Kau
dan aku, berteman sejak lama. Tapi tetap saja, kita berjarak. Ego pribadi, tak
melebur jadi ego kita. Seakan sama-sama sadar, kalau ada persoalan privasi yang
tak boleh bersinggungan, satu sama lain. Sedih atau senang, kita resapi
sendiri-sendiri. Tak ada kehendak untuk berbagi, sebab yakin pada kepastian,
bahwa kita enggan saling membagi. Kau merajuk, aku abai, hingga kau mereda
sendiri. Dan kala aku senang, kau tampak biasa saja. Jelas, tak ada temu rasa.
Kuingat
lagi saat kita mengadu keindahan lukisan di sebuah galeri. Kau memilih lukisan
bercorak hitam, aku memilih putih. Kita berdebat. Kukatakanlah kalau hitam itu
jelek, dan mulutmu tersekat seketika. Kau pun berubah murung, dan aku bingung
harus berbuat apa. Enggan rasanya memberimu perhatian, sebab takut kau
tafsirkan secara berlebihan. Tapi membiarkanmu berkabung sendiri, malah
membuatku seperti lelaki tak berperasaan. Akhirnya, aku tak berbuat apa-apa.
Demi
membalas keangkuhanku sepanjang waktu, kau tak tinggal diam. Sepanjang kebersamaan
kita, tak sekali pun kau memuji bahwa aku layak disetarakan dengan aktor-aktor
papan atas. Kau hanya menanggapku biasa. Kala orang-orang berjibaku
mengabadikan foto denganku, kau sama sekali tak tertarik. Sampai akhirnya, aku
tahu, kau ingin mengimbangiku dalam soal ketenaran. Kau ingin menjadi seorang
artis yang juga dielu-elukan setiap orang.
Dalam
hubungan kita yang absurd, jadi sulit memisahkan kepura-puraan dan keseriusan.
Kita kerap saling membutuhkan untuk perihal tertentu, tapi sering abai demi ego
masing-masing. Kita suka mempertentangkan sesuatu, di mana kita seharusnya
saling menghargai perbedaan. Kita sama-sama mengklaim diri paling jago, tanpa
pernah berpikir untuk saling mendukung. Padahal aku laki-laki, dan kau
perempuan. Kita harusnya saling melengkapi.
Jika
harus jujur, ada juga inginku menghentikan pertikaian terselubung di antara
kita. Berkata polos bahwa kau boleh menganggapku kalah, dan aku pantas
diperbudak olehmu. Tapi kehendak itu, selalu saja terintangi oleh anggapan yang
kubuat sendiri. Bagaimana bisa, aku yang berkasta, harus menghamba di hadapamu
yang hamba? Bagaimana jika aku berserah sepenuh hati padamu, dan kau malah
mencampakkanku?
Tapi
kali ini, aku diuntungkan oleh keadaan. Aku bisa menumpahkan semua isi hatiku,
tanpa perlu merisaukan apa kau akan menelannya dengan senang hati, mencicipi
lalu mengabaikannya, atau malah tak peduli.
Kuresapi
betul posisiku: aku adalah seorang raja, dan adalah wanita yang aku dambakan.
“Aku
mencintaimu, putri cantik!” tegasku, dengan penuh keyakinan, sambil berlutut di
hadapanmu.
Kau
tampak terenyak. Terpaku menatapku. Seakan butuh meyakinkan dirimu sendiri,
bahwa aku memang mengucapkan itu.
“Sudikah
kau menerima cintaku?” kataku lagi, sembari menyodorkan serangkai bunga.
Kau
masih tak berucap. Ada kekalutan yang tergambar di wajahmu. Aku tak bisa
menerka pasti apa maknanya.
Aku
tetap dengan sikap yang sama. Masih menatap matamu dalam-dalam.
Tiba-tiba,
tangismu pecah. “Aku tak pantas untukmu. Maaf,” katamu dengan penuh penghayatan,
kemudian berbalik badan, beranjak pergi membawa kesedihan yang mendalam.
Melihat
sikapmu itu, aku tak tahu harus bagaimana. Jelas, aku bisa menerimamu apa
adanya. Tapi aku tak bisa apa-apa, agar kau menerima dirimu sendiri.
Akhirnya,
aku, sebagai seorang raja yang cintanya ditolak oleh seorang wanita biasa untuk
sebuah alasan yang membingungkan, hanya termenung meratapi nasib.
Dan
setelah adegan itu, kau terkesan semakin menjauh dariku. Kau seperti tetap pada
posisimu, yang menganggap diri tak pantas menjadi seorang ratu yang
mendampingiku. Waktu demi waktu, kulihat kau terus menutupi sisi mengagumkan
dari dirimu. Kau seakan menerima begitu saja anggapan orang-orang, bahwa rambut
berombak, tubuh kurus, serta warna kulit yang gelap, bukan syarat-syarat sebuah
kecantikan. Aku tak sependapat.
Sampai
akhirnya, atas sikapmu yang rendah diri, juga atas anggapan salah tentang arti
kecantikan, kita benar-benar berjarak. Kita terseret pada posisi yang berbeda
dari yang sebelumnya. Aku tetap menjadi seorang raja, sedang kau berlakon
sebagai sosok wanita yang berbeda. Dan jelas, aku benci kau yang berbeda. Aku
tetap menginginkan kau yang dulu, seperti apa adanya.
“Sudah
waktunya kau melupakan masa lalu,” tuturmu, dengan sikap yang menggoda.
“Seharusnya kau sadari sekarang, aku ada di sini untukmu.”
Seketika,
emosiku melunjak. Aku jelas tak menyukaimu. “Apa kau bilang?” kataku, sambil
memandangmu dengan tatapan yang nanar. “Kau kira, kau ini cantik?”
Tampak, nyalimu ciut seketika.
“Lihat
tampangmu ini! Siapa yang sudi memandang wajah sepertimu!” solotku, sambil
menunjuk-nunjuk ke arah wajahmu. “Dasar wanita jelek tak tahu diri!”
Kau
terenyak. Seperti tak menduga aku mampu mengucapkan kata-kata seperti itu
dengan sikap yang meyakinkan. Hingga akhirnya, kau berbalik badan, kemudian
berlari menjauh, pergi membawa air matamu.
Kulihat,
orang menyaksikan kita dengan penuh keharuan. Tak lama berselang, tepuk tangan
terdengar mengisi ruang pertunjukan.
Dan
seketika, aku merasa telah melakukan kesalahan besar. Aku telah mengucapkan
kata-kata yang jelas melukaimu, meski itu hanya kulakukan dalam lakon sandiwara.
Tapi aku tak bisa apa-apa. Aku jelas tak mampu mengendalikan jalan cerita dari
sang pangarang, bahwa kau yang dulunya berharap menjadi seorang ratu dalam
cerita, seperti kala kita sedang berlatih, malah diposisikan untuk memerankan
seorang pelakor yang tua renta.
“Acting-mu bagus,” pujiku, kala
menghampirimu di belakang panggung.
Kau
menoleh padaku sekilas, sambil mengusap-usap air mata yang masih membasahi pipimu.
“Terima kasih.”
Aku
berdeham. Kikuk. “Pertunjukan sudah selesai, tapi tangismu tak juga reda?”
Kau
menoleh lagi padaku, dan berusaha tersenyum. “Aku cuma terharu, bisa menjadi seorang
pemeran.”
Ada
jeda beberapa detik, hingga akhirnya aku memberanikan diri berucap, “Maafkan
aku untuk kata-kataku dalam cerita. Aku berharap kau tahu, kalau itu bukan
diriku yang sebenarnya,”
Kau
tak membalas dengan kata-kata. Hanya mengangguk, sambil terus berupaya
meredakan air matamu.
Aku
pun pergi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar