Kamis, 28 Desember 2017

Tentang Nama

Mataku tertuju pada layar televisi. Menyaksikan kerumunan orang yang hendak mengamati seseorang. Tampak, mereka bergumul di ruang sidang. Di sisi belakang, ada yang hadir untuk mendukung, ada juga untuk melaknat. Sisanya adalah para wartawan yang dicap independen. Sedang di posisi depan, ada yang duduk sebagai pembela, ada pula sebagai penuntut. Di tengah-tengah, duduk seorang hakim dengan sikap tenang, yang terus saja bertanya pada si terdakwa di pusat lingkaran manusia.
 
Hingga, kejanggalan pun tampak terjadi di ruang sidang. Si terduga koruptor yang jadi pusat perhatian, hanya tunduk, tak berdaya. Diam saja, dan hanya mendengung untuk setiap pertanyaan. Merespons dengan gelengan dan anggukan kepala saja, ia tak mampu. Seakan-akan hakim dan orang yang hadir di ruangan, juga penonton televisi, adalah semut-semut yang tak harus diacuhkan. Padahal, banyak yang menanti kata-kata dari mulutnya. Banyak yang penasaran, apakah ia masih punya alibi untuk lepas dari jeratan hukum, atau tidak. 

“Apakah nama anda Setia Negara?” tanya hakim dengan tegas.

Lagi-lagi, ia masih dengan sikap yang sama. Hanya mematung, seperti anak ayam kedinginan.

Hakim tampak bingung. Pemeriksaan tim dokter telah memastikan bahwa si terdakwa sehat untuk menjalani sidang, tapi responsnya sungguh mengecewakan.

Seorang teman di sampingku, Jido, menggerutu. “Dasar penjahat bejat, pencuri uang rakyat! Sudah nyaris ketahuan, masih saja berkelit!”

Aku tak menggubris kekesalan Jido yang sarat dengan emosi. Aku punya dugaan yang serupa dengannya, tapi aku tak ingin berlebihan. Kuanggap saja tanyangan itu serupa sinetron, yang tak asyik tanpa adegan dramatis. Kuyakini saja dengan sabar, bahwa semua akan sampai pada sesi ending, seperti seharusnya. Kupikir, sungguh merugi jika emosi dihabiskan untuk menanggapi seseorang yang tenang-tenang saja menyikapi permasalahnnya. Sungguh merugi jika bermasalah atas orang yang bermasalah. 

“Aduh! Dia kira kita ini bodoh? Masa namanya saja dia lupa? Kurasa, ke depan, ia punya rencana untuk pura-pura amnesia, agar bisa lepas dari jeratan hukum. Aduh…, dasar penjahat!” kesal Jido lagi.

Untuk luapan emosi itu, aku masih tak berhasrat menanggapi. Kurasa, Setia belum tentu pura-pura sakit, termasuk saat ia tak mengakui namanya sendiri. Kuduga kuat, ia punya nama lain, semacam nama panggilan yang tak semua orang tahu. Kemungkinan besar, ia menancapkan nama itu di benaknya saat hakim melontarkan tanya. Dan salahnya, hakim tak memperjelas, apakah nama yang ia pertanyakan adalah nama panggilan, atau nama resmi sesuai data kependudukan.

Dugaanku bukan tanpa alasan. Semua tahu, Setia bukan orang ternama sejak lahir. Dia dalah orang kampung yang harus berjuang membesarkan namanya sendiri. Dan kutaksir, saat ia masih balita, ia punya nama yang tak sekeren sekarang. Sebuah nama kampung, yang terdengar kampungan. Mungkin Lakita, Mujino, Muidan, atau apalah. Namun, atas harapan besar orang tuanya, ia pun berganti nama menjadi Setia Negara saat mulai masuk sekolah, agar kelak, ia menjadi seorang pengabdi yang setia untuk negaranya.

Sebagaimana kesepahaman semua orang, nama adalah doa dan tanggung jawab yang harus dijaga. Harapan dan cita-cita pendahulu, tersirat di dalamnya. Maka wajar jika setiap orang berusaha menjaga namanya baik-baik. Menjaga agar namanya tak dilekatkan pada citra yang buruk. Dan itu pula yang dilakukan Setia Negara. Ia berusaha melindungi nama administratifnya yang popular dari predikat koruptor, sampai harus berkelit dengan menggunakan nama lainnnya untuk sementara waktu.

“Seumur-umur, aku baru melihat ada orang yang benar-benar tak tahu malu! Si Satia bejat! Kapan bangsa kita maju kalau orang-orang semacam dia masih hidup dan berkembang biak di negara ini?” serapah Jido, seperti mengutuk.

Dan akhirnya, aku tergelitik juga menanggapinya. Berhasrat menyampaikan nasihat, agar ia berhenti menggerutu dan menonton dengan sabar. “Kamu tenang saja. Apa yang dia lalukan, sudah sewajarnya. Sudah menjadi naluri setiap orang untuk melakukan apa pun agar dipandang baik.”

Dia langsung menyanggah, “Tapi kasus ini beda! Orang kalau sudah diduga, ya, biasanya mengaku saja. Tapi ini, sudah terpojok, malah berkelit dengan taktik murahan. Dasar!”

Aku menepuk-nepuk pundaknya. “Orang ternama, semacam wakil rakyat, jelas punya pertaruhan besar atas nama baiknya, kawan. Apalagi disorot kamera begitu banyak. Siapa yang rela, dengan cuma-cuma, mengaku sebagai seorang pencuri uang rakyat? Siapa yang tega nama baiknya sekeluarga, tercoreng begitu saja?” terangku, berharap emosinya segera mereda. “Belum lagi namanya baik, Setia Negara, sedangkan ia diwakwa melakukan korupsi, sebuah tindakan yang jelas menghianati negara.”

Jido menyengir. “Ah, jelas orang ini tak punya nama baik lagi! Dia sudah hancur, beserta nama buruknya! Setia Negara tak punya harga lagi!”

“Kurasa tidak begitu, kawan,” sanggahku seketika. “Ini hanya persoalan nama. Yang perlu ia lakukan hanyalah meminta perubahan nama secara formil, sehingga ia punya landasan untuk menyangkal diri sebagai Setia Negara. Mungkin bisa jadi Maling, Dusta, Munafik, atau Korup. Jika begitu, tak perlu ia membela nama baiknya sebagai Setia Negara.

Jido mengangguk-ngangguk, kemudian tertawa terbahak-bahak.

Akhirnya, di layar televisi, tampak, sidang pun usai. Setia Negara meninggalkan ruang tanpa komentar apa-apa. Masih dengan ekspresi yang tak ada gairah.

“Amir, sekarang jam berapa,” tanya Jido padaku.

Aku menilik jam tangan. “Jam 1 lewat 2 menit.”

Raut wajahnya tampak gusar. “Aduh! Semalam, kita kan sudah sepakat dengan teman-teman untuk mengadakan rapat persiapan tepat jam 1, sebelum kita turun aksi sore nanti. Ayo berangkat sekarang! Sebagai kordinator aksi, kau harusnya hadir tepat waktu!”

Aku menanggapi sekenanya. Kurasa, ia bersikap emosional lagi, dan tak baik dibalas dengan sikap emosional pula. “Nanti saja. Santailah. Tunggu beberapa saat lagi.”

Ia berdecak-decak. Seperti melihat seorang anak kecil yang telah menumpahkan segelas kopi. “Kau baiknya segera ke pengadilan, kawan. Mohonkanlah pergantian nama untuk dirimu sendiri. Mungkin jadi Makmum atau Kacung!” katanya.

Untuk kali ini, lawakannya tak terdengar lucu. Sedikit menyinggung.

“Untung namaku Jidodi. Nama yang tak jelas. Artinya saja tak ada,” pungkasnya, kemudian mendengus, lalu tertawa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar