Senin, 18 Desember 2017

Dua Hati di Sini

Aku sampai lagi di tempat yang dulu. Sebuah kedai kopi, tempat kita sering menghabiskan waktu. Ruang yang kerap menjebak kita, untuk membahas tentang aku dan kamu. Kala itu, sampai di masa depan. Hingga kebersamaan dan khayalan besar kita, mengawet di sini. Menggantung pada segenap pembatas ruang, juga di udara. 
 
Tak banyak yang berubah. Deretan lampu kecil berwarna-warni, masih menggantung dan menari di dinding atas. Menghasilkan cahaya temaram yang tenang dan menyenangkan. Dari beberapa pengeras suara, juga masih terdengar alunan musik klasik yang pelan. Masih menjadi pengiring yang pas untuk obrolan yang senyap dan serius.

Yang kurasa berbeda, hanya karena kau tak lagi bersamaku. Tak ada kau yang duduk di depanku dengan latar jendela yang berembun, serta pepohonan di bukit seberang. Tak ada kau dengan senyuman manis dan tawa yang menggemaskan, kala kuceritakan humor yang biasa saja. Kau menghilang tanpa kabar, seperti tetes embun yang terserap terik matahari.

Dan bodohnya, aku tetap saja mencarimu di sini. Aku datang dengan kehampaan, dan yang kutemui hanyalah kesunyian. Duduk termenung, sambil bercengkrama dengan bayang-banyangmu. Menerka-nerka takdir, sambil mengharapkan sebuah kebetulan. Berharap kau datang menepuk pundakku dari arah belakang, seperti yang kau lakukan dahulu, dan kita bisa melanjutkan kisah yang terhenti. 

Tapi hari ini, aku tak akan benar-benar sendiri. Aku telah mengikat janji dengan seseorang wanita untuk bertemu beberapa saat lagi. Seorang sahabat lama, yang kebetulan punya kepentingan di kota ini, hingga ia memintaku untuk bertemu. Aku menyambut tawarannya dengan senang hati, sebab ada juga kepentinganku padanya. 

Di sela nostalgiaku denganmu, datanglah sosok yang kumaksud. Dia tampak semakin dewasa dengan gaya berdandan yang kekinian. Tampak seperti seorang wanita yang hendak bersua dengan orang yang spesial. Hingga, kami pun saling menyambut dengan cara yang hangat. Bersalaman, berbagi senyuman, dan saling bertanya kabar.

Pada sesi selanjutnya, kami berkutat pada perbincangan tentang masa lalu. Ia mengulas banyak kebersamaan kami. Entah kenangan di masa-masa kuliah, kedekatan sebagai seorang sahabat, hingga cerita-cerita di kedai kopi ini. Sesuatu yang ia tuturkan dengan antusias. Perihal yang mungkin sangat menyenangkan baginya. Tapi bagiku, itu biasa saja.

“Kau masih ingat saat kali pertama kita ke sini?” tanyanya, dengan mata berbinar-binar. 

Aku mengangguk. Jelas, aku masih ingat saat dia datang bersama seorang wanita yang lain, adiknya sendiri. “Iya,” jawabku, tanpa berselera membahas tentang kami lebih jauh.

Dia lalu tertawa. “Cerita itu pasti berkesan bagimu, kan?” uliknya lagi.

Aku hanya tersenyum, dan menganggukkan kesimpulannya. Terang saja, memoriku masih menyimpan berkas-berkas kejadian itu dengan baik. Aku masih mengingatnya secara detail, termasuk dandanan dan sikap tubuhnya. Dan, lagi-lagi, anganku malah semakin terfokus pada bayang-bayangmu. Terpusat pada titik di awal kita bertemu, saat pertama kali aku menatap raut wajahmu yang polos.

 “Ya, bagaimana tidak. Waktu itu, akulah yang mengajakmu bertemu di sini, tapi akhirnya, kaulah yang harus memanggung tagihan yang tidak sedikit,” terangnya sendiri, dengan raut wajah yang riang-gembira. 

Aku melepaskan tawa yang pendek. Mencoba memberikan kesan bahwa aku suka mendengar ulasan kenangannya. 

“Kau tahu, saat itu, aku pura-pura saja ketinggalan dompet. Sejujurnya, waktu itu, bertepatan dengan hari ulang tahunku. Tapi kau tak tahu,” jelasnya lagi, tanpa perlu kuminta. “Karena aku tahu kau bukan lelaki yang peka, maka terpaksa, aku menggunakan akal bulusku.”

Aku menanggapi dengan senyuman sekilas. Aku tak ingin memberinya kesan berlebihan, sampai ia terus berceloteh tanpa henti. Jelas, aku tak berselera membahas kenangan kami, jika kenangan kita, masih mengalahkannya begitu telak.

Dan ketidaksabaran, memacu keberanianku mempertanyakan sesuatu di luar soal kami. “Bagaimana kabar Adikmu?” tanyaku, segan, sebab itu rentan membuatnya merasa tak kupedulikan.

Dia menatapku dengan raut yang jauh dari kesan antusias. “Dia sudah menikah, setahun yang lalu. Memangnya kenapa?”

Seketika, mulutku tersekat. Bayang-bayang dirimu, juga semua cerita tentang kebersamaan kita di tempat ini, menyeruak seketika. Muncul seperti hantu yang sangat menakutkan. Menusuk seperti belati, berulang-ulang. Aku mati, semasih hidup.

Kuingat lagi pertemuan kita di sini, yang tak pernah ia ketahui. Kebiasaan yang kita lakukan berulang ulang, sejak kau datang pertama kali bersamanya, dan berhasil mencuri hatiku. Aku tak akan bisa melupakan semua berkas kenangan kita, bersama sembilu yang akan kukecap juga sepanjang waktu.

Hingga, aku pun sadar, harus menjawab pertanyaan darinya, “Tak apa-apa,” kataku, salah tingkah, serasa jadi bodoh sendiri.

Mimiknya menyiratkan keheranan. 

Aku berharap, ia tak curiga secara berlebihan.

Tak pelak, sikapku yang dingin, lambat laun membuatnya gusar sendiri. Semangat bercelotehnya, sirna. Ia tampak menginginkan agar aku mengmbil kendali perbincangan. Ia  ingin agar aku yang bertanya secara aktif, dan dia hanya perlu menanggapi secara pasif.

Tapi jelas, aku tak ingin mewujudkan keinginan yang tersirat di wajahnya. Aku ingin obrolan kami cepat selesai, dan aku punya waktu untuk menerima kenyataan bahwa kau telah menjadi milik orang lain.

Detik terus bergulir, sedang tak ada kata yang terucap.

Sampai akhirnya, ia bertanya dengan raut penuh kekecewaan, “Apa kau merindukanku selama ini?” 

Aku mengangguk. “Ya. Aku merindukanmu.”

Matanya menyorot mataku, tajam. “Rindu yang seperti apa?”

“Sebagaimana sahabat pada umumnya,” balasku, lekas.

Bola matanya terlihat basah. “Aku merindukanmu lebih dari itu,” pungkasnya, kemudian berpaling, lalu beranjak, pergi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar