Jumat, 06 Februari 2015

Lawan Penghancuran KPK

Kisruh Polri dan KPK belakangan menjadi polemik nasional yang menyita perhatian semua komponen masyarakat. Bukan tanpa alasan, masalah  ini ditakutkan akan menghambat proses penegakan hukum, terutaman pemberantasan korupsi. Kisruh berawal ketika Budi Gunawan (BG) yang notabene calon tunggal kapolri ditetapkan sebagai tersangka gratifikasi oleh KPK, yang diduga dilakukannya saat menjabat Kepala Biro Pembinaan Karir Deputi Sumber Daya Manusia Mabes Polri 2003-2006. Buntutnya, kuat dugaan Polri melakukan pembalasan dengan merongrong KPK. Akhirnya, Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto (BW) pun ditetapkan sebagai tersangka oleh Kabareskrim Polri dengan dugaan mengarahkan saksi untuk melakukan kesaksian palsu pada sengketa pilkada Kota Waringin Barat di MK saat berstatus sebagai pengacara.
Selain BW, pimpinan KPK yang lain juga dijerat kasus hukum. Abraham Samad dilaporkan ke Bareskrim Polri terkait pertemuannya dengan sejumlah petinggi partai politik sebelum Pilpres 2014, termasuk tawaran bantuan penanganan kasus politisi PDIP Emir Moeis, yang tersandung perkara korupsi yang ditangani KPK. Terakhir, Abraham juga balakangan dilaporkan Feriyani terkait kasus pemalsuan dokumen. Selanjutnya, Adnan Pandu Praja dilaporkan terkait dugaan kejahatan atas kepemilikan saham secara ilegal PT Desy Timber di Berau, Kalimantan Timur. Terakhir, Zulkarnain juga dilaporkan ke Bareskrim terkait dengan kasus dugaan korupsi dana hibah Program Penanganan Sosial Ekonomi Masyarakat (P2SEM) Jawa Timur pada 2008. Zulkarnain diduga menerima uang suap sekitar Rp 5 miliar untuk menghentikan penyidikan perkara tersebut.
Adanya kriminalisasi terhadap pimpinan KPK bukanlah dugaan belaka. Sejumlah indikator menunjukkan bahwa tindakan tersebut dilakukan pihak Polri sebagai balasan atas ditetapkannya Budi Gunawan sebagai tersangka. Misalnya, atas kasus yang telah berkekuatan hukum tetap, BW ditetapkaan sebagai tersangka oleh Polri tidak berselang lama setelah ditetapkannya BG sebagai tersangka oleh KPK. Lebih lanjut, nampak juga sejumlah upaya dilakukan untuk mengkriminalisasikan pimpinan KPK, misalnya penyebaran fotonya Abraham Samad dengan sejumlah wanita. Secara umum, kesan dari yang muncul bahwa kriminalisasi terhadap pimpinan KPK sengaja dilakukan oknum tertentu untuk mematahkan tajinya dalam membasmi koruptor.
Kesan kriminalisasi muncul melihat ketidakprofesionalan aparat penyidik Polri dalam menyikapi delik yang diduga dilakukan pimpinan KPK. Momentum penetapan pemimpin KPK sebagai tersangka secara bertubi-tubi, tidak lama berselang penetapan BG sebagai tersangka menunjukkan bahwa oknum institusi Polri melakukan penegakan hukum secara emosional. Salah satunya adalah penangkapan BW dengan prosedur tak bermartabat, bahkan dikualifikasikan sebagai pelanggaran HAM oleh Komnas HAM. Penyidik pimpinan Budi Waseso, yang terbaca sebagai loyalis BG tersebut, menangkap BW secara tak beretika.
Di sisi lain, penetapan BG sebagai calon tunggal Kapolri oleh Presiden Jokowi juga sama sekali dilaksanakan secara tidak transparan dan akuntabel. Meski pemilihan Kapolri merupakan hak prerogratif, namun tidak ada salahnya meminta pertimbangan PPATK dan KPK terkait calon Kapolri. Langkah ini sesuai asas pemerintahan yang baik dan juga sesuai dengan janji Presiden Jokowi untuk membenahi institusi penegak hukum. Namun apa mau dikata, harta kekayaan BG yang tidak sinkron dengan sumber pendapatannya malah tidak dipermasalahkan sebagai suatu keganjilan. Berdasarkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) milik BG yang ia laporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), 26 Juli 2013, totalnya Rp 22,657 miliar dan 24 ribu dolar Amerika Serikat (AS). Jumlah itu meningkat lima kali lipat dibanding kekayaan lima tahun sebelumnya, di mana LHKPN-nya pada 19 Agustus 2008 berjumlah sekitar Rp 4,684 miliar. Untuk itu, ada kesan bahwa tidak transparansinya proses tersebut jelas menghindari jelarat hukum atas pendapatan yang tidak wajar itu. Yang lebih mennyakitkan nurani adalah diloloskannya BG pada fit and proper test oleh anggota DPR yang notabene mewakili aspirasi rakyat. Sekarang, nasib BG bertumpu pada keputusan Presiden Jokowi.
Kisruh yang berkepanjangan dan terlihat sebagai parade kekanak-kanakan ini semakin disulut oleh kepentingan dan intrik politik. Terbaca oleh sejumlah pihak bahwa pengusungan BG yang merupakan mantan ajudan Mantan Presiden Megawati Soekarnoputri, sebagai calon tunggal Kapolri merupakan pesanannya. Indikasi ini menyeruakkan kesan bahwa Jokowi “disetir kekuatan gaib”, terutama dari partai pengusungnya. Intervensi politik semakin mencuat status Sugianto Sabran yang melaporkan BW dan Hasto Kristiyanto yang melaporkan Abraham Samad merupakan kader PDI-P. Lebih lanjut, upaya penghancuran terhadap KPK belakangan disinyalir dilakukan untuk “menumpulkan taji” KPK dalam menyelidiki kasus korupsi Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang akan mengarah ke Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Megawati Soekarnoputri.
Kuat dugaan bahwa serangan balasan oleh sejumlah oknum sengaja dilakukan untuk melumpuhkan KPK. Salah satunya karena UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan pimpinan KPK bekerja secara kolektif. Dengan demikian, pimpinan KPK harus bekerja secara kolektif' pada setiap pengambilan keputusan, serta harus disetujui dan diputuskan secara bersama-sama. Masalah hukum yang menimpa pribadi pimpinan KPK tentu akan berpengaruh pada kinerja KPK secara institusional.
Dengan statusnya sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, jokowi harus mengambil langkah taktis dan cepat untuk menyelesaikan persoalan ini. Setidaknya, Jokowi harus menerima rekomendasi tim 9 secara professional dan objektif, tidak malah mengikuti pesanan oknum politik tertentu. Kesempatan tersebut terbuka lebar karena secara prosedural, struktur KPK dan Polri dapat dibenahi presiden Jokowi sesuai kewenagannya.
Berdasrkan argumentasi di atas, langkah tepat yang harus dilakukan adalah: menghentikan kriminalisasi terhadap pimpinan KPK, tolak penetapan BG sebagai Kapolri, pecat Budi Waseso sebagai Kabareskrim Polri, tolak politisasi terhadap kisruh KPK-Polri, Presiden Jokowi secepatnya mengambil langkah untuk menyelesaikan kisruh KPK-Polri secara professional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar