Banjir
di hulu sukma namun tak terderai di jendela hati
Di
penantian tanpa kiblat, tak berarah
Hanya
terdiam
Untuk anonim
Untuk anonim
Senyap
Kala
menghitung hari yang menjemukan
Seperti
tak pernah mendung di pelupuk matamu
Sebab
tak ada alasan bagiku berarti
Jikalaupun
menawarkan tak terhingga helaian penyeka?
Kau
tak terluka karenanya, bahkan bahagia
Menarilah,
pejamkan matamu
Abaikan
saja gemuruh guntur di langit tak terpandang
Sekadar
pertanda yang tak mungkin kau artikan
Berontak
batin yang bisanya membatin
Kan
ada nada beraturan yang mengalun di langit-langit surgamu
Dia,
hanya dia, si pendahulu
Sungguh,
percuma mengutuk waktu yang tega
Menahanku
terlalu lama di gurun kerontang
Menakdirkan
sepasang mata yang kuharamkan bersenda-gurau
Kala
itu, waktunya kau bersedu-sedan karena kodratmu
Diluluhkanlah
beku manjamu tanpa perangku
Olehnya,
hanya dia, si pendahulu
Mustahil
kita
Seperti
tak kembali waktu yang terus berlari
Menampakkan
hari-hari yang tak didoakan
Dan
sinar surya menyengat
Mengeringkan
samudera yang menuliskan hasratku
Tak
kau ejalah omong kosong itu
Sungguh
tak perlu
Salahnya kurangkai angan tanpa akad
Jadi runtuhkan saja rumah kecil itu
Jadi runtuhkan saja rumah kecil itu
Hanyutkan
di penghujung ruang sana
Karena
kutahu, yang tak ingin kutahu, tapi aku harus tahu
Bahwa
tentang kita yang saling menunggu, hanyalah ilusi liarku
Aku
saja, buka kau
Nanti,
berjalanlah suatu waktu kalian
Berdua
segenggam kala waktunya
Di
gurun tempatku tersesat dahulu
Kau
tahu?
Di
sana berguguran gerimis salju yang kau dambakan
Tertumpuk
dan terkikis, entah bagaimana akhirnya
Untuk
sepenggal cerita yang tercuri darimu
Terima
kasih dan akan tetap hidup
Aku,
hanya aku
Tidak ada komentar:
Posting Komentar