Senin, 20 November 2017

Putri Kayangan

Bertahun-tahun sudah, Riana hidup dalam kecemasan. Khawatir akan hidup seorang diri, hingga maut menjemput. Sebagaimana perempuan lain, kecemasan itu mulai menjadi-jadi saat umurnya menginjak kepala dua. Masa di saat kerapuhan melanda perasaan wanita begitu dalam, hingga membutuhkan sandaran hidup. Butuh kehadiran seorang lelaki yang membuatnya tenang, bahwa masalah dunia tak akan dihadapinya seorang sendiri.
 
Kini, kecemasannya telah berada di tubir keputusasaan. Jodohnya tak juga datang, di saat usianya telah meninginjak kepala tiga, tepatnya 32 tahun. Usia di saat wanita seharusnya telah menjadi seorang ibu. Menjadi seorang yang bahkan telah berhasil menghadiahkan cucu bagi ibunya sendiri. Menghadirkan generasi baru yang akan meneruskan alur keturunan mereka. Jelas, ia menginginkan keadaan itu, seperti juga wanita yang lain. 

Angan Riana untuk membentuk keluarga kecil, membuat batinnya tersiksa. Apalagi rambutnya mulai beruban dan kulitnya mengeriput. Sebagaimana anggapan umum, wanita yang tak lekas menemukan jodoh, akan tampak lebih tua dari seharusnya. Kenyataan itu pun membuatnya harus menerima kanyataan bahwa ia hanya daun tua di antara daun-daun muda, yang menunggu waktunya jatuh, hingga lenyap.

Kekesalan Riana pada dirinya sediri sebab tak mampu menjadi wanita seutuhnya, senantiasa diredam ibunya. Di saat ketakutannya berwujud kemurungan, ibunya selalu hadir untuk memberinya semangat, bahwa jodoh yang ditetapkan Tuhan, pasti akan datang untuknya. Kata ibunya, soal jodoh bukanlah tentang cepat atau lambat, tapi tentang orang yang tepat sebagai pendamping hidup. 

Nasihat ibunya, jelas tak begitu saja melenyapkan kerisauannya. Ada ketakutan yang lebih membayangkan masa mendatang, kala ibunya telah tiada, sedang dia menua seorang diri. Jelas, ia akan hidup seumpama anak ayam yang kehilangan induknya. Tapi ketakutan itu, lagi-lagi ditepis sang ibu. Katanya, pernikahan hanya gerbang kebersamaan. Tak ada gunanya cepat menikah kalau kebersamaan hanya seumur jagung, sebab itu lebih menyakitkan ketimbang tak menemukan jodoh sama sekali.

“Nak, bantu Ibu untuk membersihkan alat-alat pernikahan. Dua hari ke depan, akan ada orang yang akan menyewanya untuk acara pengantin,” pinta Sari, ibu Riana.

Dengan kesal hati, Riana tak menggubris. Jelas itu pukulan telak baginya. Bagaimana tidak, dia harus memastikan kain-kain riasan, manik-manik, tenda, dan kursi, harus berada dalam kondisi baik untuk pernikahan orang lain. Sedang entah kapan juga, perlengkapan itu akan digunakan untuk pernikahannya sendiri. 

“Ayolah, Nak. Kau tahu kalau Ibu sudah renta dan tak bisa mengerjakannya sendiri,” ajaknya lagi, dengan nada memanjakan, seakan membujuk seorang anak kecil.

Dan tiba-tiba, suara Riana meninggi, “Ibu urus saja sendiri,” katanya. “Apa tidak bisa aku tak perlu mendengar dan mengurusi pernikahan orang lain?”

Sebagai seorang ibu, Sari paham betul kalau anaknya sensitif soal pernikahan. Tapi bagaimana pun juga, usaha penyewaan alat pernikahan yang dirintisnya, menjadi mata pencaharian utama baginya. Jika harus membayar beberapa orang untuk mengurusi kebersihan perlangkapan itu, pendapatan mereka akan berkurang. Belum lagi potongan yang pasti, bahwa mereka akan menyewa mobil dan jasa para pemasang untuk sekali sewa.

Dengan sabar dan senyap, Sari pun menghampiri anaknya yang sedari tadi hanya berbalas-malasan di sofa. Hanya duduk atau berbaring, dan berkhayal. “Tak usah merisaukan terus tentang jodohmu, Nak. Tanpa perlu dicari, jodoh itu akan datang sendiri, bahkan di hari tua sekali pun,” katanya, sambil mengusap-usap rambut sang anak. “Menemukan jodoh itu, bukan soal waktu, Nak. Kau sendiri menyaksikan, bahwa banyak orang yang menikah muda dan malah berakhir dengan perceraian. Banyak juga yang menemukan jodohnya di hari tua, dan langgeng hingga maut memisahkan.”

Mendengar nasihat ibunya untuk ke sekian kali, tak jua menenangkan perasaan Riana. Dengan sikap cuek, ia lalu menyalakan televisi. Berharap menemukan hiburan dan menghindari ceramah ibunya soal jodoh. Tapi harapannya, gagal. Tak satu pun stasiun televisi yang bersedia menayangkan hiburan untuknya. Semua kompak menyiarkan pernikahan anak presiden. Semua seakan mengaggap itu penting untuk para pemuda di negara ini, yang masih menunggu jodoh dalam ketidakpastian.

Dengan hati yang semakin gusar, Riana pasrah dan berhenti di satu stasiun televisi yang tampilannya lebih terang. Hitung-hitung, ia ingin menegaskan kepada sang ibu bahwa pesta pernikahan jugalah yang ia inginkan.
 
“Sudah hampir sepuluh tahun Ibu menyatakan aku akan bertemu dengan jodohku. Tapi mana buktinya?” tanya Riana, kesal.
 
Dan sebagaimana sebelumnya, Sari tahu betul, anaknya yang benci dinasihati, hanya butuh pengulangan untuk kembali tenang. “Memang harusnya begitu, Nak. Selama orang masih bernyawa, selalu ada kemungkinan untuk seseorang bertemu dengan jodohnya. Dan yang pasti, aku tahu betul, penantian yang panjang, akan membuat kita menghargai kebersamaan dengan lebih baik. Seperti yang kukatakan sebelumnya, lekas bertemu jodoh, tak menjamin kebahagiaan hidup bersama,” katanya.

“Bagaimana mungkin Ibu terus mengatakan nasihat yang berulang semacam itu? Aku bosan mendengarnya, Bu,” sergah Riana. “Lihatlah anak presiden itu. Bagaimana mungkin wajah sesemringah itu bisa dikatakan tidak bahagia. Menikah saja sudah bahagia, Bu. Bagaimana selanjut-selanjutnya.”
 
“Iya. Aku tahu, Nak. Dan itu karena si anak presiden telah menemukan jodohnya yang tepat. Jodoh yang sepadan. Pernikahan mereka memang menyiratkan masa depan yang cerah,” terang Sari lagi. “Maksud aku, mereka memang beruntung, telah bertemu di waktu yang cepat dan sebagai jodoh yang tepat. Nah, kamu, Nak, memang tak bertemu jodohmu di waktu yang cepat. Tapi yakinlah, kau akan dipertemukan di waktu yang tepat. Dan itu lebih baik bagimu.”

Dan selanjutnya, Riana kembali terdiam. Ia tahu betul keterlambatannya menemukan jodoh, hanya akan disangkal ibunya dengan alasan “demi orang yang tepat”. Ya, lagi-lagi, ia memang kalah sabar dengan ibunya yang pasrah saja jika tak menimang cucu hingga akhir hayatnya.

“Kau harus pahami, Nak, bahwa pernikahan itu bukan permainan. Kita membutuhkan orang yang sungguh-sungguh siap untuk menjadi pasangan hidup. Siap dalam soal apa pun, termasuk dalam soal materi,” kata Sari lagi, kemudian mengungkapkan prinsipnya tentang kriteria yang pantas untuk sang anak, seperti yang diinginkannya sedari dulu. “Dan sebagai wanita, kita memang harus memilih lelaki yang berani meminang kita secara bermartabat. Berani berkorban demi memenangkan perasaan kita. Termasuk dengan mengadakan pesta yang sepantasnya. Itu agar orang banyak, tahu dan datang ke pernikahan, sehingga lelaki akan terikat dengan biaya yang telah ia keluarkan. Nak, aku cuma ingin mengatakan, pernikahan yang gampangan, akan  gampangan juga untuk berakhir.”  

Dan sebagaimana kenyataannya, di waktu penantian yang panjang, ada juga beberapa lelaki yang pernah menyampaikan maksudnya untuk menikah dengan Riana. Tapi dahulu, tiap ada lelaki yang datang menyampaikan niat, maka Sari akan memosisikan dirinya sebagai hakim. Ia akan bertanya tetang pekerjaan dan kesediaan si lelaki untuk menikahi sang anak dengan sebaik-baiknya. Hanya lelaki yang mapan serta bersedia untuk mengadakan pesta meriah yang akan diterimanya. Dan, kriteria itulah yang tak pernah datang menghadap.

“Bukankah sikap pilih-pilih Ibu yang malah membuat jodohku terhalang?” sergah Riana. “Jelas aku tak pernah sekali pun menolak jika harus menikah dengan lelaki miskin dan buruk rupa. Tapi selama ini, Ibulah yang selalu tidak setuju. Ibu selalu merasa berhak menentukan jodohku, sedangkan Ibu tak tahu bagaimana perasaanku sebagai perawan tua!”

“Itu karena aku peduli padamu, Nak,” elak Sari, sambil tersenyum.

“Bagaimana bisa sikap Ibu yang menghalangi jodohku pantas dianggap sebuah kepedulian!” bentak Riana “Jika saja aku tahu begini, aku akan memilih kawin lari dengan lelaki yang mengidamkanku dahulu.”

Sari berubah cemas melihat sikap sang anak. “Kau tahu, itu keputusan yang benar-benar salah, Nak. Demi dirimu sendiri, aku tak ingin kau menikah daripada akhirnya terluka karena pernikahan.”

“Bagaimana Ibu bisa mememastikan bahwa aku tak akan bahagia kalau menikah dengan salah satu dari lelaki yang mengidamkanku dahulu?” tanya Riana, dengan nada suara yang meninggi. “Apa Ibu sudah memastikan akan bahagia bersama Ayah sebelum Ibu menikah dengannya.”

“Ya, Ibu memang sudah memastikan akan hidup bahagia dengan Ayahmu. Ibu yakin itu, sebab ia meminang dengan cara yang terhormat. Ia mendatangi Ibu saat ia telah hidup mapan dengan pekerjaan yang menjamin, juga siap mengadakan pesta meriah untuk menikahi Ibu. Dan kenyataan itulah yang akhirnya mengikat kami dalam kebersamaan yang bahagia, hingga maut merenggutnya,” tegas Sari lagi.

Riana terdiam, dan tak berhasrat melanjutkan percekcokan.

Dan diam-diam, Sari memendam lagi rahasia besarnya dalam-dalam. Semua tentang dirinya dahulu, jelas tak ia inginkan terjadi pada anak semata wayangnya. Ia tak ingin anaknya diperdaya cinta, diperalat, lalu dicampakkan. Ia tak ingin anaknya menikah secara diam-diam atas nama cinta semata, tanpa memperhitungkan jaminan masa depan. Ia tahu betul, keputusan semacam itu, hanya akan berujung luka. Ia yakin, sebab ia mengalaminya sendiri, bahwa ia telah kawin lari demi cinta yang tergesa-gesa, hingga sang lelaki meninggalkannya tanpa beban apa-apa.

Atas trauma masa lalunya sendiri, Sari merasa telah mengambil keputusan yang terbaik untuk anaknya, sampai saat ini.

“Nak, kita perlu mengurus segera peralatan pernikahan yang akan disewakan. Kita tak boleh mengecewakan para penyewa,” kata Sari, setelah melihat emosi anaknya mulai mereda. “Aku ke belakang dulu. Kalau sempat, susullah Ibu secepatnya,” sambungnya, kemudian beranjak pergi.

Riana bergeming, sembari menatap layar televisi yang menyiarkan secara detail acara pernikahan sang putri presiden. Dan tepat saat presiden sedang menyampaikan sukacita di depan wartawan, perhatiannya tertuju penuh di layar kaca. Namun, ia jelas tak menyadari bahwa presiden bertanggung jawab dalam mewujudkan kesejahteraan bagi para pemuda. Ia jelas tak terpikirkan untuk menuntut presiden agar menjamin ketersediaan lapangan kerja bagi para pemuda, agar tak hanya pengangguran yang datang menawarkan cinta untuknya. 

Sampai akhirnya, setelah semua stasiun televisi selesai menayangkan pernikahan sang putri presiden, ia pun bergegas menyusul ibunya, masih dengan perasaaan yang penuh cemas soal jodoh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar