Kisruh Polri dan KPK belakangan menjadi
polemik nasional yang menyita perhatian semua komponen masyarakat. Bukan tanpa
alasan, masalah ini ditakutkan akan menghambat proses penegakan hukum, terutaman
pemberantasan korupsi. Kisruh berawal ketika Budi Gunawan (BG) yang notabene
calon tunggal kapolri ditetapkan sebagai tersangka gratifikasi oleh KPK, yang
diduga dilakukannya saat menjabat Kepala Biro Pembinaan Karir Deputi Sumber
Daya Manusia Mabes Polri 2003-2006. Buntutnya, kuat dugaan Polri melakukan
pembalasan dengan merongrong KPK. Akhirnya, Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto
(BW) pun ditetapkan sebagai tersangka oleh Kabareskrim Polri dengan dugaan
mengarahkan saksi untuk melakukan kesaksian palsu pada sengketa pilkada Kota
Waringin Barat di MK saat berstatus sebagai pengacara.
Selain BW, pimpinan KPK yang lain juga
dijerat kasus hukum. Abraham Samad dilaporkan ke Bareskrim Polri terkait
pertemuannya dengan sejumlah petinggi partai politik sebelum Pilpres 2014,
termasuk tawaran bantuan penanganan kasus politisi PDIP Emir Moeis, yang
tersandung perkara korupsi yang ditangani KPK. Terakhir, Abraham juga
balakangan dilaporkan Feriyani terkait kasus pemalsuan dokumen. Selanjutnya,
Adnan Pandu Praja dilaporkan terkait dugaan kejahatan atas kepemilikan saham
secara ilegal PT Desy Timber di Berau, Kalimantan Timur. Terakhir, Zulkarnain
juga dilaporkan ke Bareskrim terkait dengan kasus dugaan korupsi dana hibah
Program Penanganan Sosial Ekonomi Masyarakat (P2SEM) Jawa Timur pada 2008.
Zulkarnain diduga menerima uang suap sekitar Rp 5 miliar untuk menghentikan
penyidikan perkara tersebut.
Adanya kriminalisasi terhadap pimpinan
KPK bukanlah dugaan belaka. Sejumlah indikator menunjukkan bahwa tindakan tersebut
dilakukan pihak Polri sebagai balasan atas ditetapkannya Budi Gunawan sebagai
tersangka. Misalnya, atas kasus yang telah berkekuatan hukum tetap, BW
ditetapkaan sebagai tersangka oleh Polri tidak berselang lama setelah
ditetapkannya BG sebagai tersangka oleh KPK. Lebih lanjut, nampak juga sejumlah
upaya dilakukan untuk mengkriminalisasikan pimpinan KPK, misalnya penyebaran
fotonya Abraham Samad dengan sejumlah wanita. Secara umum, kesan dari yang
muncul bahwa kriminalisasi terhadap pimpinan KPK sengaja dilakukan oknum
tertentu untuk mematahkan tajinya dalam membasmi koruptor.
Kesan kriminalisasi muncul melihat
ketidakprofesionalan aparat penyidik Polri dalam menyikapi delik yang diduga
dilakukan pimpinan KPK. Momentum penetapan pemimpin KPK sebagai tersangka
secara bertubi-tubi, tidak lama berselang penetapan BG sebagai tersangka
menunjukkan bahwa oknum institusi Polri melakukan penegakan hukum secara
emosional. Salah satunya adalah penangkapan BW dengan prosedur tak bermartabat,
bahkan dikualifikasikan sebagai pelanggaran HAM oleh Komnas HAM. Penyidik
pimpinan Budi Waseso, yang terbaca sebagai loyalis BG tersebut, menangkap BW
secara tak beretika.
Di sisi lain, penetapan BG sebagai calon
tunggal Kapolri oleh Presiden Jokowi juga sama sekali dilaksanakan secara tidak
transparan dan akuntabel. Meski pemilihan Kapolri merupakan hak prerogratif,
namun tidak ada salahnya meminta pertimbangan PPATK dan KPK terkait calon
Kapolri. Langkah ini sesuai asas pemerintahan yang baik dan juga sesuai dengan
janji Presiden Jokowi untuk membenahi institusi penegak hukum. Namun apa mau
dikata, harta kekayaan BG yang tidak sinkron dengan sumber pendapatannya malah
tidak dipermasalahkan sebagai suatu keganjilan. Berdasarkan Laporan Harta
Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) milik BG yang ia laporkan ke Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK), 26 Juli 2013, totalnya Rp 22,657 miliar dan 24
ribu dolar Amerika Serikat (AS). Jumlah itu meningkat lima kali lipat dibanding
kekayaan lima tahun sebelumnya, di mana LHKPN-nya pada 19 Agustus 2008
berjumlah sekitar Rp 4,684 miliar. Untuk itu, ada kesan bahwa tidak
transparansinya proses tersebut jelas menghindari jelarat hukum atas pendapatan
yang tidak wajar itu. Yang lebih mennyakitkan nurani adalah diloloskannya BG
pada fit and
proper test oleh anggota DPR yang notabene mewakili aspirasi rakyat.
Sekarang, nasib BG bertumpu pada keputusan Presiden Jokowi.
Kisruh yang berkepanjangan dan terlihat
sebagai parade kekanak-kanakan ini semakin disulut oleh kepentingan dan intrik
politik. Terbaca oleh sejumlah pihak bahwa pengusungan BG yang merupakan mantan
ajudan Mantan Presiden Megawati Soekarnoputri, sebagai calon tunggal Kapolri
merupakan pesanannya. Indikasi ini menyeruakkan kesan bahwa Jokowi “disetir
kekuatan gaib”, terutama dari partai pengusungnya. Intervensi politik semakin
mencuat status Sugianto Sabran yang melaporkan BW dan Hasto Kristiyanto yang
melaporkan Abraham Samad merupakan kader PDI-P. Lebih lanjut, upaya
penghancuran terhadap KPK belakangan disinyalir dilakukan untuk “menumpulkan
taji” KPK dalam menyelidiki kasus korupsi Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan
Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang akan mengarah ke Ketua Umum Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Megawati Soekarnoputri.
Kuat dugaan bahwa serangan balasan oleh
sejumlah oknum sengaja dilakukan untuk melumpuhkan KPK. Salah satunya karena UU
No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan pimpinan KPK
bekerja secara kolektif. Dengan demikian, pimpinan KPK harus bekerja secara
kolektif' pada setiap pengambilan keputusan, serta harus disetujui dan
diputuskan secara bersama-sama. Masalah hukum yang menimpa pribadi pimpinan KPK
tentu akan berpengaruh pada kinerja KPK secara institusional.
Dengan statusnya sebagai kepala negara
dan kepala pemerintahan, jokowi harus mengambil langkah taktis dan cepat untuk
menyelesaikan persoalan ini. Setidaknya, Jokowi harus menerima rekomendasi tim
9 secara professional dan objektif, tidak malah mengikuti pesanan oknum politik
tertentu. Kesempatan tersebut terbuka lebar karena secara prosedural, struktur
KPK dan Polri dapat dibenahi presiden Jokowi sesuai kewenagannya.
Berdasrkan argumentasi di atas, langkah
tepat yang harus dilakukan adalah: menghentikan kriminalisasi terhadap pimpinan
KPK, tolak penetapan BG sebagai Kapolri, pecat Budi Waseso sebagai Kabareskrim
Polri, tolak politisasi terhadap kisruh KPK-Polri, Presiden Jokowi secepatnya
mengambil langkah untuk menyelesaikan kisruh KPK-Polri secara professional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar