Senin, 18 Desember 2017

Kamu

Kau dan aku, berteman sejak lama. Tapi tetap saja, kita berjarak. Ego pribadi, tak melebur jadi ego kita. Seakan sama-sama sadar, kalau ada persoalan privasi yang tak boleh bersinggungan, satu sama lain. Sedih atau senang, kita resapi sendiri-sendiri. Tak ada kehendak untuk berbagi, sebab yakin pada kepastian, bahwa kita enggan saling membagi. Kau merajuk, aku abai, hingga kau mereda sendiri. Dan kala aku senang, kau tampak biasa saja. Jelas, tak ada temu rasa. 
 
Kuingat lagi saat kita mengadu keindahan lukisan di sebuah galeri. Kau memilih lukisan bercorak hitam, aku memilih putih. Kita berdebat. Kukatakanlah kalau hitam itu jelek, dan mulutmu tersekat seketika. Kau pun berubah murung, dan aku bingung harus berbuat apa. Enggan rasanya memberimu perhatian, sebab takut kau tafsirkan secara berlebihan. Tapi membiarkanmu berkabung sendiri, malah membuatku seperti lelaki tak berperasaan. Akhirnya, aku tak berbuat apa-apa.

Demi membalas keangkuhanku sepanjang waktu, kau tak tinggal diam. Sepanjang kebersamaan kita, tak sekali pun kau memuji bahwa aku layak disetarakan dengan aktor-aktor papan atas. Kau hanya menanggapku biasa. Kala orang-orang berjibaku mengabadikan foto denganku, kau sama sekali tak tertarik. Sampai akhirnya, aku tahu, kau ingin mengimbangiku dalam soal ketenaran. Kau ingin menjadi seorang artis yang juga dielu-elukan setiap orang.

Dalam hubungan kita yang absurd, jadi sulit memisahkan kepura-puraan dan keseriusan. Kita kerap saling membutuhkan untuk perihal tertentu, tapi sering abai demi ego masing-masing. Kita suka mempertentangkan sesuatu, di mana kita seharusnya saling menghargai perbedaan. Kita sama-sama mengklaim diri paling jago, tanpa pernah berpikir untuk saling mendukung. Padahal aku laki-laki, dan kau perempuan. Kita harusnya saling melengkapi.

Jika harus jujur, ada juga inginku menghentikan pertikaian terselubung di antara kita. Berkata polos bahwa kau boleh menganggapku kalah, dan aku pantas diperbudak olehmu. Tapi kehendak itu, selalu saja terintangi oleh anggapan yang kubuat sendiri. Bagaimana bisa, aku yang berkasta, harus menghamba di hadapamu yang hamba? Bagaimana jika aku berserah sepenuh hati padamu, dan kau malah mencampakkanku?

Tapi kali ini, aku diuntungkan oleh keadaan. Aku bisa menumpahkan semua isi hatiku, tanpa perlu merisaukan apa kau akan menelannya dengan senang hati, mencicipi lalu mengabaikannya, atau malah tak peduli. 

Kuresapi betul posisiku: aku adalah seorang raja, dan adalah wanita yang aku dambakan.

“Aku mencintaimu, putri cantik!” tegasku, dengan penuh keyakinan, sambil berlutut di hadapanmu.

Kau tampak terenyak. Terpaku menatapku. Seakan butuh meyakinkan dirimu sendiri, bahwa aku memang mengucapkan itu.

“Sudikah kau menerima cintaku?” kataku lagi, sembari menyodorkan serangkai bunga.

Kau masih tak berucap. Ada kekalutan yang tergambar di wajahmu. Aku tak bisa menerka pasti apa maknanya.

Aku tetap dengan sikap yang sama. Masih menatap matamu dalam-dalam.

Tiba-tiba, tangismu pecah. “Aku tak pantas untukmu. Maaf,” katamu dengan penuh penghayatan, kemudian berbalik badan, beranjak pergi membawa kesedihan yang mendalam.

Melihat sikapmu itu, aku tak tahu harus bagaimana. Jelas, aku bisa menerimamu apa adanya. Tapi aku tak bisa apa-apa, agar kau menerima dirimu sendiri.

Akhirnya, aku, sebagai seorang raja yang cintanya ditolak oleh seorang wanita biasa untuk sebuah alasan yang membingungkan, hanya termenung meratapi nasib.

Dan setelah adegan itu, kau terkesan semakin menjauh dariku. Kau seperti tetap pada posisimu, yang menganggap diri tak pantas menjadi seorang ratu yang mendampingiku. Waktu demi waktu, kulihat kau terus menutupi sisi mengagumkan dari dirimu. Kau seakan menerima begitu saja anggapan orang-orang, bahwa rambut berombak, tubuh kurus, serta warna kulit yang gelap, bukan syarat-syarat sebuah kecantikan. Aku tak sependapat.

Sampai akhirnya, atas sikapmu yang rendah diri, juga atas anggapan salah tentang arti kecantikan, kita benar-benar berjarak. Kita terseret pada posisi yang berbeda dari yang sebelumnya. Aku tetap menjadi seorang raja, sedang kau berlakon sebagai sosok wanita yang berbeda. Dan jelas, aku benci kau yang berbeda. Aku tetap menginginkan kau yang dulu, seperti apa adanya.

“Sudah waktunya kau melupakan masa lalu,” tuturmu, dengan sikap yang menggoda. “Seharusnya kau sadari sekarang, aku ada di sini untukmu.”

Seketika, emosiku melunjak. Aku jelas tak menyukaimu. “Apa kau bilang?” kataku, sambil memandangmu dengan tatapan yang nanar. “Kau kira, kau ini cantik?”

Tampak, nyalimu ciut seketika.

“Lihat tampangmu ini! Siapa yang sudi memandang wajah sepertimu!” solotku, sambil menunjuk-nunjuk ke arah wajahmu. “Dasar wanita jelek tak tahu diri!”

Kau terenyak. Seperti tak menduga aku mampu mengucapkan kata-kata seperti itu dengan sikap yang meyakinkan. Hingga akhirnya, kau berbalik badan, kemudian berlari menjauh, pergi membawa air matamu.

Kulihat, orang menyaksikan kita dengan penuh keharuan. Tak lama berselang, tepuk tangan terdengar mengisi ruang pertunjukan.

Dan seketika, aku merasa telah melakukan kesalahan besar. Aku telah mengucapkan kata-kata yang jelas melukaimu, meski itu hanya kulakukan dalam lakon sandiwara. Tapi aku tak bisa apa-apa. Aku jelas tak mampu mengendalikan jalan cerita dari sang pangarang, bahwa kau yang dulunya berharap menjadi seorang ratu dalam cerita, seperti kala kita sedang berlatih, malah diposisikan untuk memerankan seorang pelakor yang tua renta.

Acting-mu bagus,” pujiku, kala menghampirimu di belakang panggung.

Kau menoleh padaku sekilas, sambil mengusap-usap air mata yang masih membasahi pipimu. “Terima kasih.”

Aku berdeham. Kikuk. “Pertunjukan sudah selesai, tapi tangismu tak juga reda?”

Kau menoleh lagi padaku, dan berusaha tersenyum. “Aku cuma terharu, bisa menjadi seorang pemeran.”

Ada jeda beberapa detik, hingga akhirnya aku memberanikan diri berucap, “Maafkan aku untuk kata-kataku dalam cerita. Aku berharap kau tahu, kalau itu bukan diriku yang sebenarnya,” 

Kau tak membalas dengan kata-kata. Hanya mengangguk, sambil terus berupaya meredakan air matamu.

Aku pun pergi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar