemahnya penegakan hukum. Anggapan miring terhadap hukum yang
didasari oleh rasa keadilan yang egoistis, sering kali menjadi pendorong utama
timbulnya tindakan persekusi. Sebagai istilah lain dari tindakan main hakim
sendiri, persekusi dianggap sejumlah orang sebagai cara terbaik dalam menyelesaikan
masalah. Anggapan demikian, akan semakin menyebar dan menguat di bawah
kata-kata “antihukum” dari segelintir tokoh massa yang merasa tak diuntungkan
oleh proses hukum.
Sisa-sisa
pilkada DKI Jakarta, setidaknya cocok untuk menggambar betapa besarnya pengaruh
ketokohan dalam menggerakkan massa, juga dalam membangun cara pandang terhadap
hukum. Sebelum, saat, dan setelah pilkada berlangsung, masyarakat ibu kota,
bahkan seluruh warga Indonesia, berdiri tegak dalam ranah kekubuan yang saling
berlawanan. Masyarakat terpecah secara ektrem dalam sikap pro dan kontra atas
dasar unsur SARA, utamanya unsur agama yang terus menyelubungi proses pilkada
hingga usai, bahkan hingga saat ini. Akhirnya, masyarakat yang terbelah karena
mengekor pada tokoh-tokoh yang berseberangan, kukuh membela pandangan tokoh
mereka masing-masing.
Pilkada
Jakarta yang berhasil memunculkan tokoh dengan massa pendukung yang besar,
menjadi satu fenomena tersendiri. Para tokoh dengan penuh kharisma, mampu
menggerakkan pengikutnya untuk berlawanan sikap dengan kelompok lain. Sedang di
satu sisi, para simpatisan turut saja melaksanakan petuah-petuah tokoh mereka,
tanpa merasa perlu untuk berpikir-pikir. Massa dalam setiap kelompok sibuk
merintangi dan mengimbangi kelompok lawan sesuai petunjuk tokoh, hingga lupa -kalau
tidak mau dibilang tak ingin- melakukan autokritik terhadap kelompoknya
sendiri. Tokoh dan massa menjadi modal dan alasan pembenar, meski harus
berlawanan dengan aturan yang mapan, termasuk hukum negara.
Pantaslah
jika konsep populisme dilekatkan pada fenomena persekusi. Setidaknya, pada
beberapa kasus, kita dapat melihat bahwa tindakan persekusi yang jelas
melanggar hukum, juga dipengaruhi unsur ketokohan. Hanya karena merasa sosok
tokohnya dilecehkan atau diperlakukan secara tidak adil, mereka rela melakukan
apa pun, termasuk mengabaikan aturan hukum yang berlaku. Di sisi lain, tokoh
kelompok pelaku persekusi, malah sering kali mengeluarkan pernyataan yang
merangsang tindakan brutal para pengikutnya terhadap kelompok lain atau terhadap sistem negara.
Konsep
populisme yang secara teori lekat dengan unsur ketokohan, perasaan tertindas
atau ketidakadilan, juga ketidakpercayaan terhadap sistem, tampak jelas dari
tindakan persekusi yang terjadi belakangan ini. Para tokoh populis, senantiasa
menggelorakan rasa kekecewaan, ketidakadilan, dan ketidakpercayaan pada
mekanisme hukum. Bahkan pada sisi lain, secara tersirat ataupun tersurat, para
tokoh persekusi berani "menganjurkan" kepada massa pengikutnya untuk
melakukan perlawanan terhadap kelompok dan sistem yang bertentangan dengan
mereka. Dan pada kondisi ini, para anggota kelompok yang menghamba secara
buta-buta, akan merasa bertanggung jawab untuk membela tokoh atau kelompoknya,
bahkan bila harus dengan tindakan fisik dan melanggar hukum.
Bias Dunia Maya
Yang
menarik dari maraknya aksi persekusi belakangan ini adalah soal sarana
pemicunya: dunia maya. Berawal dari unggahan status di media sosial, seseorang
dengan mudah dicap melecehkan oknum tertentu, hingga dianggap layak untuk
diintimidasi. Paling tidak kesimpulan ini dapat dilihat dari dua kasus yang
digamparkan di awal tulisan ini.
Unggahan
status yang berbuntut tindakan persekusi, akhirnya menegaskan fenomena baru, bahwa
dunia maya, kini menjadi dunia yang lebih menakutkan daripada realitas hidup di
dunia nyata. Orang-orang dengan mudah mengunggah untaian kata dalam bentuk
tulisan, audio, maupun video, dan dengan mudah pula, orang lain memberikan
penafsiran sepihak atas ungggahan itu.
Mengunggah
status dan komentar di media sosial, bukanlah tindakan yang melulu tentang diri
sediri. Sebagai ruang khalayak ramai dengan berbagai latar belakang, unggahan
di media sosial tetap rentan menyingung atau menghina perasaan orang lain. Hal
itu tentu lumrah dalam komunikasi dunia maya, sebab orang hanya menafsirkan
unggahan secara tektual, tanpa berdikusi dan berkomunikasi secara intensif.
Namun ketersinggungan di media sosial akan berdampak fatal jika sebuah unggahan
yang dianggap negatif, disikapi dengan hasutan untuk mengintimidasi si
pengunggah. Ini jelas rentan terjadi jika unggahan menyentil unsur pemersatu
kelompok tertentu, termasuk para tokoh populis.
Tidak
ada maksud untuk mengatakan bahwa tindakan mengunggah status yang bermakna
negatif, semisal memojokkan, menghina, atau menghujat, dapat dibenarkan. Tapi
bagaimana pun juga, dengan longgarnya “pergaulan” di dunia maya, sulit untuk
mengadakan kontrol secara menyeluruh atas semua unggahan status dan komentar. Pada titik inilah, kesabaran untuk saling mendidik di dunia maya,
perlu untuk dilakukan, ketimbang saling memperkarakan di dunia nyata. Kiranya,
menasihati lebih penting, ketimbang menggelorakan ujaran kebencian pada
seseorang atau kelompok tertentu. Kita perlu mendewasakan diri untuk menganggap
dunia maya tak lebih penting dari dunia nyata.
Akhirnya,
yang lebih perlu dilakukan adalah menjamin bahwa unggahan bernada negatif,
tidak berbentuk hasutan atau ujaran kebencian pada seseorang atau sekelompok
orang, sebab itu jelas melanggar hukum dan rentan memicu reaksi berlebihan. Jika pada satu sisi,
seseorang menganggap sebuah unggahan di dunia maya bernada negatif untuk diri atau kelompoknya, maka selayaknya tidak dibalas dengan unggahan yang menghasut
untuk mengintimidasi si pengunggah status atau komentar. Ada mekanisme damai
yang kiranya perlu ditempuh, atau paling banternya menempuh prosedur hukum yang
berlaku.
Tindakan Yang Perlu
Yang
perlu dilakukan saat ini adalah penegakan hukum secara tegas kepada setiap
pelaku persekusi. Pihak kepolisian harus hadir di tengah masyarakat untuk
memberikan jaminan bahwa konflik tanpa batas di dunia maya, tak akan sampai
menimbulkan korban di dunia nyata. Pihak kepolisian harus mengambil tindakan
cepat, sebelum oknum-oknum yang mengamini pernyataan tokoh populis, baik pernyataan
secara langsung maupun melalui media maya, termakan hasutan dan bertindak
semena-mena.
Dunia
maya sebagai titik lahir tindakan persekusi, juga sebisa mungkin disterilkan dari
unggahan-unggahan yang bernada negatif, apalagi yang menyinggung unsur-unsur
SARA. Pemerintah dan penegak hukum harus membangun sistem yang tepat untuk
memonitoring aktivitas warga dunia maya, kemudian mengambil tindakan cepat jika
menemukan unggahan negatif, utamanya yang bersifat menghasut.
Di
sisi lain, upaya-upaya pendekatan kepada kelompok populis yang terlibat atau
berpotensi terlibat dalam tindakan persekusi, juga harus dilakukan. Para
pengikut tokoh populis yang taklid secara membabi buta, harus dibina dan ditindak oleh pihak
kepolisian. Mereka tak boleh dibiarkan menyesesaikan persoalan dengan cara main
hakim sendiri, sebab jika itu terjadi, mereka akan merasa menang dan ketagihan
untuk melakukan tindakan persekusi secara berulang-ulang.
Tak
kalah penting, pemerintah harus melakukan upaya pendekatan kepada tokoh
penggerak kelompok populis. Pemerintah harus mengajak mereka untuk turut
menebarkan pesan perdamain, ketimbang memperuncing perbedaan dan memanaskan
suasana. Jika upaya itu berhasil, bisa dipastikan bahwa perasaan saling
memandang hina dan rendah di antara kelompok massa, akan sirna. Namun akhirnya,
jika upaya-upaya persuasif telah dilakukan oleh aparat penegak hukum, namun
kelompok massa tetap melakukan tidakan persekusi, maka polisi harus bertindak
tegas. Hukum tak boleh kalah oleh aksi premanisme.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar