Bertahun-tahun sudah, Riana hidup dalam kecemasan. Khawatir akan
hidup seorang diri, hingga maut menjemput. Sebagaimana perempuan lain,
kecemasan itu mulai menjadi-jadi saat umurnya menginjak kepala dua. Masa di
saat kerapuhan melanda perasaan wanita begitu dalam, hingga membutuhkan
sandaran hidup. Butuh kehadiran seorang lelaki yang membuatnya tenang, bahwa
masalah dunia tak akan dihadapinya seorang sendiri.
Kini, kecemasannya telah berada di tubir keputusasaan.
Jodohnya tak juga datang, di saat usianya telah meninginjak kepala tiga,
tepatnya 32 tahun. Usia di saat wanita seharusnya telah menjadi seorang ibu.
Menjadi seorang yang bahkan telah berhasil menghadiahkan cucu bagi ibunya
sendiri. Menghadirkan generasi baru yang akan meneruskan alur keturunan mereka.
Jelas, ia menginginkan keadaan itu, seperti juga wanita yang lain.
Angan Riana untuk membentuk keluarga kecil, membuat batinnya
tersiksa. Apalagi rambutnya mulai beruban dan kulitnya mengeriput. Sebagaimana
anggapan umum, wanita yang tak lekas menemukan jodoh, akan tampak lebih tua
dari seharusnya. Kenyataan itu pun membuatnya harus menerima kanyataan bahwa ia
hanya daun tua di antara daun-daun muda, yang menunggu waktunya jatuh, hingga
lenyap.
Kekesalan Riana pada dirinya sediri sebab tak mampu menjadi
wanita seutuhnya, senantiasa diredam ibunya. Di saat ketakutannya berwujud
kemurungan, ibunya selalu hadir untuk memberinya semangat, bahwa jodoh yang
ditetapkan Tuhan, pasti akan datang untuknya. Kata ibunya, soal jodoh bukanlah
tentang cepat atau lambat, tapi tentang orang yang tepat sebagai pendamping
hidup.
Nasihat ibunya, jelas tak begitu saja melenyapkan
kerisauannya. Ada ketakutan yang lebih membayangkan masa mendatang, kala ibunya
telah tiada, sedang dia menua seorang diri. Jelas, ia akan hidup seumpama anak
ayam yang kehilangan induknya. Tapi ketakutan itu, lagi-lagi ditepis sang ibu.
Katanya, pernikahan hanya gerbang kebersamaan. Tak ada gunanya cepat menikah
kalau kebersamaan hanya seumur jagung, sebab itu lebih menyakitkan ketimbang tak
menemukan jodoh sama sekali.
“Nak, bantu Ibu untuk membersihkan alat-alat pernikahan. Dua
hari ke depan, akan ada orang yang akan menyewanya untuk acara pengantin,”
pinta Sari, ibu Riana.
Dengan kesal hati, Riana tak menggubris. Jelas itu pukulan
telak baginya. Bagaimana tidak, dia harus memastikan kain-kain riasan,
manik-manik, tenda, dan kursi, harus berada dalam kondisi baik untuk pernikahan
orang lain. Sedang entah kapan juga, perlengkapan itu akan digunakan untuk
pernikahannya sendiri.
“Ayolah, Nak. Kau tahu kalau Ibu sudah renta dan tak bisa
mengerjakannya sendiri,” ajaknya lagi, dengan nada memanjakan, seakan membujuk
seorang anak kecil.
Dan tiba-tiba, suara Riana meninggi, “Ibu urus saja sendiri,”
katanya. “Apa tidak bisa aku tak perlu mendengar dan mengurusi pernikahan orang
lain?”
Sebagai seorang ibu, Sari paham betul kalau anaknya sensitif
soal pernikahan. Tapi bagaimana pun juga, usaha penyewaan alat pernikahan yang
dirintisnya, menjadi mata pencaharian utama baginya. Jika harus membayar
beberapa orang untuk mengurusi kebersihan perlangkapan itu, pendapatan mereka
akan berkurang. Belum lagi potongan yang pasti, bahwa mereka akan menyewa mobil
dan jasa para pemasang untuk sekali sewa.
Dengan sabar dan senyap, Sari pun menghampiri anaknya yang
sedari tadi hanya berbalas-malasan di sofa. Hanya duduk atau berbaring, dan
berkhayal. “Tak usah merisaukan terus tentang jodohmu, Nak. Tanpa perlu dicari,
jodoh itu akan datang sendiri, bahkan di hari tua sekali pun,” katanya, sambil
mengusap-usap rambut sang anak. “Menemukan jodoh itu, bukan soal waktu, Nak. Kau
sendiri menyaksikan, bahwa banyak orang yang menikah muda dan malah berakhir
dengan perceraian. Banyak juga yang menemukan jodohnya di hari tua, dan langgeng
hingga maut memisahkan.”
Mendengar nasihat ibunya untuk ke sekian kali, tak jua menenangkan
perasaan Riana. Dengan sikap cuek, ia lalu menyalakan televisi. Berharap menemukan
hiburan dan menghindari ceramah ibunya soal jodoh. Tapi harapannya, gagal. Tak satu pun stasiun televisi yang bersedia
menayangkan hiburan untuknya. Semua kompak menyiarkan pernikahan anak
presiden. Semua seakan mengaggap itu penting untuk para pemuda di negara ini,
yang masih menunggu jodoh dalam ketidakpastian.
Dengan
hati yang semakin gusar, Riana pasrah dan berhenti di satu stasiun
televisi yang tampilannya lebih terang. Hitung-hitung, ia ingin menegaskan
kepada sang ibu bahwa pesta pernikahan jugalah yang ia inginkan.
“Sudah
hampir sepuluh tahun Ibu menyatakan aku akan bertemu dengan jodohku. Tapi mana
buktinya?” tanya Riana, kesal.
Dan
sebagaimana sebelumnya, Sari tahu betul, anaknya yang benci dinasihati, hanya
butuh pengulangan untuk kembali tenang. “Memang harusnya begitu, Nak. Selama
orang masih bernyawa, selalu ada kemungkinan untuk seseorang bertemu dengan
jodohnya. Dan yang pasti, aku tahu betul, penantian yang panjang, akan membuat
kita menghargai kebersamaan dengan lebih baik. Seperti yang kukatakan sebelumnya,
lekas bertemu jodoh, tak menjamin kebahagiaan hidup bersama,” katanya.
“Bagaimana
mungkin Ibu terus mengatakan nasihat yang berulang semacam itu? Aku bosan
mendengarnya, Bu,” sergah Riana. “Lihatlah anak presiden itu. Bagaimana mungkin
wajah sesemringah itu bisa dikatakan tidak bahagia. Menikah saja sudah bahagia,
Bu. Bagaimana selanjut-selanjutnya.”
“Iya.
Aku tahu, Nak. Dan itu karena si anak presiden telah menemukan jodohnya yang tepat.
Jodoh yang sepadan. Pernikahan mereka memang menyiratkan masa depan yang
cerah,” terang Sari lagi. “Maksud aku, mereka memang beruntung, telah bertemu
di waktu yang cepat dan sebagai jodoh yang tepat. Nah, kamu, Nak, memang tak
bertemu jodohmu di waktu yang cepat. Tapi yakinlah, kau akan dipertemukan di
waktu yang tepat. Dan itu lebih baik bagimu.”
Dan
selanjutnya, Riana kembali terdiam. Ia tahu betul keterlambatannya menemukan
jodoh, hanya akan disangkal ibunya dengan alasan “demi orang yang tepat”. Ya,
lagi-lagi, ia memang kalah sabar dengan ibunya yang pasrah saja jika
tak menimang cucu hingga akhir hayatnya.
“Kau
harus pahami, Nak, bahwa pernikahan itu bukan permainan. Kita membutuhkan orang
yang sungguh-sungguh siap untuk menjadi pasangan hidup. Siap dalam soal apa pun,
termasuk dalam soal materi,” kata Sari lagi, kemudian mengungkapkan
prinsipnya tentang kriteria yang pantas untuk sang anak, seperti yang
diinginkannya sedari dulu. “Dan sebagai wanita, kita memang harus memilih
lelaki yang berani meminang kita secara bermartabat. Berani berkorban demi
memenangkan perasaan kita. Termasuk dengan mengadakan pesta yang sepantasnya.
Itu agar orang banyak, tahu dan datang ke pernikahan, sehingga lelaki akan terikat
dengan biaya yang telah ia keluarkan. Nak, aku cuma ingin mengatakan, pernikahan yang gampangan, akan gampangan
juga untuk berakhir.”
Dan
sebagaimana kenyataannya, di waktu penantian yang panjang, ada juga beberapa
lelaki yang pernah menyampaikan maksudnya untuk menikah dengan Riana. Tapi
dahulu, tiap ada lelaki yang datang menyampaikan niat, maka Sari
akan memosisikan dirinya sebagai hakim. Ia akan bertanya tetang pekerjaan dan
kesediaan si lelaki untuk menikahi sang anak dengan sebaik-baiknya. Hanya
lelaki yang mapan serta bersedia untuk mengadakan pesta meriah yang akan
diterimanya. Dan, kriteria itulah yang tak pernah datang menghadap.
“Bukankah
sikap pilih-pilih Ibu yang malah membuat jodohku terhalang?” sergah Riana.
“Jelas aku tak pernah sekali pun menolak jika harus menikah dengan lelaki
miskin dan buruk rupa. Tapi selama ini, Ibulah yang selalu tidak setuju.
Ibu selalu merasa berhak menentukan jodohku, sedangkan Ibu tak tahu bagaimana
perasaanku sebagai perawan tua!”
“Itu
karena aku peduli padamu, Nak,” elak Sari, sambil tersenyum.
“Bagaimana
bisa sikap Ibu yang menghalangi jodohku pantas dianggap sebuah kepedulian!”
bentak Riana “Jika saja aku tahu begini, aku akan memilih kawin lari dengan
lelaki yang mengidamkanku dahulu.”
Sari
berubah cemas melihat sikap sang anak. “Kau tahu, itu keputusan yang
benar-benar salah, Nak. Demi dirimu sendiri, aku tak ingin kau menikah daripada
akhirnya terluka karena pernikahan.”
“Bagaimana
Ibu bisa mememastikan bahwa aku tak akan bahagia kalau menikah dengan salah
satu dari lelaki yang mengidamkanku dahulu?” tanya Riana, dengan nada suara
yang meninggi. “Apa Ibu sudah memastikan akan bahagia bersama Ayah
sebelum Ibu menikah dengannya.”
“Ya,
Ibu memang sudah memastikan akan hidup bahagia dengan Ayahmu. Ibu yakin itu,
sebab ia meminang dengan cara yang terhormat. Ia mendatangi Ibu saat ia telah
hidup mapan dengan pekerjaan yang menjamin, juga siap mengadakan pesta meriah untuk
menikahi Ibu. Dan kenyataan itulah yang akhirnya mengikat kami dalam
kebersamaan yang bahagia, hingga maut merenggutnya,” tegas Sari lagi.
Riana
terdiam, dan tak berhasrat melanjutkan percekcokan.
Dan
diam-diam, Sari memendam lagi rahasia besarnya dalam-dalam. Semua tentang
dirinya dahulu, jelas tak ia inginkan terjadi pada anak semata wayangnya. Ia
tak ingin anaknya diperdaya cinta, diperalat, lalu dicampakkan. Ia tak ingin anaknya
menikah secara diam-diam atas nama cinta semata, tanpa memperhitungkan jaminan
masa depan. Ia tahu betul, keputusan semacam itu, hanya akan berujung luka. Ia yakin,
sebab ia mengalaminya sendiri, bahwa ia telah kawin lari demi cinta yang
tergesa-gesa, hingga sang lelaki meninggalkannya tanpa beban apa-apa.
Atas
trauma masa lalunya sendiri, Sari merasa telah mengambil keputusan yang
terbaik untuk anaknya, sampai saat ini.
“Nak,
kita perlu mengurus segera peralatan pernikahan yang akan disewakan. Kita tak
boleh mengecewakan para penyewa,” kata Sari, setelah melihat emosi anaknya
mulai mereda. “Aku ke belakang dulu. Kalau sempat, susullah Ibu secepatnya,”
sambungnya, kemudian beranjak pergi.
Riana
bergeming, sembari menatap layar televisi yang menyiarkan secara detail acara
pernikahan sang putri presiden. Dan tepat saat presiden sedang menyampaikan
sukacita di depan wartawan, perhatiannya tertuju penuh di layar kaca.
Namun, ia jelas tak menyadari bahwa presiden bertanggung jawab dalam mewujudkan
kesejahteraan bagi para pemuda. Ia jelas tak terpikirkan untuk menuntut
presiden agar menjamin ketersediaan lapangan kerja bagi para pemuda, agar tak
hanya pengangguran yang datang menawarkan cinta untuknya.
Sampai
akhirnya, setelah semua stasiun televisi selesai menayangkan pernikahan sang putri
presiden, ia pun bergegas menyusul ibunya, masih dengan perasaaan yang penuh cemas
soal jodoh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar