Langit
cerah hari ini. Terang, namun tak terlalu terik. Awan putih hanya jadi
titik-titik kecil yang menggantung di bawah langit biru. Sungguh meneduhkan. Serasa
alam turut merestui langkahku bertemu denganmu. Seakan memahami kalau rinduku sudah
tak tertahankan lagi, meski belum tentu berbalas.
Dengan
penampilan sebaik mungkin, aku pun bergegas menuju tempat pertemuan yang kita
janjikan. Aku takut terlambat, hingga alam berubah pikiran, lalu hujan
merintangi jalanku. Takutku juga jika terlambat, sampai kau kesal, lalu suasana
hatimu mengeruh dan kerinduanmu berubah jadi benci.
Memang
pantas jika aku berkorban di momen ini. Akulah yang terlalu kangen memandang
mata sayu dan mendengar tawa kecilmu. Aku merasa lebih menginginkanmu, daripada sebaliknya. Meski kaulah
yang merencanakan pertemuan kali ini, aku tak berharap lebih. Kuduga, sebagai
sahabat, kau hanya ingin memberikan pesan-pesan terakhir sebelum pergi ke kota
seberang.
Adakah
obrolan kita akan mengerucut pada persoalan perasaan, hingga berujung pada kesepakatan
untuk saling mengikat hati? Kurasa, itu sulit terjadi. Sepanjang perkenalan
kita, kau hanya menganggapku teman biasa. Bahkan, aku hanyalah seorang lelaki
yang kau jodoh-jodohkan dengan seorang temanmu sendiri.
Entah
berapa kali sudah aku menyampaikan maksud hatiku padamu, tapi kau selalu
mengelak, demi dirinya. Pernah aku memberikan sebuah gelang untukmu, tapi benda
itu malah melingkar di pergelangan tangannya. Pernah aku meminjamikan sebuah
novel padamu, tapi darinyalah aku mengambil buku itu kembali.
Dari
semua peristiwa yang telah kita lalui, aku mengerti satu hal, bahwa kau tak
pernah mengharapkanku, sebagaimana aku mengharapkanmu. Jelas terlihat, kau tak mengharapkan
apa-apa dariku. Dan paling tragisnya, kau malah berharap aku mendua dengan sahabatmu,
dengan dia yang tak pernah kuharapkan sebagaimana aku mengharapkanmu.
“Hai,
sudah lama menunggu?” katamu, setibanya di satu sofa kafe, tempat yang kita
sepakati. Kau datang seorang diri, dengan senyuman yang masih semanis dahulu.
“Baru
saja,” balasku, lalu menyalami tanganmu yang dingin. Aku jelas berbohong, sebab
aku telah tiba hampir satu jam sebelumnya. “Menunggu lama untukmu, tak masalah
bagiku,” sentilku, berusaha mencairkan suasana. Aku tak ingin terlihat kaku dan
aneh. Apalagi selama ini, kau mengenaliku sebagai sosok yang humoris dan penuh
percaya diri.
Kau
sontak mengalunkan tawa kecilmu yang menggemaskan, kemudian mengucapkan satu
sangkalan fovoritmu itu, “Gombalan kacang!”
Di
beberapa menit selanjutnya, kita pun mengulas kembali rangkaian kisah masa
lalu. Kita juga berbagi cerita tentang peristiwa yang terlewati selama tak saling
mengindrai. Tentang kesibukan masing-masing, rencana masa depan, hingga
proyeksi pasangan hidup.
“Sebenarnya,
ada apa kau mengajakku kemari?” tanyaku, setelah merasa bosan, sebab kita hanya
mengulang-ulang pembahasan yang sama.
Kau
berdeham. “Memangnya harus ada alasan penting untuk bertemu dengan teman lama?”
jawabmu, terkesan mengelak dari alasan yang sesungguhnya. “Aku hanya ingin
mengobrol denganmu. Apalagi, kau tahu sendiri, sore nanti, aku akan pergi ke
kota seberang untuk waktu yang lama.”
“Bukan
karena rindu?” sergahku, dengan sikap yang serius. Berharap kau jujur saja jika
memang kau punya perasaan yang entah apa padaku.
Kau
menggeleng dengan mimik datar.
Aku
tahu kau berbohong, tapi aku tak ingin memaksamu berkata jujur.
Seketika,
kau beralih dari perbincangan tentang kita, seperti biasa, “Ngomong-ngomong,
hubungan kalian baik-baik saja kan?”
Kau
memang tak menyebut nama, tapi aku yakin, yang kau maksud adalah si dia, teman
baikmu, seseorang yang selalu kau jodoh-jodohkan denganku. “Ya, baik-baik saja.
Seperti biasa,” jawabku, tanpa balas bertanya. Aku ingin mengesankan kalau aku
tak berselera jika kita mambahas tentang kami.
Kau
terlihat kecewa dengan respons seadaku. Kau tampak menelan ludah yang mengering
di tenggorokanmu. Kau seperti ingin mengungkapkan sesuatu yang sulit untuk kau
ucapkan. Lalu, kau pun berucap dengan terbata-bata, “Kau harus
tetap bersamanya! Seperti dahulu, aku ingin melihat kalian hidup bersama.”
Aku
diam saja mendengar penuturan yang sedari dulu kau tegaskan.
“Kurasa
sudah saatnya aku mengungkapkan sebuah rahasia padamu.” Bola matamu tampak
liar, seperti segan padaku. “Sebelum kita saling mengenal, dia begitu
mengagumimu. Dia mengenalmu, sebelum aku mengenalmu. Dia sering bercerita,
kalau dalam hidupnya, ia sangat berharap berjodoh denganmu. Dan karena itu, aku
tak ingin kau mengecewakan perasaannya.”
Lagi-lagi,
kudengar satu nasihat yang aku tak suka darimu, bahwa kau menganggap perasaaan
bisa dialihkan begitu saja.
“Kau
tahu, sisa hidupnya tak lama lagi,” katamu, dengan raut wajah yang sayu.
“Dokter memprediksi, hidupnya tak akan bertahan lama. Dia mengidap kanker
otak.”
Mendengar
penuturanmu, sungguh membuat perasaanku tersentak. “Kenapa kau baru mengatakan
itu padaku?”
Tangismu
tak tertahan lagi. “Dia yang memintanya. Dia tak ingin aku menceritakannya pada
siapa-siapa, apalagi padamu.”
Aku
termenung saja, membayangkan sikap abaiku yang tak pernah tulus bertanya
tentang kabarnya, saat kami berdua. Sungguh, aku tak tak tahu apa-apa tentang
keadaannya. Dan kini kusadari, aku bukanlah seorang lelaki yang perhatian
padanya, meski atas nama sahabat.
“Aku
akan sangat berterma kasih padamu, jika
kau bersedia membahagiakannya di sisa waktu yang ada. Apalagi, setelah aku
pergi, dia tak akan punya teman penghibur selain dirimu. Aku mohon!” pintamu, seperti
sangat memohon, sambil menyeka bulir-bulir air mata yang jatuh di pipimu.
Dalam
kebimbangan, aku mengangguk saja.
Kita
sama-sama larut dalam kegalauan untuk beberapa saat.
Lalu,
kau berucap lagi, untuk saat-saat terakhir, “Sepertinya, aku harus pulang.
Banyak sesuatu yang harus aku persiapkan sebelum pergi,” katamu, dengan
senyuman yang tak sepenuhnya menutupi kesedihanmu. “Ambillah, untuk ulang
tahunmu hari ini.” Kau lalu menyodorkan sekotak kado untukku.
Seketika,
kusadari, hari ini aku berulang tahun. “Terima kasih,” balasku.
Kau
tersenyum lagi, meski terkesan berat. “Jangan berterima kasih padaku. Berterima
kasihlah padanya. Kado itu miliknya.”
Lagi-lagi,
kau melakukan pengalihan. Tapi atas rahasia besar yang telah kau ungkapkan, aku
tak bisa membenci tentangnya lagi.
Setelah
saling berbalas senyuman untuk ke sekian kalinya, kau pun pergi dari pandanganku, menghilang bersama
perasaan yang harus kupendam kembali.
Tiba-tiba,
rasa ibaku muncul. Aku merasa sedikit bersalah telah mengabaikan perasaannya
untuk waktu yang lama. Aku merasa berdosa telah bersikap dingin padanya. Sungguh!
Aku
pun bergegas mengirimkan pesan singkat kepadanya.
Aku:
Terima kasih untuk kado ulang tahun
darimu.
Dia:
Kado apa yang kau maksud? Hari ini kau
ulang tahun?
Segera kusibak bungkusan kado yang kau berikan untukku. Dan akhirnya kujumpai boneka
kelinci, sebuah kado ulang tahun yang kuberikan padamu enam bulan lalu. Dan
berserta itu, kudapati secarik kertas bertuliskan: Bulan depan, dia ulang tahun. Berikanlah kado ini untuknya.